Sabtu, 21 Oktober 2017

MAKALAH syirkah DALAM syari’at islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyaknya umat muslim yang belum mengetahui bagaimana seharusnya menjalankan syirkah atau perkongsian dalam memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini yang sesuai dengan tuntunan syari’at. Hal ini menyebabkan kami untuk membuat sebuah makalah yang berjudul tentang hadi syirkah guna untuk memberikan sebuah pemahaman kepada para pembaca makalah ini. Pada zaman sekarang ini banyak orang-orang muslim yang menjalankan sistem syirkah atau perkongsian dengan mengikuti tata cara orang eropa atu barat yang belum tentu sesuai dengan apa yang diajarkan oleh syari’at.
Secara umum, prinsip syirkah atau bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzara’ah dan al-musaaqah. Namun dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai al-musyarakah saja. Sedangkan yang lainnya dalam pembahasan yang lain.
Sungguhpun demikian, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-musyaarakah dan al-mudharabah, sedangkan al- muzara’ah dan al-musaqah di pergunakan khusus untuk pembiyayaan pertanian oleh beberapa bank islam. Akan tetapi di Indonesia sendiri prinsif syirkah belum terlalu banyak di pakai oleh masyarakat bahkan masyarakat muslim sekalipun terkadang masih menggunakan konsef eropa yang kadang menjurus kepada riba atau lebih dikenal dengan konsef konfensional. Islam telah membenarkan seorang muslim untuk menggunakan hartanya, baik itu dilakukan sendiri atau dilakukan dalam bentuk kerjasama. Oleh karena itu Islam membenarkan kepada mereka yang memiliki modal untuk mengadakan usaha dalam bentuk syirkah, apakah itu berupa perusahaan ataupun perdagangan dengan rekannya itu di perbolehkan sesuai dengan firman Allah SWT QS. An-Nisa : 12.
Dalam syirkah ada beberapa yang harus kita perhatiakan diantaranya tentang tatacar bersyirkah, landasan hukum, tujuan dsb. Juga kita harus memperhaikan hal-hal yang membatalkan syirkah beserta rukun dan syarat syirkah itu sendiri harus kita perhatikan karna itu sanagatlah perting agar syirkah yang kita lakukan sesuai dengan syari’at islam dan dapat berkah dari Allah SWT.



B. Rumusan Masalah
1.      Apa itu syirkah ?
2.      Dasar hukum syirkah itu apa saja ?
3.      Cara pembagian syirkah itu bagaimana ?
4.      Syarat dan Rukun syirkah itu apa saja ?
5.      Bagaimana devinisi berahirnya syirkah itu

C. Tujuan
1.      Agar pembaca memamahi tatacara berSyirkah yang di ajarkan oleh syari’at islam.
2.      Diharapkan pembaca nantinya dapar mengerti syirkah itu seperti apa dan bagaimana.
3.      Memberikan pemahaman kepada masyarakat atau pembaca agar tidak salah dalam melakukan syirkah.
4.      Diharapkan pembaca nantinya bisa menerapkannya syirkah dalam kehidupannya.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syirkah
Dalam kamus hukum, musyarakahh berarti serikat dagang, kongsi, perseroan, persekutuan. Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, syirkah, musyawarah dan syarikah, dalam bahasa Arab berarti persekutuan, perkongsian dan perkumpulan. Sedangkan dalam istilah fiqh, syirkah berarti persekutuan atau perkongsian antara dua orang atau lebih untuk melakukan usaha bersama dengan tujuan memperoleh keuntungan.[1]
Dalam kamus istilah fiqih, syirkah menurut bahasa ialah perseroan atau persekutuan. Sedangkan menurut istilah syara’ ialah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau ekonomi, bekerjasama dalam usaha perdagangan atau pada harta, untuk memperoleh keuntungan bersama dengan syarat dan ketentuan tertentu yang telah disepakati bersama. Dalam Suplemen Ensiklopedi Islam, syirkah secara etimologi berarti percampuran antara satu harta dengan harta lainnya sehingga sulit dibedakan.
Dalam buku ini juga terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ahli fiqih tentang syirkah diantara yaitu :
1.      Ulama mazhab maliki berpendapat, syirkah adalah suatu izin untuk bertindak hukum bagi dua orang yang bekerja sama terhadap harta mereka.
2.      Mazhab syafi’i, syirkah adalah adanya hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang disepakatinya.
3.      Menurut mazhab hanafi, syirkah adalah akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.
Sekalipun definisi yang dikemukakan para ulama itu secara redaksional berbeda, pada dasarnya definisi mereka mempunyai esensi yang sama. Apabila akad syirkah telah disepakati, maka semua pihak berhak bertindak hukum dan mendapat keuntungan terhadap harta serikat itu.[2] Jadi dapat disimpulkan bahwa syirkah berarti kerjasama antara kedua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana yang telah ditetapkan dengan keuntungan dan risiko yang akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
B. Landasan Hukum Syirkah
Islam telah membenarkan seorang muslim untuk menggunakan hartanya, baik itu dilakukan sendiri atau dilakukan dalam bentuk kerjasama. Oleh karena itu Islam membenarkan kepada mereka yang memiliki modal untuk mengadakan usaha dalam bentuk syirkah, apakah itu berupa perusahaan ataupun perdagangan dengan rekannya. Adapun landasan hukum yang diperbolehkannya syirkah yaitu :
1. Al-Qur’an Shurah An-Nisa ayat 12
2. Al-Hadis
Sesuai dengan hadis Rosulullah dibawah ini yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan dinilai Shahih oleh Hakim, yang berhunyi :

