BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia
sebagai makhluk paling sempurna di antara makhluk-makhluk lain mampu mewujudkan
segala keinginan dan kebutuhannya dengan kekuatan akal yang dimilikinya. Di
samping itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk mencari sesuatu yang
mampu menjawab segala pertanyaan yang ada dalam benaknya.Segala keingintahuan itu
akan menjadikan manusia gelisah dan kemudian mencari pelampiasan dengan timbulnya
tindakan irrasionalitas. Munculnya pemujaan terhadap benda-benda merupakan bukti
adanya keingintahuan manusia yang diliputi oleh rasa takut terhadap sesuatu
yang tidak diketahuinya.
Kepercayaan
manusia akan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat yang
tergantung pada hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Ketakutan manusia
apabila hubungan baik manusia dengan kekuatan gaib tersebut hilang, maka hilang
pulalah kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari.
Kemudian
menurut sebagian para ahli rasa ingin tahu dan rasa takut itu menjadi pendorong
utama tumbuh suburnya rasa keagamaan dalam diri manusia.Manusia merasa berhak untuk
mengetahui darimana dirinyaberasal, untuk apa dia berada di dunia, apa yang
mesti manusia lakukan demi kebahagiannya di dunia dan alam akhirat nanti, yang
merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
tersebut adalah agama. Karenanya, sangatlah logis apabila agama selalu mewarnai
sejarah manusia dari dahulu kala hingga kini, bahkan sampai akhir nanti. Lantas
benarkah hanya rasa takut dan ingin tahu tersebut yang menjadikan manusia membutuhkan
agama dalam kehidupan mereka? Dalam makalah yang sederhana ini akan diulas bagaimana
agama dapat menjadi kebutuhan bagimanusia.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa
definisi Agama?
2. Bagaimana rasa ingin tahu manusia terhadap agama ?
3. Apa latar belakang perlunya manusia
terhadap agama?
4. Apa Fungsi Agama dalam Kehidupan?
5. Apa itu Atheisme?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk
mengetahui definisi Agama
2. Untuk mengetahui rasa ingin tahu
manusia terhadap agama yang diyakininya
3. Untuk
mengetahui latar belakang perlunya manusia
terhadap agama
4. Untuk mengetahui Fungsi-fungsi Agama
dalam Kehidupan
5. Untuk mengetahui tentang Atheisme
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Agama
Secara etimologis Agama berasal
dari bahasa Sanskerta yang tersusun dari kata “a” berarti “tidak” dan “gam”
berarti “pergi”. Dalam bentuk harfiah yang terpadu, kata agama berarti “tidak
pergi”, tetap di tempat, langgeng, abadi yang diwariskan secara terus-menerus
dari satu generasi kepada generasi yang lainnya.[[1]]
Pada umumnya, kata “agama”
diartikan tidak kacau, yang secara analitis diuraikan dengan cara memisahkan
kata demi kata, yaitu “a” berarti “tidak” dan “gama” berarti
“kacau”. Maksudnya orang yang memeluk agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya
dengan sungguh, hidupnya tidak akan mengalami kekacauan.[[2]]
Secara
terminologi menurut sebagian orang, agama merupakan sebuah fenomena yang sulit
didefinisikan. WC Smith mengatakan,
"Tidak
berlebihan apabila dikatakan hingga saat ini belum ada definisi
agama yang benar dan dapat diterima".
Meski demikian, para cendekiawan besar dunia memiliki
definisi, tentang fenomena agama. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Emile Durkheim mengartikan agama
sebagai suatu kesatuan sistem kepercayaan dan pengalaman terhadap suatu yang
sakral, kemudian kepercayaan dan pengalaman tersebut menyatu ke dalam suatu
komunitas moral.
2. Karl Mark berpendapat agama
adalah keluh kesah dari makhluk yang tertekan hati dari dunia yang
tidak berhati, jiwa dari keadaan yang tidak berjiwa, bahkan menurut
pendapatnya pula agama dijadikan sebagai candu bagi masyarakat.
3. Spencer mengatakan agama adalah kepercayaan akan sesuatu
yang Maha mutlak.
4. Dewey menyebutkan agama sebagai pencarian manusia akan
cita-cita umum dan abadi meskipun dihadapkan pada tantangan yang dapat
mengancam jiwanya, agama adalah pengenalan manusia terhadap kekuatan gaib yang
hebat.
5. Sebagian pemikir mengatakan apa saja yang memiliki
tiga ciri khas yang dapat disebut sebagai agama:
a)
Keyakinan di balik alam materi ini ada alam yang lain,
b)
Penciptaan alam memiliki tujuan,
c)
Alam memiliki konsep etika.
Pada semua
definisi tersebut, terdapat satu hal yang menjadi kesepakatan dari semua para
cendekiawan besar dunia, yaitu kepercayaan akan adanya sesuatu yang agung di
luar alam. Namun, lepas dari semua definisi yang ada di atas maupun definisi
lain yang dikemukakan oleh para pemikir dunia lainnya, kita meyakini agama
adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang menurunkan wahyu kepada para nabi-Nya
untuk umat manusia demi kebahagiaannya di dunia dan akhirat.
Dari sini,
manusia dapat menyatakan agama memiliki tiga bagian yang tidak terpisah, yaitu akidah (kepercayaan
hati), syari'at (perintah-perintah dan larangan Tuhan) dan akhlak (konsep untuk
meningkatkan sisi rohani manusia untuk dekat kepada-Nya). Meskipun demikian,
tidak dapat dipungkiri asas terpenting dari agama adalah keyakinan akan adanya
Tuhan yang harus disembah.
B. Kebutuhan Manusia Terhadap Agama
Secara naluri, manusia mengakui kekuatan dalam
kehidupan di luar dirinya. Dapat dilihat ketika manusia mengalami kesulitan
hidup, musibah, dan berbagai bencana. Manusia mengeluh dan meminta pertolongan
kepada sesuatu yang serba maha, yang dapat membebaskannya dari keadaan
tersebut. Naluriah membuktikan manusia perlu beragama dan
membutuhkan Sang Khaliknya.[[3]]
Beberapa ahli pakar ada yang berpendapat bahwa benih
agama adalah rasa takut yang kemudian melahirkan pemberian
sesajen kepada yang diyakini yang memiliki kekuatan menakutkan. Seperti yang
ditulis oleh Yatimin bahwa pada masa primitif, kekuatan itu menimbulkan
kepercayaan animisme dan dinamisme. Ia memerinci bentuk penghormatan itu
berupa:
1. Sesajian
pada pohon-pohon besar, batu, gunung, sungai-sungai, laut, dan benda alam
lainnya.
2. Pantangan
(hal yang tabu), yaitu perbuatan-perbuatan ucapan-ucapan yang dianggap dapat
mengundang murka (kemarahan) kepada kekuatan itu.
3. Menjaga
dan menghormati kemurkaan yang ditimbulkan akibat ulah manusia, misalnya
upacara persembahan, ruatan, dan mengorbankan sesuatu yang dianggap berharga.
Rasa takut memang salah satu pendorong utama tumbuh
suburnya rasa keberagaman. Tetapi itu merupakan benih - benih yang ditolak oleh
sebagian pakar lain. Seperti yang dikatakan oleh Quraish Shihab bahwa terdapat
hal lain yang membuat manusia merasa harus beragama.[[4]] Freud ahli jiwa berpendapat benih agama dari
kompleks oedipus. Mula-mula seorang anak merasakan dorongan seksual terhadap
ibunya kemudian membunuh ayahnya sendiri. Namun pembunuhan ini menghasilkan
penyesalan diri dalam jiwa sang anak sehingga lahirlah penyembahan terhadap ruh
sang ayah. Di sinilah bermula rasa agama dalam jiwa manusia.
Agama muncul dari rasa penyesalan seseorang. Namun bukan
berarti benih agama kemudian menjadi satu-satunya alasan bahwa manusia
membutuhkan agama. Karena kebutuhan manusia terhadap agama dapat disebabkan
karena masalah prinsip dasar kebutuhan manusia. Untuk menjelaskan perlunya
manusia terhadap agama sebagai kebutuhan.
a) Faktor
Kondisi Manusia
Kondisi manusia terdiri dari beberapa unsur, yaitu unsur
jasmani dan unsur rohani. Untuk menumbuhkan dan mengembangkan kedua unsur
tersebut harus mendapat perhatian khusus yang seimbang. Unsur jasmani
membutuhkan pemenuhan yang bersifat fisik jasmaniah. Kebutuhan tersebut adalah
makan-minum, bekerja, istirahat yang seimbang, berolahraga, dan segala
aktivitas jasmani yang dibutuhkan. Unsur rohani membutuhkan pemenuhan yang
bersifat psikis (mental) rohaniah. Kebutuhan tersebut adalah pendidikan agama,
budi pekerti, kepuasan, kasih sayang, dan segala aktivitas rohani yang
seimbang.
b) Faktor
Status Manusia
Status manusia adalah sebagai makhluk ciptaan Allah yang
paling sempurna. Apabila dibanding dengan makhluk lain, Allah menciptakan
manusia lengkap dengan berbagai kesempurnaan, yaitu kesempurnaan akal dan
pikiran, kemuliaan, dan berbagai kelebihan lainnya. Dalam segi rohaniah manusia
memiliki aspek rohaniah yang kompleks. Manusia adalah satu-satunya yang
mempunyai akal dan manusia pulalah yang mempunyai kata hati. Sehingga dengan
kelengkapan itu Allah menempatkan mereka pada permukaan yang paling atas dalam
garis horizontal sesama makhluk. Dengan akalnya manusia mengakui adanya Allah.
Dengan hati nuraninya manusia menyadari dirinya tidak terlepas dari pengawasan
dan ketentuan Allah. Dan dengan agamalah manusia belajar mengenal Tuhan dan
agama juga mengajarkan cara berkomunikasi dengan sesamanya, dengan
kehidupannya, dan lingkungannya.
c) Faktor
Struktur Dasar Kepribadian
Dalam teori psikoanalisis Sigmun Freud membagi struktur
kepribadian manusia dengan tiga bagian. Yaitu:
1) Aspek Das
es yaitu aspek biologis, merupakan sistem yang orisinal dalam kepribadian
manusia yang berkembang secara alami dan menjadi bagian yang subjektif yang
tidak mempunyai hubungan langsung dengan dunia objektif.
2) Aspek das
ich, yaitu aspek psikis yang timbul karena kebutuhan organisme untuk hubungan
baik dengan dunia nyata.
3) Aspek das
uber ich, aspek sosiologis yang mewakili nilai-nilai tradisional serta
cita-cita masyarat.
C. Latar
Belakang Perlunya Manusia Terhadap Agama
Sekurang-kurangnya ada tiga
alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Ketiga alasan
tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Fitrah
Manusia
Kenyataan bahwa manusia memiliki
fitrah keagamaan pertama kali dijelaskan dalam ajaran Islam, yakni agama adalah
kebutuhan fitrah manusia. Sebelumnya, manusia belum mengenal kenyataan ini.
Baru di masa akhir-akhir ini, muncul beberapa orang yang menyerukan dan
mempopulerkannya. Fitrah keagamaan yang ada dalam diri manusia inilah yang
melatarbelakangi perlunya manusia pada agama.[[6]] Oleh
karenanya, ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru manusia agar beragama, maka
seruan tersebut memang sejalan dengan fitrahnya itu.
2. Kelemahan
dan Kekurangan Manusia
Faktor lainnya yang
melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena disamping manusia
memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan.[[7]]
Dengan kekurangan dan kelemahan yang terdapat di dalam dirinya sehingga manusia
dengan fitrahnya merasakan kelemahan dirinya dan kebutuhan kepada Tuhan
agar menolongnya, menjaga dan memeliharanya dan memberinya taufik.
Allah menciptakan manusia dan
berfirman “bahwa manusia telah diciptakan-Nya dengan batas-batas tertentu dan
dalam keadaan lemah.
Untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan dirinya dan keluar dari kegagalan-kegagalan tersebut tidak
ada jalan lain kecuali dengan jalan wahyu akan agama.[[8]]
3. Tantangan
Manusia
Faktor lain yang menyebabkan
manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa
menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.
Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan.
Sedangkan tantangan dari luar
dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara
sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan.
Mereka dengan rela mengeluarkan
biaya, tenaga, dan pikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk
kebudayaan yanag didalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari Tuhan.
Orang-orang kafir dengan sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk
mereka gunakan agar orang mengikuti keinginannya. Berbagai bentuk budaya,
hiburan, obat-obat terlarang dan lain sebagainya dibuat dengan sengaja. Untuk
itu, upaya mengatasi dan membentengi manusia adalah dengan mengajar mereka agar
taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup yang demikian saat ini
semakin meningkat, sehingga upaya mengagamakan masyarakat menjadi penting.
Manusia adalah mahluk yang memiliki rasa keagamaan,
kemampuan untuk memahami dan mengamalkan nilai agama. Tugas manusia
didunia yaitu ibadah dan mengabdi kepadanya.
Fungsi
agama yaitu sebagai pustaka kebenaran, dimana agama diibaratkan sebagai suatu
gedung perpustakaan kebenaran.[[9]] Agama dapat dijadikan suatu pedoman dalam
mengambil suatu keputusan antara yang benar dan yang salah.
Peranan sosial agama bagi
masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik
diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban
sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang
mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh
kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam
masyarakat.[[10]]
Manusia
menyelesaikan tantangan-tantangan hidup dengan menggunakan agama, karena
manusia percaya dengan keyakinan yang kuat bahwa agama memiliki kesanggupan
dalam menolong manusia.
·
Fungsi Edukatif
Agama
memberikan bimbingan dan pengajaaran tentang boleh tidaknya suatu perbuatan,
cara beribah, dll dengan perantara petugas-petugasnya (fungsionaris).
·
Fungsi Penyelamatan
Agama
membantu manusia untuk mengenal sesuatu “yang sakral” dan “makhluk teringgi”
atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya. Sehingga dalam yang hubungan ini
manusia percaya dapat memperoleh apa yang ia inginkan.
·
Fungsi Pengawasan Sosial
Agama
mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral (yang dianggap baik) dari
serbuan destruktif dari agama baru dan dari system hokum Negara modern.
·
Fungsi Memupuk Persaudaraan
Kesatuan
persaudaraan atas dasar se-iman, merupakan kesatuan tertinggi karena dalam
persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja
melainkan seluruh pribadinya dilibatkan.
·
Fungsi Transformatif
Mengubah
bentuk kehidupan baru atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan
nilai-nilai baru yang lebih bermanfaat.
·
Mengatur tata cara hubungan
manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
·
Merupakan tuntutan tentang
prinsip benar atau salah
·
Pedoman mengungkapkan rasa
kebersamaan
·
Pedoman perasaan keyakinan
·
Pedoman keberadaan
·
Pengungkapan estetika (keindahan)
·
Pedoman rekreasi dan hiburan
·
Memberikan identitas kepada
manusia sebagai umat dari suatu agama.
D.
Tentang Atheisme
Atheisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai
keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme. Dalam pengertian yang paling luas, ia
adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan.
Istilah atheisme berasal
dari Bahasa Yunani (átheos), yang secara peyoratif digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya
bertentangan dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan
menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap agama, istilah ateis mulai dispesifikasi
untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada tuhan. Orang yang pertama
kali mengaku sebagai "ateis" muncul pada abad ke-18. Pada zaman
sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku sebagai ateis, manakala 11,9%
mengaku sebagai nonteis. Sekitar 65% orang Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun orang yang tak beragama; dan sekitar 48%-nya di Rusia. Persentase
komunitas tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85%
(Swedia).
Banyak ateis bersikap skeptis
kepada keberadaan fenomena paranormal karena kurangnya bukti empiris. Yang lain
memberikan argumen dengan dasar filosofis, sosial, atau sejarah.
Pada kebudayaan Barat, ateis
seringkali diasumsikan sebagai tak beragama (ireligius).[[13]] Beberapa
aliran Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah 'Tuhan' dalam berbagai upacara ritual, namun dalam
Agama Buddha konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana.[[14]]Karenanya
agama ini sering disebut agama ateistik.[[15]] Walaupun
banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis cenderung kepada filosofi
sekuler seperti humanisme,[[16]] rasionalisme,
dan naturalisme, tidak ada ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua ateis.
Ada banyak agama di dunia ini. Ternyata kaum atheis alias tidak
ber-Tuhan atau beragama juga ada banyak jenisnya. Penelitian yang dilakukan dua
calon doktor, Christopher F. Silver dan Thomas J. Coleman III, dalam
disertasinya, menunjukkan bahwa ada enam jenis atheis di seluruh dunia.
Keenam jenis
ateisme tersebut adalah
(1)
atheis/agnostik intelektual,
(2)
atheis/agnostik aktivis,
(3) seeker
agnostic,
(4) antitheist,
(5) non-theist,
dan
(6) ritual
atheist/agnostic.
1.
Atheis
intelektual, adalah "individu-individu yang secara aktif mengedukasi diri
melalui ilmu pengetahuan dan secara aktif menggunakan ilmu pengetahuan untuk
menjelaskan segala topik berkaitan dengan ontologi (pencarian kebenaran),"
demikian definisi dari Silver.
1.
atheis
aktivis, adalah golongan yang cenderung terlibat dalam komunitas dan gemar
memperjuangkan isu-isu keadilan sosial.
2.
"Kelompok
orang tidak beriman yang paling bahagia" adalah definisi dari jenis
ketiga, seeker agnostic. Golongan ini masih
terbuka dalam menerima agama.
3.
Bagi anti-theist,
agama adalah kekuatan yang merusak dan harus disalahkan jika terjadi perpecahan
dalam masyarakat.
4.
Sementara
jenis non-theist adalah
mereka yang bersifat pasif dalam menanggapi agama maupun gagasan anti-agama.
5.
ritual atheist, menganggap bahwa hal penting dari agama
hanyalah ritual. Mereka masih terlibat dalam upacara keagamaan seperti perayaan
Natal.
Dari keenam jenis tersebut, atheis
intelektual menempati urutan terbanyak di seluruh dunia. Hasil penelitian
Silver dan Coleman seakan menyiratkan bahwa atheis tidak melulu penentang agama
atau pembenci Tuhan. "Kebanyakan dari mereka yang tidak beriman berusaha
untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Mereka masih peduli dengan orang lain,"
kata Coleman. Agama adalah usaha manusia menemukan Tuhan, meskipun pada
hakikatnya Tuhan-lah yang mencari manusia, bukan sebaliknya. Agama mengajarkan
nilai dan prinsip moral yang membawa kebaikan, namun agama tidak menyelamatkan.
Bisa jadi, hasil penelitian Silver dan Coleman membuka wawasan masyarakat bahwa
seluruh dunia tetap mencari Jalan, Kebenaran, dan Hidup (Yohanes 14:6) melalui cara-cara mereka sendiri. Bagi
mereka yang tekun meminta dan mencari, Dia berjanji bahwa mereka akan
mendapatkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Segala hal yang
berkenanaan dengan fitrah manusia, kelemahan dan kekurangan manusia, dan tantangan
manusia tidak terlepas dari yang namannya agama. Berdasarkan hal-hal tersebut
di atas, maka kebutuhan manusia akan agama Tuhan yang benar lebih besar dari pada
kebutuhannya akan unsur-unsur pertama untuk menjaga hidupnya seperti air,
makanan dan udara. Dan tidak ada yang mengingkari atau memperdebatkan kebenaran
ini kecuali pembangkang yang sombong, tidak berguna kesombongannya dan tidak perlu
didengar alasan-alasannya. Manusia beragama karena memerlukan sesuatu dari
agama yaitu memerlukan petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan
akhir.
B.
Saran
Dalam makalah ini,penulis
menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat didalamnya, baik dari segi penulisan,
susunan kata, bahan referensi, dan lainnya.Oleh karena itu penulis mengharapkan
masukan dari pihak pembaca sebagai pengetahuan untuk mewujudkan perubahan yang
lebih baik di masa yang akan datang.
Demikianlah makalah yang sederhana ini kami susun semoga dapat bermanfaat
bagi penyusun pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Akhirnya kami merasa
kerendahan hati sebagai manusia yang mempunyai banyak sekali kekurangan. Oleh
sebab itu kritik dan saran bahkan yang tidak membangun sekalipun kami tunggu
demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga niat baik kita diridhai oleh
Allah SWT. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
[1] H.
Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam (Bandung: Pustaka Setia), Hlm.19
2A. Hafidh Al-kaf, dalam makalah “Manusia dan Agama), Hlm.3
3Drs. M. Yatimin, M.A, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta:
Amzah,2006), Hlm.37
4Quraisy shihab, Membumikan Alquran Fungsi dan peran Wahyu dalam
kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka,2007), Hlm.2105
5 Drs. Yatimin, ibid, Hlm.39-42
6Abuddin Nata, Metedologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada,2004) Cet X, Hlm.16
7Ibid, Hlm.23
8http://dinulisislami.blogspot.com/kebutuhan-manusia-terhadap-agama.26-10-14
9Endang Saifuddin Anshari, Ilmu,
Filsafat, hal. 142
11Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hal. 12http://id.wikipedia.org/wiki/Agama#Fungsi, diakses
21 September 2012
14"Ceramah Bhikkhu Uttamo - Ketuhanan
dalam agama Buddha". Samaggi Phala. Diakses
tanggal 2010-08-18.
15Kedar, Nath Tiwari
(1997). Comparative Religion. Motilal Banarsidass. pp. hal. 50. ISBN 81-208-0293-4. Honderich, Ted (Ed.)
(1995). "Humanism". The Oxford Companion to Philosophy.
Oxford University Press. p 376. ISBN 0-19-866132-0.
[4] Quraisy shihab,
Membumikan Alquran Fungsi dan peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat,
(Bandung: PT. Mizan Pustaka,2007), Hlm.210
[8]
http://dinulisislami.blogspot.com/kebutuhan-manusia-terhadap-agama.26-10-14
[11] Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hal. 38
[14] "Ceramah Bhikkhu Uttamo - Ketuhanan dalam agama
Buddha". Samaggi Phala. Diakses tanggal 2010-08-18.
[15] Kedar, Nath
Tiwari (1997). Comparative Religion. Motilal Banarsidass. pp. hal.
50. ISBN 81-208-0293-4. Honderich, Ted (Ed.) (1995).
"Humanism". The Oxford Companion to Philosophy. Oxford
University Press. p 376. ISBN 0-19-866132-0.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar