BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Banyaknya umat muslim yang belum
mengetahui bagaimana seharusnya menjalankan syirkah atau perkongsian dalam memenuhi kebutuhan hidup di
dunia ini yang sesuai dengan tuntunan syari’at. Hal ini menyebabkan kami untuk
membuat sebuah makalah yang berjudul tentang hadi syirkah guna untuk memberikan sebuah pemahaman kepada para
pembaca makalah ini. Pada zaman sekarang ini banyak orang-orang muslim yang
menjalankan sistem syirkah atau
perkongsian dengan mengikuti tata cara orang eropa atu barat yang belum tentu
sesuai dengan apa yang diajarkan oleh syari’at.
Secara umum, prinsip syirkah atau bagi hasil dalam
perbankan syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzara’ah dan al-musaaqah. Namun dalam
makalah ini akan dijelaskan mengenai al-musyarakah saja. Sedangkan yang lainnya dalam pembahasan
yang lain.
Sungguhpun demikian, prinsip yang
paling banyak dipakai adalah al-musyaarakah
dan al-mudharabah, sedangkan al- muzara’ah dan al-musaqah di
pergunakan khusus untuk pembiyayaan pertanian oleh beberapa bank islam. Akan
tetapi di Indonesia sendiri prinsif syirkah belum terlalu banyak di pakai oleh
masyarakat bahkan masyarakat muslim sekalipun terkadang masih menggunakan
konsef eropa yang kadang menjurus kepada riba atau lebih dikenal dengan konsef
konfensional. Islam telah membenarkan seorang muslim untuk menggunakan
hartanya, baik itu dilakukan sendiri atau dilakukan dalam bentuk kerjasama.
Oleh karena itu Islam membenarkan kepada mereka yang memiliki modal untuk
mengadakan usaha dalam bentuk syirkah, apakah itu berupa perusahaan ataupun
perdagangan dengan rekannya itu di perbolehkan sesuai dengan firman Allah SWT
QS. An-Nisa : 12.
Dalam syirkah ada beberapa yang
harus kita perhatiakan diantaranya tentang tatacar bersyirkah, landasan hukum,
tujuan dsb. Juga kita harus memperhaikan hal-hal yang membatalkan syirkah
beserta rukun dan syarat syirkah itu sendiri harus kita perhatikan karna itu
sanagatlah perting agar syirkah yang kita lakukan sesuai dengan syari’at islam
dan dapat berkah dari Allah SWT.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
itu syirkah ?
2. Dasar
hukum syirkah itu apa saja ?
3. Cara
pembagian syirkah itu bagaimana ?
4. Syarat
dan Rukun syirkah itu apa saja ?
5. Bagaimana
devinisi berahirnya syirkah itu
C.
Tujuan
1.
Agar pembaca
memamahi tatacara berSyirkah yang di ajarkan oleh syari’at islam.
2.
Diharapkan
pembaca nantinya dapar mengerti syirkah itu seperti apa dan bagaimana.
3.
Memberikan
pemahaman kepada masyarakat atau pembaca agar tidak salah dalam melakukan
syirkah.
4.
Diharapkan
pembaca nantinya bisa menerapkannya syirkah dalam kehidupannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syirkah
Dalam
kamus hukum, musyarakahh berarti serikat dagang, kongsi, perseroan,
persekutuan. Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, syirkah, musyawarah dan
syarikah, dalam bahasa Arab berarti persekutuan, perkongsian dan perkumpulan.
Sedangkan dalam istilah fiqh, syirkah berarti persekutuan atau perkongsian
antara dua orang atau lebih untuk melakukan usaha bersama dengan tujuan
memperoleh keuntungan.[1]
Dalam
kamus istilah fiqih, syirkah menurut bahasa ialah perseroan atau persekutuan.
Sedangkan menurut istilah syara’ ialah kerja sama antara dua orang atau lebih
dalam bidang usaha atau ekonomi, bekerjasama dalam usaha perdagangan atau pada
harta, untuk memperoleh keuntungan bersama dengan syarat dan ketentuan tertentu
yang telah disepakati bersama. Dalam Suplemen Ensiklopedi Islam, syirkah
secara etimologi berarti percampuran antara satu harta dengan harta lainnya
sehingga sulit dibedakan.