عَنْ أبي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ : أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
Artinya: Dari Abu Hurairah, dia memarfu'kannya (menyandarkannya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam), ia berkata: Sesungguhnya Allah berfirman: “Aku adalah yang ketiga dari dua yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati temannya. Maka jika ia (salah satunya) mengkhianatinya (teman yang lain), Aku keluar di antara keduanya.” (HR. Abu Daud dan dinilai shahih oleh hakim) 9 (3383).[3]

Maksud dari hadits di atas adalah bahwa Allah SWT akan menurunkan barakah pada harta mereka, memberi pengawasan dan pertolongan kepada mereka dan mengurus terpeliharanya atas harta mereka selama dalam perkongsian itu tidak ada pengkhianatan tetapi apabila ada pengkhianatan maka Allah SWT akan mencabut barakah dari harta tersebut.
Said Sabiq menjelaskan kembali bahwa Allah SWT. Akan memberikan berkah atas harta perkumpulan dan akan memelirahar keduanya atau dengan kata lain akan memelihara kedua perkonsian itu selama mereka berdua yang berkonsi masi berhubungan baik dan tidak saling menghianati. Apabila dari keduanya ada yang berlaku curang maka niscaya Allah akan mencabut berkah dari hartanya. Maksud dari hadis tersebut bahwa Allah SWT. Menjaga pertikaian antara kedua belalah pihak yang melakukan syirkah selama kedua belah pihak tidak saling berhianat.
3. Ijma Ulama
Sebagaimana yang dikutip oleh Syafi’i Antonio dalam bukunya yang berjudul Apa dan Bagaimana Bank Islam menerangkan bahwa Ibnu Qudamah telah berkata dalam bukunya Al Mughni dihalaman 109 bahwa :
“ Kaum muslimin telah berkonsensus akan legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen dari padanya ”.
Dengan melihat uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hukum syirkah adalah mubah dan boleh dilakukan antara sesama muslim atau antara orang Islam dan orang kafir dzimmi.[4]

C. Syarat dan Rukun Syirkah
Menurut Drs Muh Zuhri syirkah atau kerja sama yang dikemukakan dalam fiqh mu’amalah mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
1.      Adanya perkongsian dua pihak atau lebih
2.      Adanya kegiatan dengan tujuan mendapatkan keuntungan materi
3.      Adanya pembagian laba atau rugi secara proporsional sesuai dengan perjanjian.
4.      Tidak menyimpang dari ajaran Islam.[5]

Dalam kitab Kifayatul Akhyar syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan syirkah yaitu :
1.      Benda (harta) atau modal yang disyirkahkan dinilai dengan uang
2.      Modal yang diberikan itu sama dalam hal jenis dan macamnya
3.      Modal tersebut digabung sehingga tidak dapat dipisahkan antara modal yang satu dengan yang lainnya
4.      Satu sama lainnya membolehkan untuk membelanjakan harta tersebut
5.      Keuntungan dan kerugian diterima sesuai dengan ukuran harta atau modal masing-masing atau menurut kesepakatan antara pemilik modal.
Syarat-syarat umum syirkah menurut Abdul Aziz Dahlan yaitu :
1.      Perserikatan merupakan transaksi yang bisa diwakilkan
2.      Pembagian keuntungan di antara yang berserikat jelas prosentasinya
3.      Pembagian keuntungan diambil dari laba perserikatan, bukan dari harta lain.[6]
Syarat Syirkah menurut kamus istilah fiqih yaitu :
1.      Lafadz perjanjian harus jelas yaitu anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya
2.      Anggota syirkah hendaklah orang yang sehat akal, baligh, dan merdeka (tidak dipaksa)
3.      Modal pokok syirkah hendaknya jelas, artinya dapat dihitung dengan nilai uang. Apabila terdapat 2 jenis barang pokok hendaklah dicampurkan sebelum akad.

