BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kehadiran postmodernisme di kalangan
peneliti budaya memang masih kontroversial. Di satu pihak menghendaki agar ada
perubahan pemahaman, dari modern ke yang lain, yang konon telah jenuh dan
menemui jalan buntu. Di lain pihak, masih ada keraguan menerima istilah
tersebut, karena postmodernisme dianggap sekedar konter produktif, hura-hura,
dan cibiran terhadap paham modern. Paham kedua inilah kiranya yang menciptakan
postmodernisme masih goyah, bahkan ada yang belum mengakui secara akademik.[1]
Akan semakin rumit lagi, kalau
posmodernisme sekedar diterima sebagai pengolok-olok wawasan modern. Akibatnya,
mereka menerima tak ke dasar yang jelas, melainkan sekedar kulit-kulit saja.
Penerimaan yang setengah-setengah, jelas akan memojokkan postmo dernisme,
sehingga boleh jadi menganggap paham tersebut sekedar buru-buru, reaksioner,
dan lebih bersifat sembrana. Apalagi, penam bahan awalan “post” dan akhiran
“isme” tersebut, oleh beberapa pemi kir budaya masih diragukan. Apakah “post”
menandai sebuah peru bahan pemikiran yang pascastruktural atau sekedar ingin bersikapdekonstruksi belaka.
Manakala “isme” tersebut kelak
justru menjadi payung keil muan (kajian) budaya yang lebih jernih, artinya
kajian dekonstruksi yang konstruktif, tentu semua pihak akan mengangguk. Hal
ini berarti posmodernisme menjadi pijaran neo-modernisme atau pasca-moder
nisme. Pada tingkatan demikian, postmodernisme telah melahirkan sebuah hirarkhi
keilmuan yang handal. Postmodernisme tak sekedar “gila” terhadap metafora-metafora
(bahasa) yang didengungkan Ricoeur, yang selalu berpijak “seperti ini” dan
“adalah bukan”. Lebih dari itu, postmodernisme
seharusnya menjadi kampiun kajian budaya, yang mampu mengungkap makna tertentu,
yang referensinya tak sekedar “konvensional”. Karena, “konvensio nal” adalah
referensi yang tak murni, melainkan yang telah “dika takan” dan dipoles lewat
cahaya bahasa.
Pendek kata, kehadiran
postmodernisme semestinya tak sekedar gerakan eforis di tengah hiruk pikuk
pemahaman budaya. Apabila kemeriahan postmodernisme hanya sampai di sini,
berarti pemahaman budaya justru semakin dangkal dan kosong.
Kajian
postkolonial dalam bidang budaya memang tergolong baru. Bahkan, mungkin masih
jarang yang berani menerapkan teori kajian ini ke dalam wilayah budaya. Karena,
awal munculnya paham tersebut berasal dari kajian sastra (postcolonial
literature) yang dipelopori oleh Bill Aschroft Paham ini, semula mencuatkan
pemahaman model national dan black writing. Model national memusatkan perhatian
pada hubungan antara negara dan bekas jajahannya. Sedangkan black writing, menekankan aspek etnisitas.
Sebagaimana
kehadiran postmodernisme dalam kajian budaya, yang juga dipicu oleh teori-teori
sastra dan seni, postkolonialisme pun sebenarnya layak diangkat untuk mengkaji
budaya. Konteks penjajah terjajah, dalam fenomena budaya sebenarnya lebih kaya.
Banyak hal yang unik dan menarik untuk diungkap melalui teori postkolonia
lisme. Hegemoni penjajah yang luar biasa, akan menjadi bahan kajian peneliti
budaya. Begitu pula persinggungan pluralisme budaya, telah banyak menyuguhkan
persoalan etnis, sehingga menarik bagi paham postkolonialisme.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Dasar-Dasar Postmodernisme?
2.
Bagaimana
kajian Postmodernisme?
3.
Bagaimana
kajian Postkolonialisme?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui dan memahami dasar-dasar post modernisme
2.
Untuk
mengetahui dan memahami kajian postmodernisme
3.
Untuk
mengetahui dan memahami kajian postkolonialisme
4.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DASAR-DASAR POSTMODERNSISME
1. Menuju Kemapanan
1. Menuju Kemapanan
Teror-teror
mental yang selama ini membebani postmodernisme, seperti pelarangan menggunakan
kata “saya” pada sebuah penelitian, pelarangan pemanfaatan kata-kata estetis
dalam studi budaya – sebaiknya dihapus. Karena, postmodernisme tak lagi ingin
berpikir kerdil yang meracuni peneliti sendiri. Keindahan bahasa dalam sebuah
laporan peneltian budaya, asalkan tak mengurangi realitas, kiranya diizinkan
dala postmodernisme.[2]
Yang lebih
penting lagi, dalam postmodernisme memang sedang “menuju” pada titik lebenswelt,
sebagaimana digagas Husserl. Lebenswelt adalah tatanan pengalaman hidup yang
matang, yang ingin direfleksikan menjadi sebuah gagasan ilmiah. Postmodernisme
akan bergerak ke arah ini, untuk menemukan kesejatian pemahaman budaya. Yakni,
mulai dari taraf prailmiah, invensi, refleksi, sampai tingkat kemapanan.
Postmodernisme
ingin mendudukkan persoalan pemahaman kebudayaan yang sering dikesampingkan
kaum modernisme. Jika kaum modernisme cenderung menepikan pemahaman budaya dari
aspek historis, menaifkan budaya terpencil, budaya terjajah, dan cenderung
mendewakan oposisi-oposisi biner, potmodernisme tak demikian.
Postmodernisme
justru ingin mengangkat dunia kecil, yang “dibuang” oleh modernisme. Jika kaum
modernisme cenderung memahami budaya dengan struktur yang pasti, postmodernisme
justru membuka dialog baru pemahaman budaya. Pemahaman budaya justru lebih ke
arah demokratis dan terbuka.
2.
Kebenaran: Gejala Radikal
Paham
postmodernisme cenderung menyerang otoritas akal manusia. Mereka tak
semata-mata mengkritik rasionalitas dunia alamiah dan kesulitan-kesulitan
metodologis untuk menaklukkannya tetapi malah mempertanyakan konsep self
sebagai hal yang hidup. Percakapan mereka berputar sekitar konsep becoming
(menjadi). Dari pernyataan demikian, berarti penelitian
postmodernisme terhadap budaya lebih bebas dan radikal.
Hal
demikian, juga diakui Lyotard bahwa
postmodernisme merupakan gerakan penelitian budaya “radikal”. Paham ini
merupakan tuntutan budaya kapitalis khususnya bidang seni. Paham ini tak mengindahkan
hukum-hukum, pola-pola budaya yang lazim, dan menolak paham modern yang selalu
memiliki hegemoni pemaknaan. Postmodernisme justru ingin menjebol sistem status
quo. Itulah sebabnya, pemahaman budaya tak harus diatur rapi, tak harus
berkotak-kotak, berteori-teori, melainkan dapat dimulai dari hal-hal sepele dan apa saja yang mungkin.
Postmodernisme
sebenarnya lahir atas ketidakpuasan terhadap model penelitian budaya
sebelumnya. Penganut postmodernisme, menganggap bahwa teori kajian budaya
sebelumnya, seperti evolusio nisme, fungsionalisme, struktal fungsional, dan
seterusnya yang mengeklaim dirinya modern — dianggap kurang berdaya. Maksudnya,
teori kajian budaya modern itu kurang mewakili kebenaran budaya yang semakin
kompleks. Tuntutan zaman dan selera budaya masa kini, tampaknya tak mampu
terwadahi oleh teori-teori modern yang agak sedikit kaku. Karena, pandangan
modern hampir selalu mematok sebuah pemahaman budaya “harus ini” dan “harus itu”.
Keharusan
semacam ini, seringkali tak mampu melacak kebenaran fenomena budaya itu
sendiri, melainkan sekedar kamuflase belaka. Postmodernisme berpendapat bahwa
kebenaran tidak pernah terbayangkan. Kebenaran tidak selalu hadir dari
unsur-unsur budaya yang besar. Jalan mencari kebenaran perlu dicari secara
kreatif mem beri makna budaya. Maka budaya yang telah ada perlu didekonstruksi,
karena konstruksi yang ada diasumsikan kurang mampu dan gagal menemukan kebenaran.[3]
Kemungkinan
besar, logika postmodernisme memang kontroversial dan paradoks. Tegasnya,
logika berpikir mere ka sangat labil dan tak menghendaki kemapanan dalam
mencari kebenaran makna. Kendati logika mereka sangat cerdas, tetapi sering
dicap tidak konsisten, dan ini ciri postmodernisme. Mereka akan memahami gejala
budaya menurut sistem yang dianutnya. Mungkin, sistem itu sangat subyektif,
individualis, idealis, dan sulit dipahami oleh orang awam. Yang jelas, sistem
pemahaman itu sendiri tak bisa dibakukan, dikukuhkan, dan disistematikakan.
Memang harus
diakui, penelitian budaya yang menggunakan paham postmodernisme seakan-akan
belum diakui oleh akademisi tertentu. Para peneliti masih budaya sering
menganggap bahwa postmodernisme sebagai gejala radikal akademik, yang sering
memaksakan sebuah paradigma. Padahal, bagi mereka sebenarnya “kaca pandang”
mutakhir ini merupakan rangkaian pelengkap kajian budaya sebelumnya. Paling
tidak, postmodernisme akan memberikan pencerahan penelitian budaya pasca-tafsir
kebudayaan yang dianggap kurang berhasil. Terutama, setelah Geertz menafsirkan
budaya Jawa di Pare dengan samaran Mojokuto. Periode tafsir ini dianggap kurang
mewakili abangan, santri, priyayi di Jawa secara keseluruhan. Karena itu,
muncul postmodernisme yang berupaya menjelaskan sisi-sisi kecil dari unsur budaya
yang sering terabaikan.
Sandaran
dasar kaum postmodernisme, bukan berarti menolak rasionalitas yang telah
dibangun kaum interpretif dan sebelumnya, melainkan ingin mencari makna baru
lewat kebenaran aktif kreatif. Logika yang digunakan adalah selalu menemukan
kebaruan, tanpa standar yang pasti. Karena itu, bagi kaum postmodernisme
berkilah bahwa, kebenaran yang selalu mengandalkan “grandtheory” sudah tidak
relevan lagi. Namun, mereka lebih menghargai perbedaan, pertentangan,
paradoks, dan misteri di balik fenomena budaya.
B. TEORI KAJIAN
1.
Pluralitas Makna
Salah satu
karakteristik postmodernisme adalah tak suka pada makna tunggal sebuah fenomena
budaya. Mereka cenderung meman dang budaya itu bermakna banyak (plural). Budaya
menyuguhkan makna yang bersifat poliinterpretable, sehingga boleh dimaknai
sekehendak hati. Dari sini, realitas budaya dipandang sangat proble matis dan
menampilkan makna plural. Pendek kata, postmodernisme seirama dengan kajian
pascastrukturalisme. Dia menolak ide struktur sebagai penopang makna yang
mapan. Bahkan Strorey menyatakan
pascastrukturalisme “mengimani” bahwa makna selalu dalam proses, tak pernah final.
Paham
postmodernisme atau dekonstruksi, menolak otoritas sentral dalam pemaknaan
budaya. Makna budaya tidak harus tunggal, melainkan bersifat terbuka pada makna
yang lain. Makna mungkin ada dalam apa saja, hal-hal yang kecil, yang kurang
diperhatikan, kurang disinggung, kemungkinan justru memiliki makna yang besar.
Jadi, postmodernisme lebih menolak segala asumsi-asumsi yang membelenggu
pemaknaan. Hal ini tidak berarti bahwa postmoder nisme hanya ingin menang
sendiri, hanya kecewa dengan paradigma penelitian sebelumnya, dan atau hanya
tergelincir pada eforia, melain kan memiliki dasar-dasar yang kuat dan logis
dalam pemaknaan.[4]
Jika kaum
modernis selalu mengandalkan “rahasia makna” budaya dalam sebuah struktur atau
teks, postmodernisme tidak demi kian. Kaum postmodernisme justru menghargai ada
unsur sejarah, latar belakang, dan unconsciousness di balik fenomena budaya. Hubungan
statis antara prosisi dengan realitas tidak ada baginya, yang ada adalah
penanda yang mengambang terus-menerus dan sukar ditemukan hubungannya. Kodrat
pemaknaan tidak stabil secara esen sial. Karena penanda mengambang terus,
postmodernisme berusaha mendefinisikan ulang teori yang selama ini dianut,
mendekonstruksi realitas, dan berusaha memaknai fenomena budaya berdasarkan pluralitas makna.
Prinsip
pengejaran makna menganut konsep relativisme budaya. Tentunya, postmodemisme
lalu menolak makna universalitas budaya. Makna budaya tidak harus menjadi milik
sekian banyak orang. Biasa saja fenomena budaya hanya bermakna bagi segelintir
orang dan individual. Hal ini dapat dipahami melalui pemikiran Derrida.
Meskipun dia lebih banyak menyorot pada konteks budaya sebagai teks, khususnya
bidang teks sastra, namun tetap menyiratkan pandang an yang luar biasa bagi
pengkaji budaya. Menurutnya, teks bukan sekedar kumpulan tanda-tanda, melainkan
sebuah “rajutan”, artinya makna teks tersebut tertenun dalam keseluruhan teks.
“objektivitas” barat tidak
selalu tepat diterapkan di dunia peneliti budaya kita, ahli peneliti budaya
cenderung memanfaatkan kembali kemampuan kemanusiaan dalam belajar memahami dan
berkomuni kasi. Upaya memahami simbol budaya, tidak selalu tepat untuk meng
objektivitaskan kontak-kontak kemanusiaan. Begitu pula pemahaman makna terhadap
simbol mitos atau ritual tidaklah bisa diramalkan seperti halnya siapa yang
akan memenangkan Pemilu. Tugas peneliti budaya, mirip seperti upaya menafsirkan
Hamlet. Kita tidak dapat menggali, mengukur, dan menguji Shakespeare untuk
mengetahui apakah tafsiran kita itu “benar” dan tafsiran orang lain keliru.
2.
Out of Context
Dengan masuknya wacana sastra dan seni, dalam
penelitian budaya langsung atau tidak — etnografi akan menjadi lebih `berbunga’,
tidak kering. `Bunga’ yang dimaksud, tidak sekedar asesori,
melainkan juga menawarkan komunikasi khusus dalam
etnografi, sehingga dalam konteks pluralisme budaya pun, akan tetap terpahami.
Kehadiran postmodernisme merupakan upaya penafsiran yang berga bung dengan
semiotik yang menyangkut `bagaimana’ makna teks, dan tidak lagi hanya seperti
hermeneutika yang lebih menyangkut `apa’ makna teks.
Hal semacam itu sejalan dengan pemikiran Eagleton
bahwa postmodernisme memang mengambil ide dari modernisme dan avant-garde, dan
kemudian diramu yang lebih masak dengan disiplin lain. Dari modernisme,
postmodernisme mencoba mewarisi tentang kritik yang mengambil jarak, sedangkan
dari avant-garde, postmoder nisme ingin mencoba memecahkan masalah kehidupan
sosial budaya, menolak tradisi, dan sebagai oposisi “high” culture. Dalam
istilah yang sederhana, Habermas postmodernismeime itu sebagai langkah “counter
culture”, artinya kebudayaan elit atau kebudayaan massa pada masa modernisme
justru dihancurkan.
Karya Frazer yang bersumber pada folklor Perjanjian
Lama, jelas menghadirkan aroma baru dalam hal persuasi dan khayalan peneliti
budaya. Dengan kegigihannya ia telah membahas pluralitas dan keragaman folklor,
sehingga mampu melukiskan hubungan sastra dengan masa lampau. Dengan cara ini,
ia merasa lebih dekat pembaca. Dengan model Frazer itu, paling tidak telah
terbuka jalan munculnya peneliti budaya komunikatif (istilah saya sendiri),
sehingga ada kaitan jelas antara penulis etnografi, pemilik budaya, dan pembaca
etnografi. Karena itu, memang tidak keliru jika Strathern juga memuji Leenhard
bahwa karyanya pascastrukturalis memang mampu mengungkapkan teori budaya yang
lebih terbuka dan inovatif. Pendek kata, apa yang dihasilkan Frazer telah mampu
menggeser tesis Geertz bahwa menulis etnografi merupakan pekerja lapangan sebagai
sumber kekuasaan terpadu.
Frazer secara diam-diam, telah membersitkan peneliti
budaya reflektif, yakni karya etnografi merupakan hasil dialog antara peneliti
budaya dengan informan. Hubungan antara pengamat dengan yang diamati, tidak
lagi seperti hubungan subjek-objek. Dalam dialog tersebut subjektivitas dan
objektivitas selalu bisa diciptakan. Dari akar semacam ini, Frazer lalu
mengangkat istilah “sense of history” untuk mengupas lebih jauh relasi antara pembaca
dan penulis. Pendapat inilah yang juga terilhami oleh tafsir kebudayaan yang
memandang budaya sebagai teks, budaya yang harus dibaca sebagai teks.
Kelebihan Frazer dalam hal ini adalah bahwa penulis
dan pembaca (etnografi), keduanya memiliki `sejarah ide’ yang menim bulkan
imajinasi yang seringkali berbeda dalam menghadapi persoal an (baca:budaya)
yang sama. Asumsi inilah yang membuat Frazer mulai `pindah’ dari frame modernis
yang sering ke arah positivistik, menuju pada suatu shift (pergeseran) pola pikir peneliti budaya.
Pergeseran konteks, yang semula `in of context’ ke
arah `out of context” akan membuahkan pola pemikiran baru, yang implikasinya
menghadirkan arus postmodernisme.
Dengan mempertimbangkan isyarat Frazer, Strathern
berdalih bahwa pemahaman budaya dengan menempatkan suatu konteks yang dibangun
oleh peneliti (penulis etnografi) sesuai dengan kaidah teoritis dan
pengorganisasian frame work – akan meluncurkan `asap’ karya-karya yang
etnosentris. Etnosentrisme menurut Swartz dan Jordan adalah cara memahami dan
mengevaluasi budaya menurut si peneliti itu sendiri. Oleh karena, di sini
otoritas penuh berada pada diri peneliti dan atau penulis etnografi terhadap
teks, kehadiran penulis menjadi dominan. Akibatnya menggembosi objekti vitas
itu sendiri. Dalam kaitan ini, penulis-peneliti etnografi tidak memberi `ruang
bicara’ kepada pembaca, mematikan pembaca, dan membodohkan atau mendungukan.
Karena itu, dalam `out of context’ tidak menjadikan konteks sebagai hal utama
yang harus didewakan. Penulisan dan penelitian yang akan membuahkan pelukisan
budaya selalu sharing of culture.Dari alasan-alasan itu, Strathern boleh
dinilai telah berani `merobek’ konteks. Artinya, dia telah mengarahkan agar
penulis peneliti dan
Strathern
juga memberikan sugesti bahwa gerakan feminisme pun memiliki andil penting
dalam postmodernisme, karena tidak sedikit karya feminis yang dibentuk dengan
wacana plural. Keduanya, memang memiliki visi yang berbeda, namun juga ada
hal-hal esensial yang saling melengkapi. Seperti halnya ditegaskan oleh Fraser
dan Nicholson (1990:20), jika postmodernisme ke arah prinsip dan esensi kritik
budaya yang canggih dan persuasif serta cenderung mencari
kekurangan-kekurangan, feminisme berusaha secara tegas cenderung mencari pergeseran
prinsip dan esensi.
Dengan
kehadiran postmodernisme itu, penulis dan peneliti peneliti budaya menjadi
lebih longgar. Sekarang, bukan lagi soal objektivitas yang harus diperhatikan,
melainkan pada pemahaman budaya yang tidak tercerabut dari akar pluralisme
budaya. Tidakkah Benjamin dan Adorno juga mensugestikan bahwa postmodernisme
mampu menjembatani gap antara subjek dan obyek, praktis dan teori dalam
peneliti budaya. la mengatakan:
“The merger of theory and textual form in postmodernismeist ethnography may,
upon closer historical examinantion, prove to be a similarly illu sory fiat”.
Bahkan Bruner mengungkapkan bahwa lukisan karya postmodernisme adalah: “a world
that is multivocal, fragmen ted, desentered, with no master narrativees or
central texs, a world in wich meaning is radically plural”
Kendatipun
begitu, kehadiran ide Frazer dan Keesing telah membuka mata kita. Setidaknya,
implikasi penting dari semua itu bagi calon peneliti budaya akan terbuka
wawasan baru ke arah dunia baru yang rumit. Lalu, kita akan lebih berhati-hati
dalam menjelaskan dan memahami budaya masa kini. Terlebih lagi jika bertumpu
pada pernyataan Keesing dengan adanya persoalan men dasar pada dunia ketiga dan
dunia keempat. Pandangan ini mengi nginkan seorang peneliti budaya yang
futurolog, mampu melihat ke depan dengan kacamata postmodemisme. Oleh karena,
mengalirnya pengaruh postmo di pasar global dan abad mellenium nanti penuh
tantangan. Hal serupa juga telah ditunjukkan Strinati bahwa masa budaya massa
dan budaya populer jelas akan hadir di depan mata kita. Pengaruh globalisasi,
seperti film, arsitektur, televisi, musik pop dan sebagainya akan membuat
pergeseran konteks budaya kita juga.
Persoalan
yang harus dihadapi lebih jauh lagi, dengan adanya pemahaman bahwa konteks bisa
bergeser, berubah, meloncat, dan bahkan berputar sampai 360 derajat – memang
pada gilirannya akan menyulitkan penulisan sejarah peneliti budaya (baca:
kebudayaan) itu sendiri. Kebudayaan menjadi sangat bebas dan hanya akan
terpahami secara mendalam oleh kritikus kebudayaan.
Akhirnya,
karya kritik ini akan menyulitkan pula dalam menyusun teori kebudayaan. Atau
mungkin, analog dengan wacana sastra, pada tataran tertentu memang tidak
dibutuhkan sejarah dan teori peneliti budaya, etnografi, dan kebudayaan. Lalu,
dengan munculnya sejumlah buku, seperti tulisan Van Ball dan Kcentjaraningrat,
yang masih beria-ria dengan sejarah teori itu menjadi kurang penting? Pasalnya,
kenapa harus ditulis sejarah dan teori, jika budaya itu sendiri `tidak jelas’
ada dimana, seperti apa?
Postmodernisme
biasanya mengembangkan paradoks-paradoks penafsiran makna. Artinya, yang semula
oleh kaum modern ada unsur budaya yang disisihkan, dianggap kecil, dianggap
pinggiran, dan kurang mendukung makna – oleh kaum postmo justru dikejar. Ke
mungkinan hal-hal yang sepele yang kurang “bernyawa” itu menjadi bermakna
istimewa. Melalui asumsi ke hal-hal yang kontradiktif dengan yang telah lazim,
justru mereka mampu menemukan malma hakiki sebuah fenomena budaya.
3.
Langkah Kajian
Menurut kaum
postmodernisme, telah ada pelenyapan batas batas antara seni dan kehidupan masa
kini, antara budaya strukti.u’al (legitimated, birokrasi) dengan budaya
populer, semua itu akan ditandai dengan penghilangan kode stilistik
masing-masing. Bahkan, menurut mereka pada suatu saat budaya akan menjadi
sebuah ironi, parodi, dan penuh permainan. Jadi, fenomena budaya boleh SO
bersifat imajiner, bebas, liar, dan bermakna. Budaya tak lagi berupa “monumen” dan
“bangunan” kokoh, melainkan fenomena lentur, mesra, dan artistik.
Dengan demikian, postmodernisme
memang menolak sebuah hirarkhi, genealogik, kontiuitas, keseragaman, dan
perkembangan Dalam tataran ini, tidak berarti kaum postmodernisme sekedar
membuat dobrakan (destruksi) pada kaum modem, melainkan ingin merepresentasikan
segala sesuatu yang buntu pada masa modern. Oleh karena kaum modern sering taat
pada standar logis, posmodernisme lebih dari itu, yaitu tidak menggunakan
standar baku, melainkan bersifat kreatif.
Melalui postmodernisme, paham budaya
sebagai teks akan dibongkar habis-habisan. Karena, teks sering diliputi “kekuasaan”.
Ada hegemoni makna yang seringkali mengintervensi budaya. Dalam hal ini, memang ada benarnya jika Foucault menolak
adanya sejarah yang obyektif. Tulisan sejarah adalah fenomena budaya.
Sayangnya, fenomena ini sering terkotori oleh trope (kiasan) dan sejumlah
“ulangan” absurd. Di sini telah terjadi pemerkosaan wacana budaya. Karena itu,
jika hal ini dimaknai menggunakan kacamata modern, seringkali gagal.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan ketika mengkaji post
modernisme menurut Derrida yaitu: Pertama, mengidentifikasi hirarkhi oposisi
dalam teks di mana biasanya lantas terlihat peristilahan mana yang
diistimewakan secara sistematik. Kedua, oposisi itu dibalik, misalnya dengan
menunjukkan saling ketergantungan di antara yang berlawanan itu, atau dengan
mengu sulkan privilese secara terbalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah
atau gagasan baru yang ternyata tak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama.
C.
KAJIAN POSTKOLONIALISME
Tradisi
postkolonial mengenal dua kunci utama pemahaman budaya: Pertama,
dominasi-subordinasi. Isu dominasi dan subordinasi muncal berkenaan dengan
krontrol militer kolonial genocide dan keterbelakangan ekonomi. Keduanya tak
hanya terjadi antara negara dan etnis, tetapi juga antar negara dengan negara,
etnis dengan etnis. Bahkan, pada gilirannya dengan sistem kolonial yang
aristokrat telah mengubah suborninasi dan dominasi individu kepada individu
lain. Jika hal ini terjadi, maka hubungan atasan-bawah, patron-clien, maji
kan-buruh, akan selalu ada. Budaya semacam ini, telah melahirkan
keunikan-keunikan yang patut dicermati oleh peneliti budaya. Bahkan, suborniasi
dan dominasi laki-laki terhadap perempuan, sehingga di Jawa ada anggapan wanita
minangka kanca wingking, artinya wanita hanyalah teman di belakang menjadi semakin rumit.
Kedua,
hibriditas dan kreolisasi. Budaya lama di era kolonial, melalui proses
hibriditas akan semakin pudar. Bahasa juga akan mengalami kreolisasi, yaitu ke
arah penciptaan bentuk-bentuk ekspresi baru. Budaya kolonial akan diubah
(transkultural) ke dalam wacana hidup baru. Identitas budaya yang konon selalu
dianggap halus dan agung (adiluhung), kemungkinan besar segera bergeser
maknanya. Era global-lokal dan otonomi daerah, sedikit banyak telah memoles
budaya lama ke dalam budaya baru. Kekuatan paternal dan pusat, lama-kelamaan
berubah ke pinggiran. Kekuatan sakral (njeron beteng) misalnya, akan berubah
sembilan puluh derajat. Tembok keraton dari waktu ke waktu juga “runtuh”, bercampur
dengan kelugasan di luar keraton. Dalam perubahan tersebut selalu terjadi
negosiasi antar pelaku. Hibriditas tradisi yang konon dianggap hebat, lalu berkem bang menjadi melemah.[5]
Dengan
adanya postkolonial ini, peneliti budaya Jawa misalkan, dapat melalukan studi
mendalam tentang terjadinya sinkretisme Islam Jawa, Hindu Jawa, yang selalu
mewarnai kehidupan masyarakat. Jika pada awalnya, rakyat terjajah enggan
menerima paham lain, namun dengan ada sinkretik barangkali mereka sama-sama
diuntungkan. Mereka sama-sama tak terasa telah mengalami akulturasi budaya.
Mereka pula secara halus telah mau menerima dan memberi kepada pihak lain.
Proses keberterimaan dan penolakan budaya inilah yang menarik perhatian peneliti.
Yang perlu
dipertimbangkan dalam kajian poskolonialisme budaya adalah konsep kajian
Gayatri Spivak tentang subaltern. Dia mengajukan pertanyaan kritis: “dapatkan
subaltern berbicara?” Subal tern adalah subjek yang tertekan.
Pertanyaan ini telah mengarahkan peneliti budaya, untuk mengkaji lebih jauh eksistensi budaya orang-orang terjajah. Biasanya posisi kaum terjajah adalah inferior, sedangkan penjajah superior. Pihak inferior sering “bisu” karena harus menurut kehendak superior. Karenanya, memang tepat apabila dipertanyakan “dapatkah subaltern berbicara. Ini sebuah ironis, yang ingin menyatakan bahwa budaya kaum penjajah sering memaksakan kehendak.
Pertanyaan ini telah mengarahkan peneliti budaya, untuk mengkaji lebih jauh eksistensi budaya orang-orang terjajah. Biasanya posisi kaum terjajah adalah inferior, sedangkan penjajah superior. Pihak inferior sering “bisu” karena harus menurut kehendak superior. Karenanya, memang tepat apabila dipertanyakan “dapatkah subaltern berbicara. Ini sebuah ironis, yang ingin menyatakan bahwa budaya kaum penjajah sering memaksakan kehendak.
Atas dasar
hal tersebut, lalu muncul dua tipe kolonialisme. Pertama, berhubungan dengan
penaklukan fisik. Kedua penaklukan pikiran, jiwa, dan budaya. Baik penaklukan
pertama maupun kedua, sama-sama tak mengenakkan bagi kaum kolonialis. Kedua
tipe ini, seringkali telah menumbuhkan produk-produk budaya baru, misalkan saja
ada penciptaan seni dan budaya. Begitu pula penciptaan sastra yang memuat subkultur
tertentu, yang diam-diam menolak tradisi penjajah.
Konsep kolonialisme di era manapun memang selalu bergerak pada dua hal. Pertama, menguntungkan si penjajah, terutama pada bidang-bidang tertentu. Kedua, menguntungkan kedua-duanya, karena si terjajah dapat belajar banyak tentang budaya dan kehidupan. Kedua hal tersebut telah menyisakan pengalaman kultural yang luar biasa.
Konsep kolonialisme di era manapun memang selalu bergerak pada dua hal. Pertama, menguntungkan si penjajah, terutama pada bidang-bidang tertentu. Kedua, menguntungkan kedua-duanya, karena si terjajah dapat belajar banyak tentang budaya dan kehidupan. Kedua hal tersebut telah menyisakan pengalaman kultural yang luar biasa.
Apalagi,
jika penjajah telah sampai menanamkan imperalismenya, tentu kolonialisme
semakin rumit. Pada tataran ideologis tentu akan lebih berbahaya dalam
kehidupan terjajah. Akibatnya, kehidupan si terjajah secara tak sadar akan
mengikuti kehendak penjajah.
Di era
modern yang serta global ini, penjajahan telah semakin pelik. Penjajahan
teknologi informasi, kultural, dan politik telah menyisakan pengalaman pahit.
Bahkan, bangsa terjajah akan menga lami stress berat, karena merasa
diombang-ambingkan oleh penjajah. Misalkan saja, ketika isu teror ditiupkan
Amerika, secara tak langsung bangsa-bangsa yang mayoritas Islam telah semakin gerah.[6]
Dengan
demikian, kekuatan memang akan selalu bermain dalam kancah kolonialisme. Karena
itu, peneliti budaya dapat memusatkan perhatian ke arah ini. Termasuk di
dalamnya juga penjajahan kultural, seperti budaya pelacur kelas kakap, teror
bom, jual beli bayi, ABG, dan sebagainya patut disorot dalam postkolonialisme
Yang penting
dikemukakan, tradisi postkolonialisme tak berarti harus menarik waktu dalam
rentang panjang. Peneliti tak harus mena rik mundur kacamatanya ke aspek
historis belaka. Peneliti budaya seharusnya tak terkecoh dengan lama tidaknya
kolonialisme. Koloni alisme dapat berlangsung singkat, datang pergi, dan tak
pernah berhenti sepanjang bangsa dan etnis satu berhubungan dengan yang lain
Kajian
postkoloniasme budaya paling tidak harus mengaitkan dengan aspek politik.
Kekuasaan politik akan mewarnai kultur kaum kolonialis. Oleh karena, penjajah
akan menanamkan apa saja dan lewat saja yang mungkin dan strategis sebagai
media. Itulah sebabnya studi postkolonialisme yang berhasil akan menjadi
dokumentasi kritik sejarah. Dokumentasi ini akan menjadi pelajaran berharga bagi pemilik budaya itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Postmodernisme sebenarnya lahir atas ketidakpuasan
terhadap model penelitian budaya sebelumnya. Penganut postmodernisme,
menganggap bahwa teori kajian budaya sebelumnya, seperti evolusio nisme,
fungsionalisme, struktal fungsional, dan seterusnya yang mengeklaim dirinya
modern — dianggap kurang berdaya. Maksudnya, teori kajian budaya modern itu
kurang mewakili kebenaran budaya yang semakin kompleks. Tuntutan zaman dan
selera budaya masa kini, tampaknya tak mampu terwadahi oleh teori-teori modern
yang agak sedikit kaku. Karena, pandangan modern hampir selalu mematok sebuah
pemahaman budaya “harus ini” dan “harus itu”.
Konsep
kolonialisme di era manapun memang selalu bergerak pada dua hal. Pertama,
menguntungkan si penjajah, terutama pada bidang-bidang tertentu. Kedua,
menguntungkan kedua-duanya, karena si terjajah dapat belajar banyak tentang
budaya dan kehidupan. Kedua hal tersebut telah menyisakan pengalaman kultural yang luar biasa.
Apalagi,
jika penjajah telah sampai menanamkan imperalismenya, tentu kolonialisme
semakin rumit. Pada tataran ideologis tentu akan lebih berbahaya dalam
kehidupan terjajah. Akibatnya, kehidupan si terjajah secara tak sadar akan
mengikuti kehendak penjajah.
B. Saran
Diharapkan dengan selesainya makalah yang kami buat ini dapat dijadikan sebagai salah satu
sumber informasi dan metodelogi penelitian budaya khususnya mengenai teori postmodernisme dan
postkolonialisme penelitian kebudayaan, dan semogah bermanfaat bagi kami dan kawan-kawan serta masyarakat secara
umum.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi, 2012. “Metodelogi Penelitian Kebudayaan” : Yogyakarta:
UGM Press.
CATATAN KAKI
[1] Suwardi Endraswara,
Metodologi
Penelitian kebudayaan, ,Yogyakarta, Gaja Mada University
Press, 2012, hal. 145
Tidak ada komentar:
Posting Komentar