Dalam
buku ini juga terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ahli fiqih
tentang
syirkah diantara yaitu :
1. Ulama
mazhab maliki berpendapat, syirkah adalah suatu izin
untuk
bertindak hukum bagi dua orang yang bekerja sama terhadap harta
mereka.
2. Mazhab
syafi’i, syirkah adalah adanya hak bertindak hukum
bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang disepakatinya.
3. Menurut
mazhab
hanafi, syirkah adalah akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama
dalam modal dan keuntungan.
Sekalipun definisi yang
dikemukakan
para ulama itu secara redaksional berbeda, pada dasarnya
definisi
mereka mempunyai esensi yang sama. Apabila akad syirkah telah
disepakati,
maka semua pihak berhak bertindak hukum dan mendapat
keuntungan
terhadap harta serikat itu.[2] Jadi
dapat disimpulkan bahwa syirkah berarti kerjasama
antara kedua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di
mana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana yang telah ditetapkan
dengan
keuntungan dan risiko yang akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.
B. Landasan Hukum Syirkah
Islam
telah membenarkan seorang muslim untuk menggunakan hartanya, baik itu dilakukan
sendiri atau dilakukan dalam bentuk kerjasama. Oleh karena itu Islam
membenarkan kepada mereka yang memiliki modal untuk mengadakan usaha dalam
bentuk syirkah, apakah itu berupa perusahaan ataupun perdagangan dengan rekannya.
Adapun landasan hukum yang diperbolehkannya syirkah yaitu :
1. Al-Qur’an Shurah
An-Nisa ayat 12
2. Al-Hadis
Sesuai dengan hadis Rosulullah dibawah ini
yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan dinilai Shahih oleh Hakim, yang berhunyi :
عَنْ أبي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ : أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
Artinya: Dari Abu Hurairah, dia memarfu'kannya
(menyandarkannya kepada Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam), ia berkata: Sesungguhnya Allah berfirman: “Aku adalah
yang ketiga dari dua yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati
temannya. Maka jika ia (salah satunya) mengkhianatinya (teman yang lain), Aku
keluar di antara keduanya.” (HR. Abu Daud dan dinilai shahih oleh hakim) 9
(3383).[3]
Maksud
dari hadits di atas adalah bahwa Allah SWT akan menurunkan barakah pada harta
mereka, memberi pengawasan dan pertolongan kepada mereka dan mengurus
terpeliharanya atas harta mereka selama dalam perkongsian itu tidak ada
pengkhianatan tetapi apabila ada pengkhianatan maka Allah SWT akan mencabut
barakah dari harta tersebut.
Said
Sabiq menjelaskan kembali bahwa Allah SWT. Akan memberikan berkah atas harta
perkumpulan dan akan memelirahar keduanya atau dengan kata lain akan memelihara
kedua perkonsian itu selama mereka berdua yang berkonsi masi berhubungan baik
dan tidak saling menghianati. Apabila dari keduanya ada yang berlaku curang
maka niscaya Allah akan mencabut berkah dari hartanya. Maksud dari hadis tersebut
bahwa Allah SWT. Menjaga pertikaian antara kedua belalah pihak yang melakukan
syirkah selama kedua belah pihak tidak saling berhianat.
3.
Ijma Ulama
Sebagaimana
yang dikutip oleh Syafi’i Antonio dalam bukunya yang berjudul Apa dan
Bagaimana Bank Islam menerangkan bahwa Ibnu Qudamah telah berkata dalam
bukunya Al Mughni dihalaman 109 bahwa :
“
Kaum muslimin telah berkonsensus akan legitimasi musyarakah secara global
walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen dari padanya ”.
Dengan
melihat uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hukum syirkah adalah mubah dan boleh dilakukan antara sesama muslim atau
antara orang Islam dan orang kafir
dzimmi.[4]
C.
Syarat dan Rukun Syirkah
Menurut
Drs Muh Zuhri syirkah atau kerja sama yang dikemukakan dalam fiqh mu’amalah
mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
1. Adanya
perkongsian dua pihak atau lebih
2. Adanya
kegiatan dengan tujuan mendapatkan keuntungan materi
3. Adanya
pembagian laba atau rugi secara proporsional sesuai dengan perjanjian.
4. Tidak
menyimpang dari ajaran Islam.[5]
Dalam
kitab Kifayatul Akhyar syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan
syirkah yaitu :
1. Benda
(harta) atau modal yang disyirkahkan dinilai dengan uang
2. Modal
yang diberikan itu sama dalam hal jenis dan macamnya
3. Modal
tersebut digabung sehingga tidak dapat dipisahkan antara modal yang satu dengan
yang lainnya
4. Satu
sama lainnya membolehkan untuk membelanjakan harta tersebut
5. Keuntungan
dan kerugian diterima sesuai dengan ukuran harta atau modal masing-masing atau
menurut kesepakatan antara pemilik modal.
Syarat-syarat umum syirkah menurut Abdul Aziz Dahlan
yaitu :
1. Perserikatan
merupakan transaksi yang bisa diwakilkan
2. Pembagian
keuntungan di antara yang berserikat jelas prosentasinya
Syarat
Syirkah menurut kamus istilah fiqih yaitu :
1.
Lafadz
perjanjian harus jelas yaitu anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya
2.
Anggota syirkah
hendaklah orang yang sehat akal, baligh, dan merdeka (tidak dipaksa)
3. Modal
pokok syirkah hendaknya jelas, artinya dapat dihitung dengan nilai uang. Apabila
terdapat 2 jenis barang pokok hendaklah dicampurkan sebelum akad.
Di
samping adanya beberapa syarat dalam syirkah, juga dibutuhkan beberapa rukun
untuk dapat melaksanakan syirkah. Adapun rukun syirkah menurut jumhur ulama
yaitu sebagai berikut :
1. Shighat
atau aqad (ijab dan qabul)
2. Pihak
yang berakad, baik syariku al-mal maupun syariku al-badn
3. Usaha.
Kalimat
akad hendaknya mengandung arti ijin untuk menjalankan modal syirkahnya. Misalkan
salah seorang melakukan syirkah dengan mangungkapkan kata sebagai contah kita
berserikat pada barang ini, dan saya ijinkan kamu menjalankannya
dengan jalan jual beli atau lainnya. kemudian yang lainnya
saling
menjawab dengan kata saya terima seperti yang engkau katakan itu.
Rukun
syirkah menurut Sayyid Sabiq yaitu adanya ijab dan qabul. Maka sah dan tidaknya
syirkah tergantung pada ijab dan qabulnya. Misalnya: aku bersyarikah dengan
kamu untuk urusan ini dan itu, dan yang lainnya berkata: aku telah terima. Maka
dalam hal ini syirkah tersebut dapat dilaksanakan dengan catatan syarat-syarat
syirkah telah terpenuhi.[7]
D.
Pembagian Keuntungan dalam Syirkah
Pembagian
keuntungan syirkah ditentukan dalam perjanjian sesuai dengan proporsi
masing-masing pihak, yakni antara BMT dan nasabah penerima modal. Proses
aplikasi pembiayaan syirkah ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Pembagian
keuntungan sesuai dengan yang di ajarkan nabi Muhammad SAW. Dalam hadisnya
dibawah ini :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ
Artinya : Rasulullah Shallallahu a’laihi wa sallam telah mempekerjakan penduduk Khaibar (orang-orang Yahudi) dengan mendapat setengah bagian dari hasil panen tanaman dan buah. (HR. Muslim dishahihkan aleh Al-albani rahimahullah Abu Dâwud No.3406)
Artinya : Rasulullah Shallallahu a’laihi wa sallam telah mempekerjakan penduduk Khaibar (orang-orang Yahudi) dengan mendapat setengah bagian dari hasil panen tanaman dan buah. (HR. Muslim dishahihkan aleh Al-albani rahimahullah Abu Dâwud No.3406)
Dari hadis diatas kita dapat mengambil kesimpulan
bahwa nabi Muhammad SAW. Mengajarkan kepada kita bahwa jangankan sesame muslim
dengan orang non muslim saja kita di perbolehkan bersyirkah. Dengan adanya
hadis diatas juga bisa menjadi landasan hukum kita agar dalm bersyirkah kita
harus membagi dua keuntungan dari hasil bersyirkah tersebut.
Pembagian keuntungan bagi tiap partner harus
dilakukan berdasarkan perbandingan persentase tertentu. Menurut pengikut
madzhab Hanafi dan hambali, perbandingan keuntungan harus ditentukan dalam
kontrak. Penentuan jumlah yang pasti bagi setiap partner tidak dibolehkan,
sebab seluruh keuntungan tidak mungkin direalisasikan dengan melampaui jumlah tertentu,
yang dapat menyebabkan partner lain tidak memperoleh bagian dari keuntungan tersebut.
Menurut pengikut madzhab Syafi’i, pembagian keuntungan tidak perlu ditentukan
dalam kontrak, karena setiap partner tidak boleh melakukan penyimpangan antara
kontribusi modal yang diberikan dan tingkat rasio keuntungan. Menurut Nawawi,
keuntungan harus sesuai dengan proporsi modal yang diberikan. Menurut Kashani bahwa
keuntungan dibagi dalam porsi sama di antara partner, karena hukum membolehkan
pembagian keuntungan dalam porsi yang sama atau tidak sama.
Dalam persentase pembagian laba, Jordan Islamic Bank
tidak menyatakan adanya sekian persenpun untuk manajemen. Ia hanya menyatakan bahwa
laba bersih akan dibagi antara Bank dan mitranya sesuai dengan kesepakatan atas
rasio kontrak syirkah. Banque Misr (cabang-cabang syari’ah) dalam kontrak syirkahnya
menyatakan bahwa laba bersih akan dibagikan dengan cara berikut: sekian persen
untuk bank dan sekian persen untuk si mitra. Sekian persen dari laba akan
dialokasikan untuk Bank dan mitranya.
Menurut praktek Faisal Islamic Bank adalah sebagai
berikut: laba didefinisikan sebagai laba bersih setelah dikurangi dengan
seluruh biaya dan sekian porsi dari laba ini akan diberikan kepada mitra. Saldo
dibagikan antara bank dan mitranya.
Dari pembahasan tersebut tidak tampak adanya metode
yang seragam dalam pembagian laba di kalangan lembaga-lembaga keuangan Islam,
meski sebenarnya metode-metode yang digunakan oleh berbagai lembaga tampak mirip.[8]
E.
Berakhirnya Syirkah
Dalam
Ensiklopedi Hukum Islam, ulama fiqih mengemukakan beberapa hal yang dapat membatalkan
atau menunjukkan berakhirnya akad syirkah secara umum yaitu :
1. Salah
satu pihak mengundurkan diri, karena menurut para ahli fiqh, akad perserikatan
itu tidak bersifat dalam arti boleh dibatalkan.
2. Salah
satu pihak yang berserikat meninggal dunia
3. Salah
satu pihak kehilangan kecakapannya bertindak hukum, seperti gila yang sulit
disembuhkan
4. Salah
satu pihak murtad (keluar dari agama Islam) dan melarikan diri ke negeri yang
berperang dengan negeri muslim karena orang seperti ini dianggap sebagai sudah
wafat.
Kemudian
ulama fiqh juga mengemukakan hal-hal yang membuat berakhirnya akad perserikatan
secara khusus, jika dilihat dari bentuk perserikatan yang dilakukan, yaitu
sebagai berikut:
1. Dalam
syirkah al-amwal, akad perserikatan dinyatakan batal apabila semua atau
sebagaian modal perserikatan hilang, karena obyek dalam perserikatan ini adalah
harta. Dengan hilangnya harta perserikatan, berarti perserikatan itu bubar.
2. Dalam
syirkah al-mufawadah, modal masing-masing pihak tidak sama kualitasnya, karena
al-mufawadah itu sendiri berarti persamaan, baik dalam modal, kerja maupun
keuntungannya yang dibagi.[9]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bidang
usaha atau modal yang masing-masing dari harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi
satu tanpa ada perbedaan satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan
kerugiannya di tanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan.
Mengenai landasan hukum tentang syirkah ini terdapat dalam al-qur’an, sunnah
dan ijma.
Adapun
rukun syirkah ada dua yaitu, ucapan sighah
penawaran dan penerimaan (ijab dan
qabul) dan pihak yang berkontrak.
Dan
mengenai syaratnya ada tiga yaitu, pertama,
ucapan : berakad dianggap sah jika diucapkan secara verbal atau ditulis.
Kontrak musyarakah dicatat dan disaksikan. Kedua, pihak yang berkontrak: disyaratkan mitra harus
kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Ketiga, objek kontrak dana dan kerja
: modal yang diberikan harus tunai, emas, perak atau yang bernilai sama. Para
ulama menyepakati hal ini.
Kemudian
macam-macam syirkah ada
dua macam yakni syirkah milk
dan syirkah ‘uqud. Adapun
yang membatalkan syirkah ada
yang secara umum dan ada pula yang secara khusus, seperti yang telah dijelaskan
diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.
Dr. H. Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta : Djambatan,
1992,
Abdul Aziz Dahlan (ads), Suplemen
Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve: 1996
Al-‘Asqalani, Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Semarang : PT.
Pustaka Rizki Putra, 2014.
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Alih
Bahasa H. Kamaluddin A Marzuki, Fiqh Sunnah 13, Bandung: Al Ma’arif,
1987
Imam Taqyudin Abi Bakrin bin Muhammad, Kifayatul
Akhyar, Ter. Drs. Moh. Rifa’i, et al. “Tarjamah Khulashah Kifayatul
Akhyar”, Semarang : CV. Toha Putra, 1992
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Alih
Bahasa H. Kamaluddin A Marzuki, Fiqh Sunnah 13, Bandung: Al Ma’arif,
1987
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Alih
Bahasa H. Kamaluddin A Marzuki, Fiqh Sunnah 13, Bandung: Al Ma’arif,
1987
[1] Prof. Dr. H. Harun Nasution, Ensiklopedi
Islam Indonesia, Jakarta : Djambatan, 1992, hlm. 907
[2] Abdul Aziz Dahlan
(ads), Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve:
1996, hlm. 193
[3] Al-‘Asqalani, Ibnu
Hajar, Terjemah Bulughul Maram,
Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2014. Hlm. 238
[4] M. Ismail Yusanto, M.
Karebet Widjayakusuma, Menggagas Bisnis Islami, Jakarta: Gema Insani
Press, 2002, hlm. 128
[5]
Drs. Muh. Zuhri, Riba dalam
Al Qur’an dan Masalah Perbankan; Sebuah Tilikan Antisipatif, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 162
[6]
Imam
Taqyudin Abi Bakrin bin Muhammad, Kifayatul Akhyar, Ter. Drs. Moh. Rifa’i,
et al. “Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar”, Semarang : CV. Toha Putra, 1992,
hlm. 210
[7] Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah,
Alih Bahasa H. Kamaluddin A Marzuki, Fiqh Sunnah 13, Bandung: Al
Ma’arif, 1987, hlm. 195
[8] Abdullah Saeed, Islamic Banking and
interest a study of the prohibition of riba and its contemporary. Terj. M.
Ufuqul Mubin, et al. “Bank
Islam dan Bunga; Studi Krisis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer”, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 110-111
[9] Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah,
Alih Bahasa H. Kamaluddin A Marzuki, Fiqh Sunnah 13, Bandung: Al
Ma’arif, 1987, hlm. 195
Tidak ada komentar:
Posting Komentar