Di samping adanya beberapa syarat dalam syirkah, juga dibutuhkan beberapa rukun untuk dapat melaksanakan syirkah. Adapun rukun syirkah menurut jumhur ulama yaitu sebagai berikut :
1.      Shighat atau aqad (ijab dan qabul)
2.      Pihak yang berakad, baik syariku al-mal maupun syariku al-badn
3.      Usaha.

Kalimat akad hendaknya mengandung arti ijin untuk menjalankan modal syirkahnya. Misalkan salah seorang melakukan syirkah dengan mangungkapkan kata sebagai contah kita berserikat pada barang ini, dan saya ijinkan kamu menjalankannya dengan jalan jual beli atau lainnya. kemudian yang lainnya saling menjawab dengan kata saya terima seperti yang engkau katakan itu.
Rukun syirkah menurut Sayyid Sabiq yaitu adanya ijab dan qabul. Maka sah dan tidaknya syirkah tergantung pada ijab dan qabulnya. Misalnya: aku bersyarikah dengan kamu untuk urusan ini dan itu, dan yang lainnya berkata: aku telah terima. Maka dalam hal ini syirkah tersebut dapat dilaksanakan dengan catatan syarat-syarat syirkah telah terpenuhi.[7]





D. Pembagian Keuntungan dalam Syirkah
Pembagian keuntungan syirkah ditentukan dalam perjanjian sesuai dengan proporsi masing-masing pihak, yakni antara BMT dan nasabah penerima modal. Proses aplikasi pembiayaan syirkah ini dapat digambarkan sebagai berikut.


Pembagian keuntungan sesuai dengan yang di ajarkan nabi Muhammad SAW. Dalam hadisnya dibawah ini :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ
Artinya : Rasulullah Shallallahu a’laihi wa sallam telah mempekerjakan penduduk Khaibar (orang-orang Yahudi) dengan mendapat setengah bagian dari hasil panen tanaman dan buah. (HR. Muslim dishahihkan aleh Al-albani rahimahullah Abu Dâwud No.3406)
Dari hadis diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa nabi Muhammad SAW. Mengajarkan kepada kita bahwa jangankan sesame muslim dengan orang non muslim saja kita di perbolehkan bersyirkah. Dengan adanya hadis diatas juga bisa menjadi landasan hukum kita agar dalm bersyirkah kita harus membagi dua keuntungan dari hasil bersyirkah tersebut.
Pembagian keuntungan bagi tiap partner harus dilakukan berdasarkan perbandingan persentase tertentu. Menurut pengikut madzhab Hanafi dan hambali, perbandingan keuntungan harus ditentukan dalam kontrak. Penentuan jumlah yang pasti bagi setiap partner tidak dibolehkan, sebab seluruh keuntungan tidak mungkin direalisasikan dengan melampaui jumlah tertentu, yang dapat menyebabkan partner lain tidak memperoleh bagian dari keuntungan tersebut. Menurut pengikut madzhab Syafi’i, pembagian keuntungan tidak perlu ditentukan dalam kontrak, karena setiap partner tidak boleh melakukan penyimpangan antara kontribusi modal yang diberikan dan tingkat rasio keuntungan. Menurut Nawawi, keuntungan harus sesuai dengan proporsi modal yang diberikan. Menurut Kashani bahwa keuntungan dibagi dalam porsi sama di antara partner, karena hukum membolehkan pembagian keuntungan dalam porsi yang sama atau tidak sama.
Dalam persentase pembagian laba, Jordan Islamic Bank tidak menyatakan adanya sekian persenpun untuk manajemen. Ia hanya menyatakan bahwa laba bersih akan dibagi antara Bank dan mitranya sesuai dengan kesepakatan atas rasio kontrak syirkah. Banque Misr (cabang-cabang syari’ah) dalam kontrak syirkahnya menyatakan bahwa laba bersih akan dibagikan dengan cara berikut: sekian persen untuk bank dan sekian persen untuk si mitra. Sekian persen dari laba akan dialokasikan untuk Bank dan mitranya.
Menurut praktek Faisal Islamic Bank adalah sebagai berikut: laba didefinisikan sebagai laba bersih setelah dikurangi dengan seluruh biaya dan sekian porsi dari laba ini akan diberikan kepada mitra. Saldo dibagikan antara bank dan mitranya.
Dari pembahasan tersebut tidak tampak adanya metode yang seragam dalam pembagian laba di kalangan lembaga-lembaga keuangan Islam, meski sebenarnya metode-metode yang digunakan oleh berbagai lembaga tampak mirip.[8]



E. Berakhirnya Syirkah
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, ulama fiqih mengemukakan beberapa hal yang dapat membatalkan atau menunjukkan berakhirnya akad syirkah secara umum yaitu :
1.      Salah satu pihak mengundurkan diri, karena menurut para ahli fiqh, akad perserikatan itu tidak bersifat dalam arti boleh dibatalkan.
2.      Salah satu pihak yang berserikat meninggal dunia
3.      Salah satu pihak kehilangan kecakapannya bertindak hukum, seperti gila yang sulit disembuhkan
4.      Salah satu pihak murtad (keluar dari agama Islam) dan melarikan diri ke negeri yang berperang dengan negeri muslim karena orang seperti ini dianggap sebagai sudah wafat.
Kemudian ulama fiqh juga mengemukakan hal-hal yang membuat berakhirnya akad perserikatan secara khusus, jika dilihat dari bentuk perserikatan yang dilakukan, yaitu sebagai berikut:
1.      Dalam syirkah al-amwal, akad perserikatan dinyatakan batal apabila semua atau sebagaian modal perserikatan hilang, karena obyek dalam perserikatan ini adalah harta. Dengan hilangnya harta perserikatan, berarti perserikatan itu bubar.
2.      Dalam syirkah al-mufawadah, modal masing-masing pihak tidak sama kualitasnya, karena al-mufawadah itu sendiri berarti persamaan, baik dalam modal, kerja maupun keuntungannya yang dibagi.[9]











BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang masing-masing dari harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada perbedaan satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan. Mengenai landasan hukum tentang syirkah ini terdapat dalam al-qur’an, sunnah dan ijma.
Adapun rukun syirkah ada dua yaitu, ucapan sighah penawaran dan penerimaan (ijab dan qabul) dan pihak yang berkontrak.
Dan mengenai syaratnya ada tiga yaitu, pertama, ucapan : berakad dianggap sah jika diucapkan secara verbal atau ditulis. Kontrak musyarakah dicatat dan disaksikan. Kedua, pihak yang berkontrak: disyaratkan mitra harus kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Ketiga, objek kontrak dana dan kerja : modal yang diberikan harus tunai, emas, perak atau yang bernilai sama. Para ulama menyepakati hal ini.
Kemudian macam-macam syirkah ada dua macam yakni syirkah milk dan syirkah ‘uqud. Adapun yang membatalkan syirkah ada yang secara umum dan ada pula yang secara khusus, seperti yang telah dijelaskan diatas.




DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta : Djambatan, 1992,
Abdul Aziz Dahlan (ads), Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve: 1996
Al-‘Asqalani, Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2014.
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Alih Bahasa H. Kamaluddin A Marzuki, Fiqh Sunnah 13, Bandung: Al Ma’arif, 1987
Imam Taqyudin Abi Bakrin bin Muhammad, Kifayatul Akhyar, Ter. Drs. Moh. Rifa’i, et al. “Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar”, Semarang : CV. Toha Putra, 1992
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Alih Bahasa H. Kamaluddin A Marzuki, Fiqh Sunnah 13, Bandung: Al Ma’arif, 1987
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Alih Bahasa H. Kamaluddin A Marzuki, Fiqh Sunnah 13, Bandung: Al Ma’arif, 1987




[1]          Prof. Dr. H. Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta : Djambatan, 1992, hlm. 907
[2]          Abdul Aziz Dahlan (ads), Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve: 1996, hlm. 193
[3]          Al-‘Asqalani, Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2014. Hlm. 238
[4]          M. Ismail Yusanto, M. Karebet Widjayakusuma, Menggagas Bisnis Islami, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm. 128
[5]           Drs. Muh. Zuhri, Riba dalam Al Qur’an dan Masalah Perbankan; Sebuah Tilikan Antisipatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 162
[6]           Imam Taqyudin Abi Bakrin bin Muhammad, Kifayatul Akhyar, Ter. Drs. Moh. Rifa’i, et al. “Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar”, Semarang : CV. Toha Putra, 1992, hlm. 210
[7]          Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Alih Bahasa H. Kamaluddin A Marzuki, Fiqh Sunnah 13, Bandung: Al Ma’arif, 1987, hlm. 195
[8]          Abdullah Saeed, Islamic Banking and interest a study of the prohibition of riba and its contemporary. Terj. M. Ufuqul Mubin, et al. “Bank Islam dan Bunga; Studi Krisis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 110-111
[9]          Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Alih Bahasa H. Kamaluddin A Marzuki, Fiqh Sunnah 13, Bandung: Al Ma’arif, 1987, hlm. 195

Tidak ada komentar:

Posting Komentar