BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Suatu hal yang
dipandang sebagai keharusan dalam kehidupan manusia salah satunya adalah
Perkawinan. dan dari perkawinan itu akan timbul suatu ikatan yang berisi hak
dan kewajiban. Dalam perkawinan juga memuat perihal tentang
Pencegahan,Pembatalan, Perjanjian,dan Pemutusan Perkawinan.
Namun, yang akan
di bahas disini adalah mengenai Perjanjian Perkawinan. Perjanjian dalam
perkawinan merupakan perjanjian yang mengatur akibat suatu perkawinan di dalam
bidang harta kekayaan. Perjanjian perkawinan umumnya jarang terjadi di
Indonesia asli, mungkin karena masih kuatnya hubungan kekerabatan antara calon
suami istri, dan juga pengaruh hukum adat yang sangat kuat. Seperti dalam hukum
adat dengan adanya adat kebiasaan bahwa bundel warisan, terutama yang merupakan
milik bersama ( harta gono-gini atau harta pencarian ) tetap untuk keperluan
kehidupan sehari-hari dari suami atau isteri yang masih hidup pada waktu pihak
yang lain meninggal dunia. Dengan demikian sepanjang mengenai harta, jarang
sekali dipersoalkan sebelum para calon suami isteri melangsungkan perkawinan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Tujuan
Perjanjian Perkawinan
2.
Tata Cara
Perjanjian Dilaksanakan
3.
Pengertian
Perjanjian Perkawinan
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perjanjian Perkawinan
Perjanjian
perkawinan adalah perjanjian yang mengatur akibat suatu perkawinan didalam
bidang kekayaan. Mengenai perjanjian perkawinan, terdapat berbagai asas hukum
yang mengaturnya,
Perjanjian
perkawinan mempunyai syarat, yakni perjanjian yang dibuat itu tidak
bertentangan dengan syari’at Islam atau hakikat perkawinan. “Jika syarat
perjanjian yang dibuat bertentangan dengan syari’at Islam atau hakikat
perkawinan apapun bentuk perjanjian itu maka perjanjian itu tidak sah, tidak
perlu diikuti, sedangkan akad nikahnya sendiri sah. Jadi jika syarat perjanjian
perkawinan yang dibuat tidak bertentangan dengan syari’at Islam atau hakikat
perkawinan, maka hukumnya boleh (sah), tetapi jka syarat tersebut bertentangan
dengan syari’at Islam atau hakikat perkawinan maka hukum perjanjian itu tidak
boleh (tidak sah).
Berdasarkan
sabda Nabi SAW:
كُلٌّ
شَرْطٍ لَيْسَ فِى كِتَابِ اللهِ فَهُوَبَاطِلٌ وَاِنْ كَانَ مِائَةُ شَرْطٍ
Segala syarat yang tidak terdapat dalam Kitabullah adalah batal,
sekalipun 100 kali syara[1]t.
Mengenai perjanjian perkawinan, kompilasi hukum
islam memperinci sebagai berikut:
Pasal 45
1. Taklik
talak
2. Perjanjian
lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam
Pasal 46
1. Isi
taklik-talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam
a. Apabila
keadaan yang diisyaratkan dalam taklik-talak betul-betul terjadi kemudian,
tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri
harus mengajukan persoalannya ke pengadilan agama
b. Perjanjian
taklik-talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan
tetapi sekali taklik-talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 47
1. Pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat
perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan
harta dalam perkawinan.
2. Perjanjian
tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan
harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan
Islam.
3. Di
samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu
menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta
pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
1. Apabila
dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta
syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
2. Apabila
dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1)
dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan
kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
1. Perjanjian
percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta harta, baik yang dibawa
masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama
perkawinan.
2. Dengan
tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan
bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan,
sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh
selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
1. Perjanjian
perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga
terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan dihadapan Pegawai Pencatat
Nikah.
2. Perjanjian
perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama
suami-istri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat
perkawinan dilangsungkan.
3. Sejak
pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami-isteri tetapi
terhadap pihak kertiga, pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu
diumumkan suami-isteri dalam suatu surat kabar setempat.
4. Apabila
dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan,
pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak
ketiga.
5. Pencabutan
perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang
telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak
kepada isteri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan
gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri
kedua, ketiga dan keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu
giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu[2]
dalam
undang-undang perkawinan ini diatur dalam pasal 29 yang mengatur antara lain:
1.
Ayat (1) : Pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga tersangkut.
2.
Ayat (2) : Perjanjian
tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-bats hokum,agama dan
kesusilaan.
3.
Ayat (3) :
Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
4.
Ayat (4) :
Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat diubah,kecuali
bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.
Selain itu juga dijelaskan mengenai Syarat
mutlak tentang adanya perjanjian kawin adalah Perjanjian kawin harus dibuat
dengan akta notaris (pasal 147). Dan akta notaris harus dibuat sebelum
dilangsungkannya perkawinan. namun hal itu tidak dapat serta merta dijadikan
sebagai alat pembuktian. perjanjian kawin mulai berlaku mulai pada saat
perkawinan dilangsungkan dan setelah dilangsungkannya prkawinan, perjanjian
kawin tidak dapat tidak boleh di ubah lagi dengan cara apapun (pasal 149).
Terhadap pihak ke-3 perjanjian kawin itu baru
mulai berlaku pada saat dibukukannya dalam register kepaniteraaan pengadilan
negeri (pasal 152), jika ada perceraian dan kemudian menikah lagi,hal itu tidk
dapat dijadikan alasan untuk merubah perjanjian kawin yang dahulu.
B. Tata Cara Perjanjian Dilaksanakan
Syarat yang lain
adalah perjanjian yang dibuat itu tidak bertentangan dengan syari’at islam atau
hakikat perkawinan. “Jika syarat perjanjian yang dibuat bertentangan dengan
syari’at islam atau hakikat perkawinan apapun bentuk perjanjian itu maka
perjanjian itu tidak sah, tidak perlu diikuti, sedangkan akad nikahnya sendiri
sah”. Jadi, jika syarat perjanjian perkawinan yang dibuat tidak bertentangn
dengan syari’at islam atau hakikat perkawinan, maka hukumnya boleh (sah),
tetapi jika syarat itu bertentangan dengan syari’at islam atau hakikat
perkawinan maka hukum perjanjian itu tidak boleh (tidak sah).
Hal-hal yang
tidak dapat dimuat dalam perjanjian kawin.
1.
Pasal 139 BW
tidak boleh bertentangan tertib umum dan kesusilaan. jadi seumpama tidak boleh
diperjanjikan bahwa isteri tidak boleh menuntut perceraian.
2.
Pasal 140 BW :
a. Tidak
boleh melanggar hak material dari suami (hak suami didalam statusnya sebagai
suami)
b. Tidak
boleh melanggar hak kekuasaan orang tua (menurut pasal 300, kekuasaan orang tua
dilakukan oleh suami)
c. Tidak
boleh melanggar hak yang diberikan Undan-undang kepada suami/isteri yang hidup
paling lama.ini yang mengenai hak waris dari suami/isteri (pasal 852a)
d. Tidak
boleh melanggar hak suami di dalam statusnya sebagai kepala rumah tangga, di
dalam hal ini ada pengecualian, yaitu isteri dapat mengadakan syarat
bahwa ia berhak mengurus harta kekayaan dan menikmati penghasilannya sendiri.
3.
Pasal 141 BW,
tidak boleh melepaskan haknya atas legitime portie(hk mutlak) atas warisan dari
keturunannya dan mengatur pembagian warisan dari keturunannya dan mengatur
pembagian warisan dari keturunannya. Pasal ini sebetulnya tidak perlu, karena
soal legitime portie tidak dapat diatur dalam undang-undang.
Dan pengaturan warisan dari anak
keturunannya harus dengan wasiat.
4.
Pasal 142 BW,
tidak boleh diperjanjikan bahwa bagian hutang yang jatuh kepada salah satu
pihak, ditentuka lebih besar dari bagian keuntungannya. Pasal 143 BW, tidak
bboleh diperjanjikan dengan kata-kata umum bahwa ikatan perkawinan harus tunduk
pada ketentan-ketentuan di luar negeri, adat kebiasaan atau peraturan daerah.
Yang dapat melakukan
perjanjian kawin, antara lain:
Harus cakap hukum, yitu yang berumur 18 tahun
untuk leleki dan 15 tahun untuk perempuan. Dan dibantu oleh orang-orang
yang memberikan izin atas perkawinannya(Pasal 151 BW). Jika diadakan perjanjian
kawin, maka ada tiga jenis harta kekeyaan:
a. Harta
persatuan
b. Harta
suami pribadi
c. Harta
isteri pribadi
Pengelompokan
harta pribadi terdiri dari:
a. Barang
bergerak atau piutang karena surat bawa(toonder) sebelum adanya perkawinan.
b. Barang-barang
ini asalnya dapat dilihat dalam perjanjian kawin atau dalam daftar yng
dilampirkan pada perjanjian itu(pasal 165).
c. Barang
tak bergerak atau piutang atas nama atau karena surat tunjuk (order) sebelum
adanya perkawinan.
d. Barang
dan piutang ini dapat diketahui asalnya karena ditulis atas aktanya atau
suratpiutang.
e. Barang
bergerak yang didapat karena hibbah atau warisan sepanjang perkawinan dapat
dibuktikan dengan surat pretelan mengenai barang itu.
f. Jika
barang semacam itu jath ketangan suami dan pretelan tidak ada, maka barang itu
tidak boleh dianggap sebagai milik pribadi suami, tetapi jatuh pada perstuan.
g. Di
dalam hal barang itu jatuh pada isteri, sedang tidak ada pretelan, isteri atau
keluarganya dapat membuktikan asal barang itu, dengan mendatangkan saksi, dan
bila perlu juga dengan adnya pengetahuan umum. Dan jika pembuktian itu tidak
dapat diadakan maka barang itu jatuh pada persatuan ( pasal 166).
h. Barang
tak bergerak dan surat berharga atas nama atau surat tunjuk (order) yang
didapat sepanjang perkawinan itu kalau dapat di peroleh keterangan itu berasal
dari milik pribadi salah satu pihak. Kalau keterangan ini tidak ada maka barang
itu jatuh pada persatuan (pasal 159).
i.
Kemudian kedua
belah pihak bersepakat untuk memisahkan segala macam harta,utang,dan
penghasilan yang diperoleh, baik sebelum perkawainan maupun sesudahnya. Jika
terjadi perceraian , tidak ada lagi pembagian harta gono-gini karena telah
memperjanjikan pemisahan harta,utang,dan penghasilan selama masa perkawinan.
C.
Tujuan
Perjanjian Perkawinan
1.
Membatasi atau
meniadakan sama sekali kebersamaan harta kekayaan menurut Undang-Undang.
2.
Ada nya
pemisahan antara harta suami tetap menjadi hartanya, dan harta isteri juga
tetap menjadi hatanya sendiri, dan ketika dibagi, harta keduanya dipisahkan
berdasarkan kepemilikan harta secara pribadi.
3.
Mengatur
pemberian hadiah dari suami, kepada isteri atau sebaliknya atau pemberian
hadiah timbal balik antara suami dan isteri. KUHPER pasal 168 mengatur bahwa ,
“ Dalam mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami isteri , yang satu
kepada yang lain dan atau sebaliknya, diperbolehkan member setiap hibah yang
demikian, sepantas pertimbangan mereka, dengan tidak mengurangi kemungkinan
akan dilakukannya pengurangan pada hibah tadi, sekedar perbuatan itu kiranya
akan merugikan mereka, yang menurut undang-undang berhak atas suatu bagian
mutlak.
4.
Membatasi
kekuasaan suami terhadap barang-barang kebersamaan yang ditentukan oleh KUHPer
pasal 124 ayat 2, sehingga tanpa bantuan isterinya, suami tidak dapat melakukan
perbuatan-perbuatan yang bersifat memutus. Hal ini juga berlaku terhadap
benda-benda bergerak yang dibawa isteri atau benda-benda yang diperoleh
sepanjang perkawinan yang beratasnamakan isteri. KUHPer pasal 140 ayat 3
mengatur bahwa, “ Selanjutnya mereka berhak memperjanjikan bahwa kendati
berlakunya persatuan menurut undang-undang , namun tanpa persetujuan isteri, si
suami tidak boleh memindahtangankan atau membebani barang-barang tidak bergerak
si isteri, surat-surat pendaftaran dalam buku besar tentang perutangan umum,
surat-surat berharga lainnya, dan piutang-piutang atas nama isteri”.
5.
Mengatur
pemberian testemen dari suami untuk isteri atau sebaliknya, atau sebagai hibah
timbale balik. Ketentuan tentang hibah ini diatur dalam KUHPer pasal 169, “
Hibah yang demikian ada yang terdiri atas harta benda yang telah tersedia dan
dengan jelas diterangkan pula dalam akta hibahnya, dan ada yang terdiri atas
seluruh atau sebagian warisan pemberi hadiah”.
6.
Mengatur
pemberian hadiah oleh pihak ketiga kepada suami atau isteri. Hal ini diatur
dalam KUHPer pasal 176, “Baik dengan perjanjian perkawinan maupun dengan akta
notaries tersendiri, yang dibuat sebelum dan berhubungan member setiap hibah
yang demikian, sepantas pertimbangan mereka kepada calon suami isteri atau
salah seorang dari mereka, dengan tidak mengurangi kemungkinan akan
dikuranginya hibah tadi, sekedar perbuatan itu kiranya akan merugikan mereka
yang berhak atas suatu bagian mutlak”.
7.
Mengatur
testemen dari pihak ketiga kepada suami atau isteri, sebagaimana diatur dalam
KUHPer pasal 178, “ Tiap-tiap hibah yang terdiri atas seluruh atau sebagian
warisan si yang memberikannya, apa pun yang dilakukan hanya untuk kebahagian
suami dan isteri saja, atau salah seorang dari mereka, selamanya dianggap
berlangsung untuk kebahagian anak dan keturunan mereka selanjutnya jika si
pemberi hibah kiranya hidup lebih lama daripada seorang yang sedianya harus
menerimanya, dan jika tidak ditentukan lain dalam akta”.
Didalam peraturan pelaksanaannya, yaitu dalam PP
No.9 tahun 1975, sepanjang mengenai perjanjian perkawinan ini tidak mengatur
lebih lanjut tentang pembatasan-pembatasan apa saja yang dapat diperjanjikan,
misalnya seperti harta benda. Maka sepanjang mengenai perjanjian perkawinan
luas sekali perumusannya yang dapat ditafsir dalam beberapa hal. Karena dalam
PP No.9 tahun 1975 hanya disebutkan dalam pasal 12 huruf h bahwa akta
perkawinan memuat perjanjian perkawinan apabila ada dan dalam perjanjian
perkawinan tidak dituangkan dalam satu akta.
Oleh karena
sifatnya harta di bawa dalam perkawinan, sepanjang mengenai persatuan harta
dalam perkawinan secara tegas telah diatur dalam Undang-undang No.1 tahun 1974,
pasal 35 ayat 1 dari pasal 35 Undang-undang No.1 tahun 1974, yang menyebutkan
bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Ayat
2 harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan demikian
sepanjang mengenai percampuran harta di dalam perkawinan dirasa cukup jelas,
akan tetapi apabila terjadi perceraian dijelaskan dalam undang-undang No.1
tahun 1974 tersebut bahwa apabila perkawinan putus maka harta bersama diatur
menurut hukumnya maasing-masing.
Perjanjian
perkawinan itu harus dibuat secara tertulis atas persetujuan kedua belah pihak
yang disahkan Pencatat Perkawinan. Apabila telah disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan, maka isinya mengikat para pihak dan juga pihak ketiga sepanjang
pihak ketiga tersebut tersangkut, dan Perjanjian perkawinan itu dimulai berlaku
sejak perkawinan berlangsung dan tidak boleh dirubah kecuali atas persetujuan
kedua belah pihak dengan syarat tidak merugikan pihak ketiga yang
tersangkut.
B.
Saran
Meskipun penulis menginginkan
kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini tetapi kenyataannya masih banyak
kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang penulis
miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
sangat penulis harapkan untuk perbaikan ke depannya.
DAFTAR PUSTAKA
Soimin, Soedaryo. Hukum Orang dan
Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika.2004
Affandi, Ali. Hukum Waris, Hukum
keluarga dan Hukum Pembuktian. Jakarta:
Rineka Cipta Saleh, Wantjik. Hukum Perkawinan
Indonesia. 1997
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh
Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008
Aulia,
Tim Redaksi Nuansa, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia, 2008
KATA
PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi
Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah
ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa
masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca
Bengkulu, juni
2017
penyusun
DAFTAR
PUSTAKA
HALAMAN DEPAN................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Kata pengantar................................................................................ 1
B.
Rumusan masalah............................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Tujuan
Perjanjian Perkawinan......................................................... 2
B.
Tata Cara
Perjanjian Dilaksanakan.................................................. 5
C.
Pengertian
Perjanjian Perkawinan................................................... 8
BA III PENUTUP
A.
Kesimpulan.................................................................................... 11
B.
Saran.............................................................................................. 11
Saran.............................................................................................. 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar