Kamis, 19 Oktober 2017

MAKALAH PERJANJIAN PERKAWINAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang
Suatu hal yang dipandang sebagai keharusan dalam kehidupan manusia salah satunya adalah Perkawinan. dan dari perkawinan itu akan timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban. Dalam perkawinan juga memuat perihal tentang Pencegahan,Pembatalan, Perjanjian,dan Pemutusan Perkawinan. 
Namun, yang akan di bahas disini adalah mengenai Perjanjian Perkawinan. Perjanjian dalam perkawinan merupakan perjanjian yang mengatur akibat suatu perkawinan di dalam bidang harta kekayaan. Perjanjian perkawinan umumnya jarang terjadi di Indonesia asli, mungkin karena masih kuatnya hubungan kekerabatan antara calon suami istri, dan juga pengaruh hukum adat yang sangat kuat. Seperti dalam hukum adat dengan adanya adat kebiasaan bahwa bundel warisan, terutama yang merupakan milik bersama ( harta gono-gini atau harta pencarian ) tetap untuk keperluan kehidupan sehari-hari dari suami atau isteri yang masih hidup pada waktu pihak yang lain meninggal dunia. Dengan demikian sepanjang mengenai harta, jarang sekali dipersoalkan sebelum para calon suami isteri melangsungkan perkawinan.  
B.           Rumusan Masalah
1.      Tujuan Perjanjian Perkawinan
2.      Tata Cara Perjanjian Dilaksanakan
3.      Pengertian Perjanjian Perkawinan







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang mengatur akibat suatu perkawinan didalam bidang kekayaan. Mengenai perjanjian perkawinan, terdapat berbagai asas hukum yang mengaturnya,
Perjanjian perkawinan mempunyai syarat, yakni perjanjian yang dibuat itu tidak bertentangan dengan syari’at Islam atau hakikat perkawinan. “Jika syarat perjanjian yang dibuat bertentangan dengan syari’at Islam atau hakikat perkawinan apapun bentuk perjanjian itu maka perjanjian itu tidak sah, tidak perlu diikuti, sedangkan akad nikahnya sendiri sah. Jadi jika syarat perjanjian perkawinan yang dibuat tidak bertentangan dengan syari’at Islam atau hakikat perkawinan, maka hukumnya boleh (sah), tetapi jka syarat tersebut bertentangan dengan syari’at Islam atau hakikat perkawinan maka hukum perjanjian itu tidak boleh (tidak sah).
Berdasarkan sabda Nabi SAW:
كُلٌّ شَرْطٍ لَيْسَ فِى كِتَابِ اللهِ فَهُوَبَاطِلٌ وَاِنْ كَانَ مِائَةُ شَرْطٍ
Segala syarat yang tidak terdapat dalam Kitabullah adalah batal, sekalipun 100 kali syara[1]t.
Mengenai perjanjian perkawinan, kompilasi hukum islam memperinci sebagai berikut:
Pasal 45
1.      Taklik talak
2.      Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam
Pasal 46
1.      Isi taklik-talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam
a.       Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik-talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan agama
b.      Perjanjian taklik-talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik-talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 47
1.      Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
2.      Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
3.      Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan  harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
1.      Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
2.      Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
1.      Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
2.      Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak  meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
1.      Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah.
2.      Perjanjian perkawinan mengenai harta  dapat dicabut atas persetujuan bersama suami-istri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.
3.      Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami-isteri tetapi terhadap pihak kertiga, pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami-isteri dalam suatu surat kabar setempat.
4.      Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
5.      Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada isteri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu[2]
dalam undang-undang perkawinan ini diatur dalam pasal 29 yang mengatur antara lain:
1.      Ayat (1) : Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas  persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
2.      Ayat (2) : Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-bats hokum,agama dan kesusilaan.
3.      Ayat (3) : Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
4.      Ayat (4) : Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat diubah,kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
 Selain itu juga dijelaskan mengenai Syarat mutlak tentang adanya perjanjian kawin adalah Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris (pasal 147). Dan akta notaris harus dibuat sebelum dilangsungkannya perkawinan. namun hal itu tidak dapat serta merta dijadikan sebagai alat pembuktian. perjanjian kawin mulai berlaku mulai pada saat perkawinan dilangsungkan dan setelah dilangsungkannya prkawinan, perjanjian kawin tidak dapat tidak boleh di ubah lagi dengan cara apapun (pasal 149).
 Terhadap pihak ke-3 perjanjian kawin itu baru mulai berlaku pada saat dibukukannya dalam register kepaniteraaan pengadilan negeri (pasal 152), jika ada perceraian dan kemudian menikah lagi,hal itu tidk dapat dijadikan alasan untuk merubah perjanjian kawin yang dahulu.

B.     Tata Cara Perjanjian Dilaksanakan
Syarat yang lain adalah perjanjian yang dibuat itu tidak bertentangan dengan syari’at islam atau hakikat perkawinan. “Jika syarat perjanjian yang dibuat bertentangan dengan syari’at islam atau hakikat perkawinan apapun bentuk perjanjian itu maka perjanjian itu tidak sah, tidak perlu diikuti, sedangkan akad nikahnya sendiri sah”. Jadi, jika syarat perjanjian perkawinan yang dibuat tidak bertentangn dengan syari’at islam atau hakikat perkawinan, maka hukumnya boleh (sah), tetapi jika syarat itu bertentangan dengan syari’at islam atau hakikat perkawinan maka hukum perjanjian itu tidak boleh (tidak sah).
Hal-hal yang tidak dapat dimuat dalam perjanjian kawin. 
1.         Pasal 139 BW tidak boleh bertentangan tertib umum dan kesusilaan. jadi seumpama tidak boleh diperjanjikan bahwa isteri tidak boleh menuntut perceraian.
2.         Pasal 140 BW :
a.       Tidak boleh melanggar hak material dari suami (hak suami didalam statusnya sebagai suami)
b.      Tidak boleh melanggar hak kekuasaan orang tua (menurut pasal 300, kekuasaan orang tua dilakukan oleh suami)
c.       Tidak boleh melanggar hak yang diberikan Undan-undang kepada suami/isteri yang hidup paling lama.ini yang mengenai hak waris dari suami/isteri (pasal 852a)
d.      Tidak boleh melanggar hak suami di dalam statusnya sebagai kepala rumah tangga, di dalam hal ini ada pengecualian, yaitu isteri dapat mengadakan syarat  bahwa ia berhak mengurus harta kekayaan dan menikmati penghasilannya sendiri.
3.         Pasal 141 BW, tidak boleh melepaskan haknya atas legitime portie(hk mutlak) atas warisan dari keturunannya dan mengatur pembagian warisan dari keturunannya dan mengatur pembagian warisan dari keturunannya. Pasal ini sebetulnya tidak perlu, karena soal legitime portie tidak dapat diatur dalam undang-undang.
Dan pengaturan warisan dari anak keturunannya harus dengan wasiat.
4.         Pasal 142 BW, tidak boleh diperjanjikan bahwa bagian hutang yang jatuh kepada salah satu pihak, ditentuka lebih besar dari bagian keuntungannya. Pasal 143 BW, tidak bboleh diperjanjikan dengan kata-kata umum bahwa ikatan perkawinan harus tunduk pada ketentan-ketentuan di luar negeri, adat kebiasaan atau peraturan daerah.
Yang dapat melakukan perjanjian kawin, antara lain:
Harus cakap hukum,  yitu yang berumur 18 tahun untuk  leleki dan 15 tahun untuk perempuan. Dan dibantu oleh orang-orang yang memberikan izin atas perkawinannya(Pasal 151 BW). Jika diadakan perjanjian kawin, maka ada tiga jenis harta kekeyaan:
a.       Harta persatuan
b.      Harta suami pribadi
c.       Harta isteri pribadi
Pengelompokan harta pribadi terdiri dari:
a.       Barang bergerak atau piutang karena surat bawa(toonder) sebelum adanya perkawinan.
b.      Barang-barang ini asalnya dapat dilihat dalam perjanjian kawin atau dalam daftar yng dilampirkan pada perjanjian itu(pasal 165).
c.       Barang tak bergerak atau piutang atas nama atau karena surat tunjuk (order) sebelum adanya perkawinan.
d.      Barang dan piutang ini dapat diketahui asalnya karena ditulis atas aktanya atau suratpiutang.
e.       Barang bergerak yang didapat karena hibbah atau warisan sepanjang perkawinan dapat dibuktikan dengan  surat pretelan mengenai barang itu.
f.       Jika barang semacam itu jath ketangan suami dan pretelan tidak ada, maka barang itu tidak boleh dianggap sebagai milik pribadi suami, tetapi jatuh pada perstuan.
g.      Di dalam hal barang itu jatuh pada isteri, sedang tidak ada pretelan, isteri atau keluarganya dapat membuktikan asal barang itu, dengan mendatangkan saksi, dan bila perlu juga dengan adnya pengetahuan umum. Dan jika pembuktian itu tidak dapat diadakan maka barang itu jatuh pada persatuan ( pasal 166).
h.      Barang tak bergerak dan surat berharga atas nama atau surat tunjuk (order) yang didapat sepanjang perkawinan itu kalau dapat di peroleh keterangan itu berasal dari milik pribadi salah satu pihak. Kalau keterangan ini tidak ada maka barang itu jatuh pada persatuan (pasal 159).
i.        Kemudian kedua belah pihak bersepakat untuk memisahkan segala macam harta,utang,dan penghasilan yang diperoleh, baik sebelum perkawainan maupun sesudahnya. Jika terjadi perceraian , tidak ada lagi pembagian harta gono-gini karena telah memperjanjikan pemisahan harta,utang,dan penghasilan selama masa perkawinan.
C.           Tujuan Perjanjian Perkawinan
1.             Membatasi atau meniadakan sama sekali kebersamaan harta kekayaan menurut Undang-Undang.
2.             Ada nya pemisahan antara harta suami tetap menjadi hartanya, dan harta isteri juga tetap menjadi hatanya sendiri, dan ketika dibagi, harta keduanya dipisahkan berdasarkan kepemilikan harta secara pribadi.
3.             Mengatur pemberian hadiah dari suami, kepada isteri atau sebaliknya atau pemberian hadiah timbal balik antara suami dan isteri. KUHPER pasal 168 mengatur bahwa , “ Dalam mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami isteri , yang satu kepada yang lain dan atau sebaliknya, diperbolehkan member setiap hibah yang demikian, sepantas pertimbangan mereka, dengan tidak mengurangi kemungkinan akan dilakukannya pengurangan pada hibah tadi, sekedar perbuatan itu kiranya akan merugikan mereka, yang menurut undang-undang berhak atas suatu bagian mutlak.
4.             Membatasi kekuasaan suami terhadap barang-barang kebersamaan yang ditentukan oleh KUHPer pasal 124 ayat 2, sehingga tanpa bantuan isterinya, suami tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat memutus. Hal ini juga berlaku terhadap benda-benda bergerak yang dibawa isteri atau benda-benda yang diperoleh sepanjang perkawinan yang beratasnamakan isteri. KUHPer pasal 140 ayat 3 mengatur bahwa, “ Selanjutnya mereka berhak memperjanjikan bahwa kendati berlakunya persatuan menurut undang-undang , namun tanpa persetujuan isteri, si suami tidak boleh memindahtangankan atau membebani barang-barang tidak bergerak si isteri, surat-surat pendaftaran dalam buku besar tentang perutangan umum, surat-surat berharga lainnya, dan piutang-piutang atas nama isteri”.  
5.             Mengatur pemberian testemen dari suami untuk isteri atau sebaliknya, atau sebagai hibah timbale balik. Ketentuan tentang hibah ini diatur dalam KUHPer pasal 169, “ Hibah yang demikian ada yang terdiri atas harta benda yang telah tersedia dan dengan jelas diterangkan pula dalam akta hibahnya, dan ada yang terdiri atas seluruh atau sebagian warisan pemberi hadiah”.
6.             Mengatur pemberian hadiah oleh pihak ketiga kepada suami atau isteri. Hal ini diatur dalam KUHPer pasal 176, “Baik dengan perjanjian perkawinan maupun dengan akta notaries tersendiri, yang dibuat sebelum dan berhubungan member setiap hibah yang demikian, sepantas pertimbangan mereka kepada calon suami isteri atau salah seorang dari mereka, dengan tidak mengurangi kemungkinan akan dikuranginya hibah tadi, sekedar perbuatan itu kiranya akan merugikan mereka yang berhak atas suatu bagian mutlak”.
7.             Mengatur testemen dari pihak ketiga kepada suami atau isteri, sebagaimana diatur dalam KUHPer pasal 178, “ Tiap-tiap hibah yang terdiri atas seluruh atau sebagian warisan si yang memberikannya, apa pun yang dilakukan hanya untuk kebahagian suami dan isteri saja, atau salah seorang dari mereka, selamanya dianggap berlangsung untuk kebahagian anak dan keturunan mereka selanjutnya jika si pemberi hibah kiranya hidup lebih lama daripada seorang yang sedianya harus menerimanya, dan jika tidak ditentukan lain dalam akta”.
Didalam peraturan pelaksanaannya, yaitu dalam PP No.9 tahun 1975, sepanjang mengenai perjanjian perkawinan ini tidak mengatur lebih lanjut tentang pembatasan-pembatasan apa saja yang dapat diperjanjikan, misalnya seperti harta benda. Maka sepanjang mengenai perjanjian perkawinan luas sekali perumusannya yang dapat ditafsir dalam beberapa hal. Karena dalam PP No.9 tahun 1975 hanya disebutkan dalam pasal 12 huruf h bahwa akta perkawinan memuat perjanjian perkawinan apabila ada dan dalam perjanjian perkawinan tidak dituangkan dalam satu akta.
 Oleh karena sifatnya harta di bawa dalam perkawinan, sepanjang mengenai persatuan harta dalam perkawinan secara tegas telah diatur dalam Undang-undang No.1 tahun 1974, pasal 35 ayat 1 dari pasal 35 Undang-undang No.1 tahun 1974, yang menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Ayat 2 harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan




BAB III
PENUTUP
A.        Kesimpulan
Dengan demikian sepanjang mengenai percampuran harta di dalam perkawinan dirasa cukup jelas, akan tetapi apabila terjadi perceraian dijelaskan dalam undang-undang No.1 tahun 1974 tersebut bahwa apabila perkawinan putus maka harta bersama diatur menurut hukumnya maasing-masing.
Perjanjian perkawinan itu harus dibuat secara tertulis atas persetujuan kedua belah pihak yang disahkan Pencatat Perkawinan. Apabila telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, maka isinya mengikat para pihak dan juga pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut, dan Perjanjian perkawinan itu dimulai berlaku sejak perkawinan berlangsung dan tidak boleh dirubah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak dengan syarat tidak merugikan pihak ketiga yang tersangkut. 
B.         Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini tetapi kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan ke depannya.










DAFTAR PUSTAKA

Soimin, Soedaryo. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika.2004
Affandi, Ali. Hukum Waris, Hukum keluarga dan Hukum Pembuktian. Jakarta:
Rineka Cipta Saleh, Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. 1997        
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008
Aulia, Tim Redaksi Nuansa, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia, 2008

KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca
Bengkulu,  juni 2017


penyusun



DAFTAR PUSTAKA
HALAMAN DEPAN................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Kata pengantar................................................................................ 1
B.     Rumusan masalah............................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Tujuan Perjanjian Perkawinan......................................................... 2
B.     Tata Cara Perjanjian Dilaksanakan.................................................. 5
C.     Pengertian Perjanjian Perkawinan................................................... 8
BA III PENUTUP
A.    Kesimpulan.................................................................................... 11
B.    
Saran.............................................................................................. 11







[1] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 119-120
[2] Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), hlm. 14-16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar