A.
DALAM PERKARA
PIDANA
Upaya
hukum dalam perkara pidana menurut Syarifudin Pettenasse adalah alat untuk melawan putusan pengadilan (vonis)
apabila terdakwa atau penuntut umum tidak menerima putusan pengadilan.[1]
Kemudian lilik mulyadi mengatakan, bahwa upaya hukum adalah hak terdakwa atau
penutut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan.[2]
Adapun
dalam perkara perdata, upaya hukum adalah suatu usaha bagi setiap individu atau
badan hukum yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk
memperoleh keadilan dan perlindungan atau kepastian hukum, menurut cara-cara
yang ditetapkan dalam undang-undang.[3]
Jadi, upaya hukum adalah usaha untuk memperbaiki kekeliruan dalam suatu
keputusan hakim dalm rangka memperoleh kebenaran dan keadilan.
Di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana membedakan upaya hukum biasa dan
luar biasa. Upaya hukum biasa diatur dalam bab XVII pada pasal 223 -258 KUHAP,
sedangkan upaya hukum luar biasa diatur dalam bab XVIII pada pasal 259-269
KUHAP.
1. Upaya
Hukum Biasa
Upaya
hukum biasa terdiri dari dua bagian, yaitu bagian ke satu tentang pemeriksaan
banding, dan ke dua tentang pemeriksaan kasasi.
a. Pemeriksaan
tingkat banding
Hak terdakwa atau penuntut umum untuk
memohon pemeriksaan banding ini dasarnya telah disebutkan dalam pasal 26 ayat
ke 1 dan 2 undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang
berbunyi:
1) Putusan
pengadilan timgkat pertama dapat dimintalkan banding kepada pengadilan tinggi
oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
2) Putusan
pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari dakwaan atau
putusan lepas dari segala tuntutan hukum , dapat dimintakan banding kepada
pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang
menentukn lain.
Pemeriksaan
tingkat banding ini pada dasarnya adalah pemeriksaan ulangan dari pemeriksaan
oleh pengadilan negeri. Dengan demikian, memeriksa kembali semua fakta-fakta yang
ada tanpa para pihak, sehingga pengadilan timggi sering disebut judex factie.
Permohonan
banding (terdakwa atau pengacara atau penuntut umum) ditujukan kepada
pengadilan tinggi melalui panitra pengadilan negeri yang memutus perkaranya akan
diajukan dalam tenggang waktu 7 hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah
putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (pasal 233 ayat 2
KUHAP).
a. Pemeriksaan
Tingkat Kasasi
Dalam penjelasan umum alinia terakhir
ditegaskan, KUHAP memuat pula hukum acara pidana Mahkamah Agung setelah
dicabutnya undang-undang Mahkamah Agung nomor 1 tahun 1951 oleh undang-undang
nomor 13 tahun 1965. Berarti pemeriksaan perkara pidana oleh Mahkamah Agung
pada peradilan kasasi mempergunakan ketentuan yang diatur dalam KUHAP sebagai
hukum acara, seperti yang diatur dalam bagian ke dua bab XVII, dari pasal
244-258.
Kasasi menurut R Soesilo adalah jalan
hukum untuk melawan keputusan hakim tingkat tertinggi yaitu keputusan yang
tidak dapat dimintakan banding, baik karena memang tidak diperbolehkan oeh undang-undang,
maupun karena kesempatan banding itu telah digunakan.[4]
Pemerikaan kasasi ini diatur dalam pasal
244-258 KUHAP. Ketentuan yang menjadi dasar kasasi adalah undang-undang nomor 4
tahun 2004 pada pasal 11 ayat 2 huruf a yang berbunyi: mengadili pada tingkat
kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan
disemua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang
menentukan lain.
Pemeriksaan kasasi disampaikan oleh
pemohon kepada panitra pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari
sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada
terdakwa atau penuntut umum. Permohonan harus disampaikan dalam waktu 14 hari
setelah pemberitahuan putusan.
Sebagai contoh misalnya, putusan pengadilan
tinggi diberitahukan kepada terdakwa pada tanggal 1 februari. Berarti tenggang
waktu mengajukan permohonan kasasi adalah 14 hari dri tanggal pemberitahuan
putusan tersebut. Jadi batas terakhir bagi terdakwa mengajukan permohonan
kasasi, jatuh pada tanggal 15 februari. Lewat dari batas waktu tersebut
berakibat” gugur hak” terdakwa mengajukan permohonan kasasi.
1. Upaya
Hukum Luar Biasa
a. Kasasi
demi kepentingan hukum
Kasasi demi kepentingan hukum dalam KUHAP
telah diatur dalam pasal 259-262 KUHAP. Dalam pasal 259 ayat 1 KUHAP berbunyi
demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan
satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung.
Selanjutnya Soedirjo pernah mengatakan,
bahwa kasasi luar biasa sebagaimana kasasi biasa dijalankan untuk melayani
peradilan kasasi agar semua hukum diterapkan secara benar dan tepat dengan
demkian menjamin adanya kesatuan dalam peradilan, karena ada kemungkinan bahwa
para hakim yang bermacam-macam itu menafsirkan hukum yang dipakai berbeda beda
sehingga tidak bermanfaat bagi kebaikan kesatuan hukum dalam Negara.
Kasasi demi kepentingan hukum dengan
tegas dikatakan tidak boleh merugikan pihak yang berepentingan, sebab tujuan
ketentuan tersebut agar konsistensi hukum dapat dipertahankan dan tidak menjadi
preseden yang buruk yang kemungkinan akan diikuti. Jadi semuannya untuk hukum
dan bukan hukuman untuk terdakwa.
Kasasi demi kepentimgam hukum hanya
diperbolehkan satu kali saja. Dalam hal ini berlaku prinsip bahwa kesalahan
hanya dapat diperbaiki satu kali saja. Salah atau tidak salah putusan Mahkamah
Agung, tidak menjadi masalah lagi.
Tenggang waktu pengajuan pemeriksaan kasasi
demi kepentingan hukum yang diatur dalam pasal 259-262 KUHAP tidak menyinggung
masalah waktu.
b. Peninjauan
kembali keputuan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
Upaya hukum tersebut telah diatur dalam
pasal 263-269 KUHAP. Dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP ditentukan yang mengajukan
permohonan peninjauan kembali adalah (1) terpidana dan (2) ahli warisnya.
Putusan pengadilan yang dapat diajukan permintaan peninjauan kembali adalah
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
B. DALAM PERKARA PERDATA
Dalam perkara
perdata upaya hukum yang dipergunakan jika pengadilan telah memutus perkara
penggugat dan tergugat, ternyata pihak yang kurang puas atas keputusan pengadilan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Verzet atau
perlawanan
2. Banding
3. Kasasi
4. Bantahan
pihak ke tiga (derden verzet)
5. Peninjauan
kembali (request civiel)
Pada
butir 1, 2 dan 3 disebut upaya hukum biasa sedangkan pada butir 4 dan 5 disebut
upaya hukum luar biasa.
1) Verzet (perlawanan)
Verzet
merupakan
upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat (verstek)
(pasal 125 ayat 3, pasal 129 HIR atau pasal 149 ayat 3, pasal 153 RBg). Dalam
praktik, putusan verstek baru dapat dijatuhkan jika tergugat setelah dipanggil
dengan patut untuk kedua kali, bahkan untuk ketiga kalinya dipanggil dengan
patut tergugat tidak juga datang maka,
dijatuhkan putusan verstek.
2) Banding
Banding artinya pemeriksaan ulangan oleh
pengadilan tinggi atas putusan pengadilan negeri atau pengadilan agama. Jadi
banding ( appel) adalah pemeriksaan ulangan yang dilakukan oleh pengadilan
tinggi terhadap putusan pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri atau
pengadilan agama) atas permohonan pihak yang berkepentingan penggugat atau
tergugat.
3) Kasasi
Kasasi artinya pembatalan putusan oleh
mahkamah agung jadi kasasi adalah pembatalan putusan atas penetapan
pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan
terakhir.
Upaya hukum kasasi dilaksanakan oleh
mahkamah agung RI sebagai lembaga yang berwenang dan bertugas untuk memeriksa
dan memutus permohonn kasasi terhadap putusan pengadilan yang sudah tidak dapat
lagi dimintakan pemeriksaan ulangan ke pengadilan yang lebih tinggi atau
tingkat banding.
4) Bantahan
Pihak Ke tiga (derden verzet)
Derden verzet merupakan bantahan atau
perlawanan pihak ke tiga terhadap subjek pihak-pihak yang terdapat dalam suatu
perkara yang telah diputus yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pihak ke tiga yang mengajukan derden
verzet tersebut disebut dengan “ pelawan atau pembantah yang berhadapan dengan
para pihak semula, yaitu penggugat dan tergugat yang kemudian berkedudukan
sebagai “ terlawan atau terbantah” yakni pihak penggugat semula menjadi
“terlawan atau terbantah 1” dan pihak tergugat semula mejadi “terlawan atau
terbantah 2”.
5) Peninjauan
Kembali
Dalam perundang-undangan nasional,
istilah peninjauan kembali telah diatur dalam pasal 24 undang undang nomor 48
tahun2009 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi: (1) terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-phak yang
bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila
terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. (2)
terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin Pettenasse,Hukum Acara Pidana,Palembang:Universitas
Sriwijaya,1977;hlm.223.
Lilik Mulyadi ,Hukum Acara Pidana Suata Tinjauan Khusus
terhadap Surat Dakwaan,Eksepsi dan Putusan Peradilan,Bandung:Citra Aditya
Bakti,1996,hlm.223.
H.A.Mukti Arto ,Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan
Agama,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005,Edisi Refisi,Cet.VI,hlm.279.
R.Soesilo,Hukum Acara Pidana,Bogor:Politeia,1982,hlm.134.
[1]
Syarifuddin Pettenasse,Hukum Acara Pidana,Palembang:Universitas
Sriwijaya,1977;hlm.223.
[2]Lilik
Mulyadi ,Hukum Acara Pidana Suata
Tinjauan Khusus terhadap Surat Dakwaan,Eksepsi dan Putusan Peradilan,Bandung:Citra
Aditya Bakti,1996,hlm.223.
[3]
H.A.Mukti Arto ,Praktik Perkara Perdata
pada Pengadilan Agama,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005,Edisi
Refisi,Cet.VI,hlm.279.
[4]
R.Soesilo,Hukum Acara Pidana,Bogor:Politeia,1982,hlm.134.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar