PEMBAHASAN
A. Pengertian
Menurut
bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang),
hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau lanhkah-langkah
yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga
disebut pengajaran atau penelitian.
Menurut istilah (terminologi),
metode adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan penentuan nilai.
Metode biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan. Hugo F. Reading mengatakan
bahwa metode adalah kelogisan penelitan ilmiah, sistem tentang prosedur dan
teknik riset.
Metode adalah suatu ilmu yang
memberi pengajaran tentang sistem dan langkah yang harus ditempuh dalam mencapai
suatu penyelidikan keilmuan. Dalam berbagai penelitian ilmiah, langkah-langkah
pasti harus ditempuh agar kelogisan penelitian ilmiah benar-benar nyata dan
dapat dipercaya semua masyarakat. Metode juga dapat diartikan sebagai cabang
logika yang merumuskan dan menganalisis prinsip-prinsip yang tercakup dalam
menarik kesimpulan logis untuk membuat konsep.1
B. Kegunaan
Metode Pemahaman ajaran Islam
Sejak
kedatangan Islam pada abad ke-13 M hingga saat ini, fenomena amat variatif .
Kondisi ini terjadi diberbagai negara termasuk Indonesia. Walau keadaan amat
variatif , namun tidak keluar dari yang terkandung dalam alqur’an dan sunnah
serta sejalan dengan data-data historis yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pada tahap
berikutnya, yang menjadi primadona masyarakat Islam adalah ilmu teologi (kalam)
sehingga setiap masalah yang dihadapi selalu dilihat dari paradigma teologi.
Lebih dari itu tologi yang dipelajarinya hanya berpuast pada paham Asy’ari dan
Sunni. Paham lain dianggap sesat, akibatnya tidak terjadi dialog, keterbukaan,
dan saling mengahargai.
Pada tahap
selanjutnya, muncul paham keIslaman bercorak tasawuf yang mengambil bentuk
tarikat terkesan kurang menampilkan pola hidup yang seimbang antara urusan
dunia dan urusan ukhrawi. Dalam tasawuf kehidupan dunia terkesan diabaikan.
Umat terlalu mementingkan akhirat, urusan dunia menjadi terbengkalai. Akibatnya
keadaan umat mundur dalam bidang keduniaan, materi dan fasilitas. Dari contoh
pemahaman keIslaman di atas diperoleh kesan bahwa hingga saat ini pemahaman
Islam yang terjadi di masyarakat masih bercorak parsial, belum utuh dan belum
komprehensif. Sekalipun dijumpai adanya pemahaman Islam yang sudah utuh baru
diserap sebagian sarjana yang membaca karya modern dengan sikap terbuka.
Proses
pengajaran Islam hingga saat ini belumtersusun secara sistematis dan belum
disampaikan menurut prinsip , pendekatan dan metode yang direncanakan dengan baik.
Namun untuk kepentingan akademis,membuat slam lebih responsif dan fungsional
dalam memandu perjalanan umat Islam diperlukan metode yang dapat menghasilkan
pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif.
Pada abad
pertengahan, Eropa dalam keadaan stagnasi dan masa bodoh dalam waktu seribu
tahun. Tetapi stagnasi dan masabodoh tersebut kemudian menjadi kebangkitan
revolusioneryang multifaset dalam bidang sains, seni, dan kehidupan sosial.
Revolusi yang mendadak dalam pemikiran manusia ini menghasilkan peradaban
kebudayaan. Kita harus bertanya kepada diri kita mengapa orang mandeg sampai
seribu tahun, dan apa yang terjadi pada dirinya yang menyebabkan perubahan
mendadak, ia bangkit dan bangun, sehingga dalam waktu 300 tahun Eropa menemukan
kebenaran-kebenaran yang tidak mereka peroleh dalam seluruh waktu seribu tahun.
Ali
syari’ati (1933-1977), seorang sarjana Iran yang meninggal di rantau yaitu di
Inggris menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan kemandegan dan stagnasi
dalam pemikiran , perdaban dan kebudayaan yang berlangsung hingga seribu tahun
di Eropa pada abad pertengahan adalah metode pemikiran analogi dari
Aristoteles. Di kala cara melihat masalah objek itu berubah, dan sebagai
akibatnyakehidupan manusia juga berubah. Dengan demikian kita dapat mengetahui
dan memahami tentang pentingnya metodologi sebagi faktor fundamental dalam
renaisans.2
Begitu
pentingnya peranan metode pemahaman ajaran Islam dalam kemajuan dan kemunduran
pertumbuhan ilmu. Mukti ali mengatakan bahwa yang menentukan dan membawa
stagnasi adalah metode yang digunakan. Sebagai contoh pada abad ke 14-16 M,
Aritoteles lebih jenius bila Francis Bacon. Namun mengapa justru bacon menjadi
orang yang kejeniusannya lebih rendah dibanding dengan Aristoteles. Ali Mukti
menjawab bahwa karena orang yang yang biasa-biasa saja seperti Bacon dapat
menemukan metode berpikir yang benar dan utuh.
Hal demikian
tidak untuk merendahkan orang-orang jenius. Akan tetapi, kejeniusan saja tidak
cukup , namun harus dilengkapi dengan ketepatan dalam memilih metode yang
digunakan untuk kerjanya dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada dasarnya metode
digunakan untuk mencapai tujuan dalam mencari kebenaran ilmu dan menggali
kebenaran ilmu pengetahuan.
C. Metode Memahami Islam
Memahami berasal dari kata paham yang artinya mengerti, memaklumi dan
mengetahui sesuatu hal yang sedang diamati, didengarkan, dikerjakan ataupun
sesuatu hal yang sedang terjadi.3
Metode dalam memahami Islam harus dilihat dari berbagai dimensi. Dalam
hubungan ini, jika kita meninjau Islam dari satu sudut pandang saja, maka yang
akan terlihat hanya satu dimensi saja dari gejalanya yang bersegi banyak.
Mungkin kita berhasil melihatnya secara tepat, namun tidak cukup bila kita
ingin memahaminya secara keseluruhan. Buktinya ialah Alqur’an sendiri. Kitab ini
memiliki banyak dimensi, sebagiannya telah dipelajari oleh sarjana-sarjana
besar sepanjang sejarah. Satu dimensi, misalnya, mengandung aspek-aspek
linguistik dan sastra Alqur’an. Para sarjana sastra telah mempelajarinya secara
terperinci. Dimensi lain terdiri atas tema-tema filosofis dan keimanan Alqur’an
yang menjadi bahn pemikiran bagi para filosof serta para teolog.4
Ali Syari’ati lebih lanjut mengatakan, ada berbagai cara memahami Islam.
Salah satu cara adalah dengan mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan
sesembahan agama-agama lain. Cara lainnya adalah dengan mempelajari kitab
Alqur’an dan membandingkannya dengan kitab-kitab samawi lainnya. Tetapi ada
lagi cara lain, yaitu dengan mempelajari kepribadian rasul Islam dan
membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembaharuan yang pernah hidup dalam
sejarah. Akhirnya, ada satu cara lagi, ialah dengan mempelajari tokoh-tokoh
Islam terkemuka dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh utama agama maupun
alairan-aliran pemikiran lain. Seluruh cara yang ditawarkan Ali Syari’ati itu
pada intinya adalah metode perbandingan (komparasi). Dapat dimaklumi, bahwa
melalui perbandingan dapat diketahui kelebihan dan kekuranganyang terdapat
diantara berbagai yang dibandingkan itu. Namun, sebagaimana diketahui bahwa
secara akademis suatu perbandingan memerlukan persyaratan tertentu.
Perbandingan menghendaki objektivitas, tidak ada pemihakan, tidak ada pra
konsepsi dan semacamnya. Pendekatan komparasi dalam memahami agama baru akan
efektif apabila dilakukan oleh orang yang bru mau beragama.5
Metode lain untuk memahami Islam yang diajukan Mukti Ali adalah metode
tipologi. Metode ini oleh banyak ahli sosiologi dianggap objektif berisi
klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan
topic dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Dalam hal agama Islam, juga
agama-agama lain, yaitu:
1) Aspek
ketuhanan
2) Aspek
kenabian
3) Aspek kitab
suci
4) Aspek
keadaan waktu munculnya nabi, orang-orang yang di dakwahinya, dan
individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh agama itu.6
Selain menggunakan pendekatan komparasi, Ali Syari’ati juga menawarkan cara
memahami Islam melalui pendekatan aliran. Dalam hubungan ini, ia mengatakan
bahwa tugas intelektual hari ini ialah mempelajari dan memahami Islam sebagai
aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan, maupun
masyarakat, dan bahwa sebagai intelektual dia memikul amanah demi masa depan
umat manusia yang lebih baik. Dia harus menyadari tugas ini sebagai tugas
pribadi dan apa pun bidng studinya dia harus senantiasa menumbuhkan pemahaman
yang segar tentang Islam dan tentang tokoh-tokoh besarnya, sesuai dengan
bidangnya masing-masing.7
Selanjutnya, terdapat pula metode memahami Islam yang dikemukakan oleh
Nasruddin Razzak. Ia mengajarkan metode pemahaman Islam secara menyeluruh. Cara
tersebut digunakan untuk memahami Islam paling besar agar menjadi pemeluk agama
yang mantap dan untuk menumbuhkan sikap saling menghormati terhadap pemeluk
agam lain. Metode tersebut juga di tempuh dalam rangka menghindari
kesalahfahaman yang menimbulkan sikap dan pola hidup beragama yang salah.
Untuk memahami Islam secara benar, terdapat empat cara yang tepat menurut
Nasruddin Razzak, yaitu sebagai berikut:
1. Islam harus
dipelajari dari sumbernya yang asli, yaitu Alqur’an dan sunnah Rasul.
2. Islam harus
dipelajari secara integral atau secara keseluruhan.
3. Islam perlu
dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, kaum zu’ama,
dan sarjana Islam.
4. Islam
hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis dalam Alqur’an kemudian
dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris dan sosologis.
Dari beberapa metode tersebut terdapat dua metode dalam memahami Islam
secara garis besar, yaitu:
1. Metode
komparasi, yaitu metode memahami Islam dengan membandingkan seluruh aspek Islam
dengan agama lainnya agar tercapai pemahaman Islam yang objektif dan utuh.
Dalam komparasi tersebut terlihat jelas bahwa islam sangat berbeda dengan
agama-agama lain. Intinya Islam mengajarkan kesederhanaan dalam kehidupan dan dalam
berbagai bidang.
2. Metode
sintesis, yaitu metode memahami Islam dengan memadukan metode ilmiah dengan
metode logis normatif.8
D. Metode Studi
Ilmu Keislaman
Studi islam,
yaitu ajaran-ajaran yang berhubungan dengan islam. Studi islam sangat berperan
dan berfungsi dalam masyarakat. Studi islam bertujuan untuk mengubah pemahaman
dan penghayatan keislaman masyarakat inter dan antar agama. Adapun perubahan
yang diharapkan adalah formalisme kepahaman menjadi substantive keagamaan dan
sikap enklusivisme menjadi sikap universalisme.9
Metode studi
ilmu keislaman diharapkan dapat melahirkan suatu komunitas yang mampu melakukan
perbaikan intern dan ekstern. Secara intern, komunitas itu diharapkan dapat
mempertemukan dan mencari jalan keluar dari konflik intra agama islam. Secara
ekstern, studi islam diharapkan dapat melahirkan suatu masyarakat yang siap
hidup toleran dalam pluralitas agama. Pada segi normative, studi islam bersifat
memihak, romantis, apologis, dan, subjektif. Jika dilihat dari segi histori,
islam tampak sebagai disiplin ilmu.
Perbedaan
dalam melihat islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam
menjelaskan islam itu sendiri. Jika islam dilihat dari sudut normative, islam
merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan
urusan akidah dan muamalah. Sedangkan ketika dilihat dari sudut histori
atau sebagaimana yang tampak dalam masyarakat, islam lebih tampil sebagai
sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).10
Selanjutnya,
ada pula yang disebut Sains Islam. Menurut Hussein Nasr, sains islam
adalah sains yang dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad islam kedua, yang
keadaannya sudah tentu merupakan salah satu pencapaian besar dalam peradaban
Islam. Sains Islam mencakup berbagai pengetahuan modern seperti kedokteran,
astronomi, matematika, fisika, dan sebagainya yang dibangun di atas arahan
nilai-nilai Islami.11
Dari ketiga
kategori ilmu keislaman tersebut, maka muncullah apa yang dikenal dengan MI,
MTs, MA, dan Institut Agama Islam yang di dalamnya diajarkan studi islam yang
meliputi Tafsir, Hadits, Teologi, Filsafat, Tasawuf, Hukum Islam, Sejarah
Kebudayaan Islam, dan Pendidikan Islam. Kemudian muncul pula Universitas Islam
yang di dalamnya diajarkan berbagai ilmu pengetahuan modern yang bernuansa
Islam (Sains Islam).12
E. METODE
PEMAHAMAN AJARAN ISLAM DI INDONESIA
Masyarakat
indonesia yang pluralistik dalam bidang agamanya sangat menunggu-nunggu hasil
kajian-kajian keilmuan dan penelitian-penelitian dalam bidang agama serta
pemikiran-pemikiran keagamaan yang bersifat positif-konstruktif untuk menopang
keterlibtan bersama seluruh pengikut agama-agama di tanah air dalam membina dan
memupuk Kerukunan hidup antar umat beragama.
Seiring
dengan pemekaran wilayah pemahaman dan penghayatan keagaman, yang diantara lain
disebabkan oleh transparanya sekat-sekat budaya sebagai akibat luapan arus
informasi dalam era IPTEK, masyarakat Indonesia pada khususnya dan masyarakat
dunia pada umumnya, membutuhkan masukan-masukan dari kajian-kajian keagamaan
yang segar yang tidak lagi selalu bersifat “teologis-normatif”, tetapi juga
menginginkan masukan-masukan dari kajian keaagamaan yang bersifat
historis-kritis.
Posisi
mayoritas umat Islam di Negara kesatuan Republik Indonesia, dalam hubungannya
dengan persoalan pluralitas agama, memang sangat unik. Pengalaman umat Islam
Indonesia secara kolektif dalam hubungannya dengan penghayatan pluralitas agama
ini juga tidak dapat dihayati oleh umt Islam Turki dengan menganut paham
kenegaraan sekuler. Predikat “sekuler” disini memang tidak mempunnyai konotasi
dengan pluralitas agama seperti yang dihayati oleh umat Islalm Indonesia.
Dengan memperhatikan kondisi obyektif masyarakat Indonesia yang begitu majemuk
keberagamaannya serta politik di luar negeri, studi agama di Indonesia terasa
sangat urgen dann mendesak untuk dikembangkan.
Kerukunan
umat beragama yang selama ini berjalan dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia
memang sudah menjadi telaah, bahkan kekaguman, bagi para pengamat luar negeri.
Kerukunan umat beragama di Indonesia telah berjalan wajar meskipun belum
dilandasi dengan studi agama yang bersifat akademik-kritis. Di Indonesia
kerukunan umat beragama tidak boleh dilepaskan dari peran pemerintah menciptakan
situasi yang kondusif untuk kerukunan hidup beragama-bandingkan dengan program
pemerintah. Departemen agama, untuk menggalang dan membina tiga kerukunan: “kerukunan
umat beragama dengan pemerintah, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan
antar intern umat beragam”13
Dalam keberagamaan umat islam Indonesia
ajaran-ajaran sedikit banyak telah kehilangan nilai kearabannya. Dengan
demikian, menjadikan wajah islam Indonesia berbedadengan wajah islam di dunia
manapun. Selain karena faktor kelonggaran atau keterbukaan, beberapa faktor
lain juga turut mendukung tersebarnya islam secara luas dikalangan masyarakat
di Indonesia. Menurut sejarawan, Tasawuf merupakan faktor paling dominan dalam
keberhasilan penyebaran islam di Indonesia.14
- Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, 2006, Jakarta: Amzah, Hlm. 147
- Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 2009, Jakarta: Rajawali Pers,, hlm. 152-153
- Ibid, hlm. 149
- Ibid, hlm. 152-153
- Ibid, hlm. 153-154
- Yatimin Abdullah, Op. cit., hlm. 150
- Abuddin Nata, Op. cit., hlm. 154
- Yatimin Abdullah, Op. cit., hlm. 150-151
- Nasution, M.A, Pengantar studi islam, 2009, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, hlm. 197
- Abuddin Nata, Op.cit, hlm. 151
- Ibid., hlm. 151-152
- Ibid., hlm 152
- Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, 1996 , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 4-8
- Ajid Tohir, Studi Kawasan Dunia Islam, 2009. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 399
Tidak ada komentar:
Posting Komentar