Sabtu, 21 Oktober 2017

MAKALAH DEFINISI AGAMA DAN FUNGSI AGAMA DALAM KEHIDUPAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk paling sempurna di antara makhluk-makhluk lain mampu mewujudkan segala keinginan dan kebutuhannya dengan kekuatan akal yang dimilikinya. Di samping itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk mencari sesuatu yang mampu menjawab segala pertanyaan yang ada dalam benaknya.Segala keingintahuan itu akan menjadikan manusia gelisah dan kemudian mencari pelampiasan dengan timbulnya tindakan irrasionalitas. Munculnya pemujaan terhadap benda-benda merupakan bukti adanya keingintahuan manusia yang diliputi oleh rasa takut terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya.
Kepercayaan manusia akan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat yang tergantung pada hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Ketakutan manusia apabila hubungan baik manusia dengan kekuatan gaib tersebut hilang, maka hilang pulalah kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari.
Kemudian menurut sebagian para ahli rasa ingin tahu dan rasa takut itu menjadi pendorong utama tumbuh suburnya rasa keagamaan dalam diri manusia.Manusia merasa berhak untuk mengetahui darimana dirinyaberasal, untuk apa dia berada di dunia, apa yang mesti manusia lakukan demi kebahagiannya di dunia dan alam akhirat nanti, yang merupakan jawaban dari  pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah agama. Karenanya, sangatlah logis apabila agama selalu mewarnai sejarah manusia dari dahulu kala hingga kini, bahkan sampai akhir nanti. Lantas benarkah hanya rasa takut dan ingin tahu tersebut yang menjadikan manusia membutuhkan agama dalam kehidupan mereka? Dalam makalah yang sederhana ini akan diulas bagaimana agama dapat menjadi kebutuhan bagimanusia.



B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa definisi Agama?
2.      Bagaimana rasa ingin tahu manusia terhadap agama ?
3.      Apa latar belakang perlunya manusia terhadap agama?
4.      Apa Fungsi Agama dalam Kehidupan?
5.      Apa itu Atheisme?

C.    TUJUAN PEMBAHASAN
1.      Untuk mengetahui definisi Agama
2.      Untuk mengetahui rasa ingin tahu manusia terhadap agama yang diyakininya
3.      Untuk mengetahui latar belakang perlunya manusia terhadap agama
4.      Untuk mengetahui Fungsi-fungsi Agama dalam Kehidupan
5.      Untuk mengetahui tentang Atheisme


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Agama
Secara etimologis Agama berasal dari bahasa Sanskerta yang tersusun dari kata “a” berarti “tidak” dan “gam” berarti “pergi”. Dalam bentuk harfiah yang terpadu, kata agama berarti “tidak pergi”, tetap di tempat, langgeng, abadi yang diwariskan secara terus-menerus dari satu generasi kepada generasi yang lainnya.[[1]]
Pada umumnya, kata “agama” diartikan tidak kacau, yang secara analitis diuraikan dengan cara memisahkan kata demi kata, yaitu “a” berarti “tidak” dan “gama” berarti “kacau”. Maksudnya orang yang memeluk agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya dengan sungguh, hidupnya tidak akan mengalami kekacauan.[[2]]
Secara terminologi menurut sebagian orang, agama merupakan sebuah fenomena yang sulit didefinisikan. WC Smith mengatakan,
"Tidak berlebihan apabila   dikatakan hingga saat ini belum ada definisi agama    yang benar dan dapat diterima".
Meski demikian, para cendekiawan besar dunia memiliki definisi, tentang fenomena agama. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
      1. Emile Durkheim mengartikan agama sebagai suatu kesatuan sistem kepercayaan dan pengalaman terhadap suatu yang sakral, kemudian kepercayaan dan pengalaman tersebut menyatu ke dalam suatu komunitas moral.
           2. Karl Mark berpendapat agama adalah keluh kesah dari makhluk yang tertekan hati dari dunia yang tidak berhati, jiwa dari keadaan yang tidak berjiwa, bahkan menurut pendapatnya pula agama dijadikan sebagai candu bagi masyarakat.
           3. Spencer mengatakan agama adalah kepercayaan akan sesuatu yang Maha mutlak.
           4. Dewey menyebutkan agama sebagai pencarian manusia akan cita-cita umum dan abadi meskipun dihadapkan pada tantangan yang dapat mengancam jiwanya, agama adalah pengenalan manusia terhadap kekuatan gaib yang hebat.
           5. Sebagian pemikir mengatakan apa saja yang memiliki tiga ciri khas yang dapat disebut sebagai agama:
a)      Keyakinan di balik alam materi ini ada alam yang lain,
b)      Penciptaan alam memiliki tujuan,
c)      Alam memiliki konsep etika.
Pada semua definisi tersebut, terdapat satu hal yang menjadi kesepakatan dari semua para cendekiawan besar dunia, yaitu kepercayaan akan adanya sesuatu yang agung di luar alam. Namun, lepas dari semua definisi yang ada di atas maupun definisi lain yang dikemukakan oleh para pemikir dunia lainnya, kita meyakini agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang menurunkan wahyu kepada para nabi-Nya untuk umat manusia demi kebahagiaannya di dunia dan akhirat.
Dari sini, manusia dapat  menyatakan agama memiliki tiga bagian yang         tidak terpisah, yaitu akidah (kepercayaan hati), syari'at (perintah-perintah dan larangan Tuhan) dan akhlak (konsep untuk meningkatkan sisi rohani manusia untuk dekat kepada-Nya). Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri asas terpenting dari agama adalah keyakinan akan adanya Tuhan yang harus disembah.

B.     Kebutuhan Manusia Terhadap Agama
Secara naluri, manusia mengakui kekuatan dalam kehidupan di luar dirinya. Dapat dilihat ketika manusia mengalami kesulitan hidup, musibah, dan berbagai bencana. Manusia mengeluh dan meminta pertolongan kepada sesuatu yang serba maha, yang dapat membebaskannya dari keadaan tersebut. Naluriah membuktikan  manusia perlu beragama dan membutuhkan Sang Khaliknya.[[3]]
Beberapa ahli pakar ada yang berpendapat bahwa benih agama adalah rasa takut yang kemudian melahirkan pemberian sesajen kepada yang diyakini yang memiliki kekuatan menakutkan. Seperti yang ditulis oleh Yatimin bahwa pada masa primitif, kekuatan itu menimbulkan kepercayaan animisme dan dinamisme. Ia memerinci bentuk penghormatan itu berupa:
      1. Sesajian pada pohon-pohon besar, batu, gunung, sungai-sungai, laut, dan benda alam lainnya.
      2. Pantangan (hal yang tabu), yaitu perbuatan-perbuatan ucapan-ucapan yang dianggap dapat mengundang murka (kemarahan) kepada kekuatan itu.
      3. Menjaga dan menghormati kemurkaan yang ditimbulkan akibat ulah manusia, misalnya upacara persembahan, ruatan, dan mengorbankan sesuatu yang dianggap berharga.
Rasa takut memang salah satu pendorong utama tumbuh suburnya rasa keberagaman. Tetapi itu merupakan benih - benih yang ditolak oleh sebagian pakar lain. Seperti yang dikatakan oleh Quraish Shihab bahwa terdapat hal lain yang membuat manusia merasa harus beragama.[[4]] Freud ahli jiwa berpendapat benih agama dari kompleks oedipus. Mula-mula seorang anak merasakan dorongan seksual terhadap ibunya kemudian membunuh ayahnya sendiri. Namun pembunuhan ini menghasilkan penyesalan diri dalam jiwa sang anak sehingga lahirlah penyembahan terhadap ruh sang ayah. Di sinilah bermula rasa agama dalam jiwa manusia.
Agama muncul dari rasa penyesalan seseorang. Namun bukan berarti benih agama kemudian menjadi satu-satunya alasan bahwa manusia membutuhkan agama. Karena kebutuhan manusia terhadap agama dapat disebabkan karena masalah prinsip dasar kebutuhan manusia. Untuk menjelaskan perlunya manusia terhadap agama sebagai kebutuhan.

Terdapat empat faktor yang menyebabkan manusia memerlukan agama. Yaitu:[[5]]
      a) Faktor Kondisi Manusia
Kondisi manusia terdiri dari beberapa unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Untuk menumbuhkan dan mengembangkan kedua unsur tersebut harus mendapat perhatian khusus yang seimbang. Unsur jasmani membutuhkan pemenuhan yang bersifat fisik jasmaniah. Kebutuhan tersebut adalah makan-minum, bekerja, istirahat yang seimbang, berolahraga, dan segala aktivitas jasmani yang dibutuhkan. Unsur rohani membutuhkan pemenuhan yang bersifat psikis (mental) rohaniah. Kebutuhan tersebut adalah pendidikan agama, budi pekerti, kepuasan, kasih sayang, dan segala aktivitas rohani yang seimbang.
     b) Faktor Status Manusia
Status manusia adalah sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Apabila dibanding dengan makhluk lain, Allah menciptakan manusia lengkap dengan berbagai kesempurnaan, yaitu kesempurnaan akal dan pikiran, kemuliaan, dan berbagai kelebihan lainnya. Dalam segi rohaniah manusia memiliki aspek rohaniah yang kompleks. Manusia adalah satu-satunya yang mempunyai akal dan manusia pulalah yang mempunyai kata hati. Sehingga dengan kelengkapan itu Allah menempatkan mereka pada permukaan yang paling atas dalam garis horizontal sesama makhluk. Dengan akalnya manusia mengakui adanya Allah. Dengan hati nuraninya manusia menyadari dirinya tidak terlepas dari pengawasan dan ketentuan Allah. Dan dengan agamalah manusia belajar mengenal Tuhan dan agama juga mengajarkan cara berkomunikasi dengan sesamanya, dengan kehidupannya, dan lingkungannya.
      c) Faktor Struktur Dasar Kepribadian
Dalam teori psikoanalisis Sigmun Freud membagi struktur kepribadian manusia dengan tiga bagian. Yaitu:
      1) Aspek Das es yaitu aspek biologis, merupakan sistem yang orisinal dalam kepribadian manusia yang berkembang secara alami dan menjadi bagian yang subjektif yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan dunia objektif.
      2) Aspek das ich, yaitu aspek psikis yang timbul karena kebutuhan organisme untuk hubungan baik dengan dunia nyata.
       3) Aspek das uber ich, aspek sosiologis yang mewakili nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarat.
     

      C.    Latar Belakang Perlunya Manusia Terhadap Agama
Sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Ketiga alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.
      1.      Fitrah Manusia
Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan pertama kali dijelaskan dalam ajaran Islam, yakni agama adalah kebutuhan fitrah manusia. Sebelumnya, manusia belum mengenal kenyataan ini. Baru di masa akhir-akhir ini, muncul beberapa orang yang menyerukan dan mempopulerkannya. Fitrah keagamaan yang ada dalam diri manusia inilah yang melatarbelakangi perlunya manusia pada agama.[[6]] Oleh karenanya, ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru manusia agar beragama, maka seruan tersebut memang sejalan dengan fitrahnya itu.
      2.      Kelemahan dan Kekurangan Manusia
Faktor lainnya yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena disamping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan.[[7]]  Dengan kekurangan dan kelemahan yang terdapat di dalam dirinya sehingga manusia dengan fitrahnya  merasakan kelemahan dirinya dan kebutuhan kepada Tuhan agar menolongnya, menjaga dan memeliharanya dan memberinya taufik.
Allah menciptakan manusia dan berfirman “bahwa manusia telah diciptakan-Nya dengan batas-batas tertentu dan dalam keadaan lemah.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dirinya dan keluar dari kegagalan-kegagalan tersebut tidak ada jalan lain kecuali dengan jalan wahyu akan agama.[[8]]
      3.     Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan.
Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan.
Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga, dan pikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yanag didalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari Tuhan. Orang-orang kafir dengan sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mereka gunakan agar orang mengikuti keinginannya. Berbagai bentuk budaya, hiburan, obat-obat terlarang dan lain sebagainya dibuat dengan sengaja. Untuk itu, upaya mengatasi dan membentengi manusia adalah dengan mengajar mereka agar taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup yang demikian saat ini semakin meningkat, sehingga upaya mengagamakan masyarakat menjadi penting.

Manusia adalah mahluk yang memiliki rasa keagamaan, kemampuan untuk memahami dan mengamalkan nilai agama. Tugas manusia didunia yaitu ibadah dan mengabdi kepadanya. 
Fungsi agama yaitu sebagai pustaka kebenaran, dimana agama diibaratkan sebagai suatu gedung perpustakaan kebenaran.[[9]] Agama dapat dijadikan suatu pedoman dalam mengambil suatu keputusan antara yang benar dan yang salah.
Peranan sosial agama bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.[[10]]
Manusia menyelesaikan tantangan-tantangan hidup dengan menggunakan agama, karena manusia percaya dengan keyakinan yang kuat bahwa agama memiliki kesanggupan dalam menolong manusia.
Fungsi agama dalam kehidupan antara lain:[[11]]
·         Fungsi Edukatif
Agama memberikan bimbingan dan pengajaaran tentang boleh tidaknya suatu perbuatan, cara beribah, dll dengan perantara petugas-petugasnya (fungsionaris).
·         Fungsi Penyelamatan
Agama membantu manusia untuk mengenal sesuatu “yang sakral” dan “makhluk teringgi” atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya. Sehingga dalam yang hubungan ini manusia percaya dapat memperoleh apa yang ia inginkan.
·         Fungsi Pengawasan Sosial
Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral (yang dianggap baik) dari serbuan destruktif dari agama baru dan dari system hokum Negara modern.
·         Fungsi Memupuk Persaudaraan
Kesatuan persaudaraan atas dasar se-iman, merupakan kesatuan tertinggi karena dalam persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja melainkan seluruh pribadinya dilibatkan.
·         Fungsi Transformatif
Mengubah bentuk kehidupan baru atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru yang lebih bermanfaat.
Selain fungsi diatas, agama juga memiliki fungsi antara lain:[[12]]
·         Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
·         Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah
·         Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan
·         Pedoman perasaan keyakinan
·         Pedoman keberadaan
·         Pengungkapan estetika (keindahan)
·         Pedoman rekreasi dan hiburan
·         Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.
D.    Tentang Atheisme
Atheisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme.  Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan.
Istilah atheisme berasal dari Bahasa Yunani (átheos), yang secara peyoratif digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan menyebarnya pemikiran bebasskeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap agama, istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada tuhan. Orang yang pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul pada abad ke-18. Pada zaman sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku sebagai ateis, manakala 11,9% mengaku sebagai nonteis. Sekitar 65% orang Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun orang yang tak beragama; dan sekitar 48%-nya di Rusia. Persentase komunitas tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85% (Swedia).
Banyak ateis bersikap skeptis kepada keberadaan fenomena paranormal karena kurangnya bukti empiris. Yang lain memberikan argumen dengan dasar filosofis, sosial, atau sejarah.
Pada kebudayaan Barat, ateis seringkali diasumsikan sebagai tak beragama (ireligius).[[13]] Beberapa aliran Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah 'Tuhan' dalam berbagai upacara ritual, namun dalam Agama Buddha konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana.[[14]]Karenanya agama ini sering disebut agama ateistik.[[15]] Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanisme,[[16]] rasionalisme, dan naturalisme, tidak ada ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua ateis.
             Ada banyak agama di dunia ini. Ternyata kaum atheis alias tidak ber-Tuhan atau beragama juga ada banyak jenisnya. Penelitian yang dilakukan dua calon doktor, Christopher F. Silver dan Thomas J. Coleman III, dalam disertasinya, menunjukkan bahwa ada enam jenis atheis di seluruh dunia.
Keenam jenis ateisme tersebut adalah
(1) atheis/agnostik intelektual,
(2) atheis/agnostik aktivis,
(3) seeker agnostic,
(4) antitheist,
(5) non-theist, dan
(6) ritual atheist/agnostic.
1.      Atheis intelektual, adalah "individu-individu yang secara aktif mengedukasi diri melalui ilmu pengetahuan dan secara aktif menggunakan ilmu pengetahuan untuk menjelaskan segala topik berkaitan dengan ontologi (pencarian kebenaran)," demikian definisi dari Silver.
1.      atheis aktivis, adalah golongan yang cenderung terlibat dalam komunitas dan gemar memperjuangkan isu-isu keadilan sosial.
2.      "Kelompok orang tidak beriman yang paling bahagia" adalah definisi dari jenis ketiga, seeker agnostic. Golongan ini masih terbuka dalam menerima agama.
3.      Bagi anti-theist, agama adalah kekuatan yang merusak dan harus disalahkan jika terjadi perpecahan dalam masyarakat.
4.      Sementara jenis non-theist adalah mereka yang bersifat pasif dalam menanggapi agama maupun gagasan anti-agama.
5.      ritual atheist, menganggap bahwa hal penting dari agama hanyalah ritual. Mereka masih terlibat dalam upacara keagamaan seperti perayaan Natal.
Dari keenam jenis tersebut, atheis intelektual menempati urutan terbanyak di seluruh dunia. Hasil penelitian Silver dan Coleman seakan menyiratkan bahwa atheis tidak melulu penentang agama atau pembenci Tuhan. "Kebanyakan dari mereka yang tidak beriman berusaha untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Mereka masih peduli dengan orang lain," kata Coleman. Agama adalah usaha manusia menemukan Tuhan, meskipun pada hakikatnya Tuhan-lah yang mencari manusia, bukan sebaliknya. Agama mengajarkan nilai dan prinsip moral yang membawa kebaikan, namun agama tidak menyelamatkan. Bisa jadi, hasil penelitian Silver dan Coleman membuka wawasan masyarakat bahwa seluruh dunia tetap mencari Jalan, Kebenaran, dan Hidup (Yohanes 14:6) melalui cara-cara mereka sendiri. Bagi mereka yang tekun meminta dan mencari, Dia berjanji bahwa mereka akan mendapatkan.











BAB III
PENUTUP
A.        Kesimpulan
Segala hal yang berkenanaan dengan fitrah manusia, kelemahan dan kekurangan manusia, dan tantangan manusia tidak terlepas dari yang namannya agama. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kebutuhan manusia akan agama Tuhan yang benar lebih besar dari pada kebutuhannya akan unsur-unsur pertama untuk menjaga hidupnya seperti air, makanan dan udara. Dan tidak ada yang mengingkari atau memperdebatkan kebenaran ini kecuali pembangkang yang sombong, tidak berguna kesombongannya dan tidak perlu didengar alasan-alasannya. Manusia beragama karena memerlukan sesuatu dari agama yaitu memerlukan petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhir.   

B.        Saran
Dalam makalah ini,penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat didalamnya, baik dari segi penulisan, susunan kata, bahan referensi, dan lainnya.Oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dari pihak pembaca sebagai pengetahuan untuk mewujudkan perubahan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Demikianlah makalah yang sederhana ini kami susun semoga dapat bermanfaat bagi penyusun pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Akhirnya kami merasa kerendahan hati sebagai manusia yang mempunyai banyak sekali kekurangan. Oleh sebab itu kritik dan saran bahkan yang tidak membangun sekalipun kami tunggu demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga niat baik kita diridhai oleh Allah SWT. Amin.









DAFTAR PUSTAKA


[1] H. Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam (Bandung: Pustaka Setia), Hlm.19
2A. Hafidh Al-kaf, dalam makalah “Manusia dan Agama), Hlm.3
3Drs. M. Yatimin, M.A, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Amzah,2006), Hlm.37
4Quraisy shihab, Membumikan Alquran Fungsi dan peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka,2007), Hlm.2105
5 Drs. Yatimin, ibid, Hlm.39-42
6Abuddin Nata, Metedologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2004) Cet X, Hlm.16
7Ibid, Hlm.23
8http://dinulisislami.blogspot.com/kebutuhan-manusia-terhadap-agama.26-10-14
9Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, hal. 142
11Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hal. 12http://id.wikipedia.org/wiki/Agama#Fungsidiakses 21 September 2012
13Cline, Austin (2005). "Buddhism and Atheism"about.com. Diakses tanggal 2006-10-21.
14"Ceramah Bhikkhu Uttamo - Ketuhanan dalam agama Buddha". Samaggi Phala. Diakses tanggal 2010-08-18.
15Kedar, Nath Tiwari (1997). Comparative ReligionMotilal Banarsidass. pp. hal. 50. ISBN 81-208-0293-4. Honderich, Ted (Ed.) (1995). "Humanism". The Oxford Companion to Philosophy. Oxford University Press. p 376. ISBN 0-19-866132-0.
[1]6Fales, Evan. "Naturalism and Physicalism", in Martin 2007, hlmn. 122–131.







[1] H. Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam (Bandung: Pustaka Setia), Hlm.19
[2] A. Hafidh Al-kaf, dalam makalah “Manusia dan Agama), Hlm.3
[3] Drs. M. Yatimin, M.A, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Amzah,2006), Hlm.37
[4] Quraisy shihab, Membumikan Alquran Fungsi dan peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka,2007), Hlm.210
[5] Drs. Yatimin, ibid, Hlm.39-42
[6] Abuddin Nata, Metedologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2004) Cet X, Hlm.16
[7] Ibid, Hlm.23
[8] http://dinulisislami.blogspot.com/kebutuhan-manusia-terhadap-agama.26-10-14
[9] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, hal. 142
[11] Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hal. 38
[12] http://id.wikipedia.org/wiki/Agama#Fungsidiakses 21 September 2012
[13] Cline, Austin (2005). "Buddhism and Atheism"about.com. Diakses tanggal 2006-10-21.
[14] "Ceramah Bhikkhu Uttamo - Ketuhanan dalam agama Buddha". Samaggi Phala. Diakses tanggal 2010-08-18.
[15] Kedar, Nath Tiwari (1997). Comparative ReligionMotilal Banarsidass. pp. hal. 50. ISBN 81-208-0293-4. Honderich, Ted (Ed.) (1995). "Humanism". The Oxford Companion to Philosophy. Oxford University Press. p 376. ISBN 0-19-866132-0.
[16]  Fales, Evan. "Naturalism and Physicalism", in Martin 2007, hlmn. 122–131.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar