Kamis, 19 Oktober 2017

MAKALAH HADIS SIYASAH “Hukum Membuka Suatu Lahan Baru Tanpa ada Kepemilikan”

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudulHukum Membuka Suatu Lahan Baru Tanpa ada Kepemilikan(Ihya’ Al-Mawat)’’
Penulisan makalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Hadis Siyasah
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan Makalah ini, khususnya kepada :
1.      Bapak Yovenska  selaku dosen pengampu mata kuliah Hadis Siyasah yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pkiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan makalah ini
2.      Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis.
3.      Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.                                   


                   Bengkulu, 15 Desember 2016



                                                                                                                         Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang                                                                        ……………..………….i
B.     Rumusan masalah                                                                   ………………………...i
C.     Tujuan Makalah                                                                      ………………………...i

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ihya’ Al-Mawat                                                     …………..…………….1
B.     Dasar Hukum Ihya’ Al-Mawat                                                ……………..………….3
C.     Cara-cara Ihya’ Al-Mawat                                                       …………………..…….5
D.    Obyek Yang Berkaitan Dengan Ihya’ Al-Mawat                    …………………….…..6
E.     Hukum-hukum Ihya’ Al-Mawat                                              …………..…………….7
F.      Syarat-syarat Ihya’ Al-Mawat                                                 …………..…………….8
G.    Izin Penguasa Dalam Ihya’ al-Mawat                                     …………..…………….10

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan                                                                             ……………………….13
B.     Saran                                                                                       ……………………….13

DAFTAR PUSTAKA












BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ihya’ al-mawat adalah membuka lahan tanah mati dan belum pernah ditanami sehingga tanah tersebut dapat memberikan manfaat untuk tempat tinggal, bercocok tanam dan sebagainya.Islam menyukai manusia berkembang dengan membangun berbagai perumahan dan menyebar di berbagai pelosok dunia, menghidupkan (membuka) tanah-tanah tandus. Hal itu dapat menambah kekayaan dan memenuhi kebutuhan hidup, sehingga tercapailah kemakmuran dan kekuatan mereka.Bertolak dari hal tersebut, Islam menganjurkan pada penganutnya untuk menggarap tanah yang gersang agar menjadi subur, sehingga menghasilkan kebaikan dan keberkahan dengan mengelola tanah tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Ihya’ Al-Mawat?
2.      Apa Dasar Hukum Ihya’ Al-Mawat?
3.      Apa Cara-cara Ihya’ Al-Mawat?
4.      Apa Obyek Yang Berkaitan Dengan Ihya’ Al-Mawat?
5.      Apa Hukum-hukum Ihya’ Al-Mawat?
6.      Apa Syarat-syarat Ihya’ Al-Mawat?
7.      Apa Izin Penguasa Dalam Ihya’ al-Mawat?

C.    Tujuan Makalah
1.      Mengetahui Pengertian Ihya’ Al-Mawat
2.      Mengetahui Dasar Hukum Ihya’ Al-Mawat
3.      Mengetahui Cara-cara Ihya’ Al-Mawat
4.      Mengetahui Obyek Yang Berkaitan Dengan Ihya’ Al-Mawat
5.      Mengetahui Hukum-hukum Ihya’ Al-Mawat
6.      Mengetahui Syarat-syarat Ihya’ Al-Mawat
7.      Mengetahui Izin Penguasa Dalam Ihya’ al-Mawat
i
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ihya’ Al-Mawat
Kata ihya’ al-mawat terdiri dari dua kata yaitu ihya’ menghidupkan dan al-mawat sesuatu yang mati, yang berarti ihya’ al-mawat menurut bahasa diartikan menghidupkan sesuatu yang mati. Menurut Abu Bakar Ibn Khusen al-Kasynawi al-mawat itu adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya. Al-Rafi’i mendefinisikan al-mawat dengan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya seorangpun.
Menurut Syekh Muhammad yang dimaksud dengan tanah mati ialah tanah yang tidak ada pemiliknya dan belum ada seorang pun yang mengambil manfaat bumi tersebut. Ibn Qudamah mendefinisikan al-mawat dengan tanah rusak dan tidak diketahui siapa pemiliknya. Hasbullah Bakry berpendapat ihya’ al-mawat yaitu tanah yang dihidupkan oleh seseorang berarti menjadi milik orang yang menghidupkan tanah.
Sedangkan menurut Syaikh Syihab al-Din Qalyubi wa Umairah, ihya’ al-mawat yaitu menyuburkan tanah yang tidak subur. Menghidupkan tanah mati itu artinya mengolah tanah, atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami.Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkan tanah untuk keperluan apa pun, sehingga bisa menghidupkannya yakni dengan adanya usaha seseorang untuk menghidupkan tanah, berarti usaha orang tadi telah menjadikan tanah tersebut miliknya.
Menurut Sulaiman Rasjid ihya’ al-mawat adalah membuka tanah baru yakni tanah yang belum dikerjakan oleh siapa pun, berarti tanah itu tidak dimiliki oleh seorang atau tidak diketahui pemiliknya. Idris Ahmad mendefinisikan ihya’ al-mawat dengan memanfaatkan tanah kosong untuk dijadikan kebun sawah dan yang lainnya.

Secara terminologi, ada beberapa pengertian yang dikemukakan para ulama’ fiqh tentang ihya’  al-mawat :



1
1.    Menurut Ulama’ Hanafiyah adalah
اصلاح الارض لايملكها ولاينفع بها احد وتعذر زرعها لانقطاع الماء عنها من العامر
Artinya:  Penggarapan lahan yang belun dimiliki  dan digarap orang lain karena ketiadaan irigasi serta  jauh dari pemukiman.

2.  Menurut ulama’ Malikiyah adalah:
ما سلم عن اختصاص باحياء (اى بسبب احياء ه بشيئ) او بسبب كونه حريم عمارة كمحتطب او مرعى لبلد
Artinya: Tanah atau lahan yang selamat dari pengelolahan (sebab mengelola  lahan itu dengan sesuatu), atau sebab adanya penghalang untuk mengelola lahan tersebut.

3.    Menurut ulama’ Syafi’iyah adalah:
اصلاح الارض ما لم يكون عامرا ولا حريما لعامر قريب من العامراو بعد       
Artinya: Penggarapan tanah atau lahan yang belum digarap orang lain, dan lahan itu jauh dari  pemukiman maupun dekat.

4.    Menurut ulama’ Hanabilah adalah:
الارض التى ليس لها مالك ولابها ماء ولا عمارة ولا ينفع بها
Aritnya: Lahan atau tanah yang tidak ada pemiliknya, tidak ada airnya (gersang), tidak dikelola, serta tidak dimanfaatkan oleh orang lain.

 5.      Menurut al-rafi’i ialah
الارض التى لامالك لها ولا ينتفع بها احد
Artinya: “Tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkanya seorangpun.”
 6.       Menurut imam al-Mawardi dalam kitab Al-Iqna al-Khatib,
هوالذى لم يكن عامرا ولا حريما لعامر قرب من العامر او بعد
Artinya: “Tidak ada yang menanami, tidak ada halangan yang menanami, baik dekat yang menanami maupun jauh.”

2
Dari pengertian di atas jika diperluas maknanya menunjukkan bahwa ihya’ al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum dimiliki seseorang untuk dijadikan lahan produktif, baik sebagai lahan pertanian maupun mendirikan bangunan, “pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa yang menjadikan sebab seseorang bisa memiliki sebidang tanah, manakala tanah itu kosong, belum diolah dan belum dimiliki seseorang”.
Al-qur’an tidak memberikan penjelasan tentang ihya’ al-mawat secara jelas dan rinci. Al- qur’an hanya mengungkapkan secara umum tentang keharusan bertebaran di atas bumi untuk mencari karunia Allah sebagaimana terdapat dalam surat al-Jumu’ah ayat 10.
Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Ayat ini menganjurkan setiap muslim untuk bertebaran di atas bumi Allah mencari nafkah setelah mereka menunaikan shalat. Ungkapan bertebaran di atas bumi adalah berusaha sesuai dengan keahlian dan profesi masing-masing. Untuk pertanian maka petani maka  bercocok tanam di lahannya. Oleh karena itu ayat ini menganjurkan setiap individu muslim untuk aktif bekerja dan memproduktifkan segala aspek yang berguna untuk kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini menghidupkan lahan yang kosong sangat dianjurkan dalam Islam karena menghidupkan lahan-lahan tidur akan berdampak produktifitas masyarakat semakin meningkat. Secara isyarah al-nas, ayat ini menganjurkan untuk menghidupkan lahan kosong.

B.     Dasar Hukum Ihya’ Al-Mawat
Adapun landasan hukum menghidupkan lahan kosong atau ihya’ al-mawat yaitu mustahab, yang didasarkan pada hadis Nabi Saw yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah Swt. Dalam kitab Kifayatul Akhyar hukum menghidupkan lahan kosong adalah jaiz (boleh) dengan syarat orang yang menghidupkan lahan tersebut adalah Muslim dan tanah yang dihidupkan bukan lahan yang sudah dimiliki orang lain.

3
Hadits yang berkenaan dengan ihya’ al-mawat adalah
عن عائشة رضي الله عنها, ان النبي صلى الله عليه وسلم قال : من أعمر أرضا ليست لأ حد فهو احق. قال عروة : قضى به عمر رضي الله عنه فى خلا فته (رواه البخارى)                                          
Artinya :  Dari Aisyah r.a : Nabi SAW. pernah bersabda, “ orang yang mengolah lahan yang tidak dimiliki siapa pun lebih berhak untuk memilikinya. “Urwah berkata”, Umar r.a memberi keputusan demikian pada masa kekhalifahannya (H.R Bukhari)

عن جابر رضى الله, ان النبي صلى الله عليه وسلم, قال من أحياأرضا ميتة فهي له (رواه أحمد والترمذى)
Artinya:   Dari Jabir r.a, bahwasanya Nabi SAW. bersabda : Barang siapa yang mengolah lahan tanah mati maka tanah tersebut beralih menjadi miliknya (H.R. Ahmad dan At-Turmudzy)

وعن أسمر بن مضرس قال: أتيت النبي صلى الله عليه وسلم, فبا يعته, فقال "من سبق الى مالم يسبق اليه مسلم فهو له" قال : فخرج الناس يتعادون يطخاطون (رواه ابو داود)
Artinya:   Dari Asmar bin Mudarris berkata : saya datang menemui Nabi, dan membai’atkannya, Nabi bersabda : Barang siapa yang lebih dahulu melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh seseorang muslim yang lain sebelumnya, tanah tersebut menjadi miliknya, Asmar berkata : maka beberapa orang berlomba menuju lahan kosong untuk membuat patok menandai bahwa tanah itu miliknya (H.R. Abu Dawud)

beberapa hadis di atas menunjukkan kebolehan menghidupkan tanah mati yang tidak ada pemiliknya, dan tidak sedang dimanfaatkan orang lain. Dengan demikian siapapun boleh menghidupkannya dengan menyiram, mengolah, dan menanamnya, atau mendirikan bangunan di atasnya, atau membuat pagar di sekitar tanah tersebut. Hadis ini juga menjelaskan bahwa syara’ mendorong untuk menghidupkan lahan tidur karena manusia sangat membutuhkannya. Hal tersebut untuk pertanian, perindustrian, dan lapangan perekonomian lainnya.
Dari uraian di atas terlihat bahwa nas hanya menjelaskan sistem menghidupkan lahan tidur secara mutlak.

4
Penjelasan tersebut hanya terkait pada penekanan siapa yang menghidupkan lahan tidur maka ia memilikinya dengan syarat belum dimiliki orang lain dan penjelasan orang yang berhak terhadap sesuatu adalah orang yang lebih dahulu memilikinya. Dalam hadis tidak dijelaskan ciri-ciri tanah yang sudah dimiliki orang lain, hal-hal apa saja yang menunjukkan bahwa lahan itu lahan tidur yang boleh untuk dihidupkan, dan lain sebagainya. Hadis-hadis itu juga memotivasi umat Islam untuk menjadikan lahan kosong menjadikan lahan produktif, sehingga karunia yang diturunkan Allah swt dapat dimanfaatkan semaksimum mungkin untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu pada pelaksanaannya di lapangan sangat banyak dipengaruhi oleh hukum adat setempat.
Bahwasanya tidak ada bedanya seorang muslim dengan orang kafir dzimmi (kafir yang tunduk kepada pemerintahan Islam). Disamping karena harta yang telah diambil oleh kafir dzimmi, dari dasar lembah, semak belukar, serta puncak gunung itu memang bisa menjadi miliknya, di mana harta tersebut tidak boleh dicabut dari orang tersebut. Sebab, tanah mati yang dihidupkan saja boleh menjadi hak miliknya, apalagi yang lain. Ketentuan ini berlaku umum, mencakup semua bentuk tanah, baik tanah darul Islam, atau tanah darul kufur, hanya saja agar menjadi hak miliknya, tanah tersebut dibuka dan terus-menerus dihidupkan dengan baik agar dapat berproduksi. Bahwasanya kepemilikan hanyalah hak untuk mengembangkan tanah. Jika seseorang gagal mengembangkan tanah tersebut dalam jangka waktu tertentu, klaimnya atas tanah tersebut hilang dan lenyap. 

C.    Cara-cara Ihya’ Al-Mawat
Menurut Hafidz Abdullah dalam bukunya bahwa cara-cara menghidupkan tanah mati atau dapat juga disebut dengan memfungsikan tanah yang disia-siakan bermacam-macam. Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan masyarakat. Adapun cara ihya’ al-mawat adalah sebagai berikut[12]:
a)      Menyuburkan, cara ini digunakan untuk daerah yang gersang yakni daerah di mana tanaman tidak dapat tumbuh, maka tanah tersebut diberi pupuk, baik pupuk dari pabrik maupun pupuk kandang sehingga tanah itu dapat ditanami dan dapat mendatangkan hasil sesuai dengan yang diharapkan;
5
b) Menanam, cara ini dilakukan untuk didaerah-daerah yang subur, tetapi belum dijamah oleh tangan-tangan manusia, maka sebagai tanda tanah itu telah ada yang menguasai atau telah ada yang memiliki, maka ia ditanami dengan tanaman-tanaman, baik tanaman untuk makanan pokok mungkin juga ditanami pohon-pohon tertentu secara khusus, seperti pohon jati, karet, kelapa dan pohon-pohon lainnya.
c) Menggarisi atau membuat pagar, hal ini dilakukan untuk tanah kosong yang luas, sehingga tidak mungkin untuk dikuasai seluruhnya oleh orang yang menyuburkannya, maka dia harus membuat pagar atau garis batas tanah yang akan dikuasai olehnya.
d) Menggali parit, yaitu membuat parit di sekeliling kebun yang dikuasainya, dengan maksud supaya orang mengetahui bahwa tanah tersebut sudah ada yang mengusai dengan demikian menutup jalan bagi orang lain untuk menguasainya.

D.    Obyek Yang Berkaitan Dengan Ihya’ Al-Mawat
Adapun obyek yang berkaitan dengan ihya al-mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati, bukan tanah yang lain. Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab ia tidak termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun hanya mubah bagi imam. "Nothing is lawful to any person but what is permitted by the Imam.” Itulah yang kemudian disebut dengan sebutan tanah-tanah milik negara. Hal itu ditunjukkan oleh kasus Bilal Al-Muzni yang meminta sebidang tanah dengan cuma-cuma kepada Rasulullah SAW, di mana dia tidak bisa memilikinya hingga tanah tersebut diberikan oleh beliau kepadanya. Kalau seandainya dia bisa memiliki dengan cara menghidupkan dan memagarinya, karena dia telah memagarinya dengan suatu tanda yang bisa menunjukkan pemilikannya atas tanah tersebut, tentu tanah tersebut bisa dia miliki tanpa harus meminta Rasul SAW. agar memberikannya.



6
Tidak semua lahan kosong yang boleh dijadikan obyek ihya’ al-mawat. Menurut Ibn Qudamah, lahan yang akan dihidupkan itu ada dua jenis : pertama, lahan yang belum ada pemiliknya maka lahan seperti ini menjadi hak milik bagi orang yang menghidupkannya dan tidak memerlukan izin dari imam. Kedua, tanah yang ada pemiliknya tetapi tidak diketahui pemiliknya secara jelas mungkin sudah wafat dan lain sebagainya.

E.     Hukum-hukum Ihya’ Al-Mawat
Menurut Syekh Muhammad Ibn Qasyim al-Ghazzi, ihya’ al-mawat (menghidupkan bumi mati) hukumnya boleh dengan adanya dua syarat yaitu:
1.    Bahwa yang menghidupkan itu orang Islam, maka disunnahkan baginya menghidupkan bumi mati, meskipun Imam (pemuka) mengizinkan atau tidak.
2.    Bumi yang mati itu jelas (bebas) belum ada seorang Islam pun yang memilikinya dan menurut keterangan, bahwa bumi mati itu dalam status jelas merdeka.
            Hafidz Abdullah dalam bukunya kunci fiqih Syafi’i berpendapat barang siapa boleh memiliki harta benda, maka boleh pula untuk memiliki tanah kosong (mawat) dengan menghidupkannya. Tetapi orang kafir tidak boleh memiliki tanah kosong dengan jalan menghidupkannya di negara Islam, dan boleh memilikinya di negara musyrik. Semua tanah kosong yang tidak tampak padanya bekas-bekas pemilikan dan tidak tergantung dengan kemaslahatan umum, maka boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Dan tanah kosong yang tampak padanya bekas-bekas pemilikan, tetapi tidak diketahui siapa pemiliknya, jika ia berada di negeri Islam maka tidak boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Sedangkan kalau ia berada di negeri kafir, ada pendapat yang mengatakan boleh dan ada pula yang mengatakan tidak boleh.
Para ulama Fiqh menyatakan bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan kosong yang memenuhi syarat-syaratnya, maka akibat hukumnya adalah[18]:
a.      Pemilikan lahan itu.
Mayoritas ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa jika seseorang telah menggarap sebidang lahan kosong, maka ia berhak atas lahan itu sebagai pemilik lahan, Akan tetapi, Abu al-Qasim al-Balkhi pakar Fiqh Hanafi menyatakan:
7
 bahwa status orang yang menggarap sebidang lahan hanyalah status hak guna tanah, bukan hak milik. Ia menganalogikannya dengan seseorang yang duduk di atas tempat yang dibolehkan, maka ia hanya berhak memanfaatkannya bukan memiliknya.
b.      Hubungan pemerintah dengan lahan itu.
Menurut ulama Hanabilah, Syafi’iyah, dan Malikiyah pemerintah tidak boleh mengambil pajak dari hasil lahan itu, jika yang menggarapnya seorang muslim. Tetapi, apabila penggarap itu seorang kafir dzimmi, pemerintah boleh mengambil pajaknya sebesar 10%. Menurut Abu Yusuf, apabila yang menggarap lahan itu seorang muslim, maka pemerintah dapat memungut pajak sebesar 10% dari hasil lahan garapan itu.
c.       Seorang telah menggarap sebidang lahan
Apabila seseorang telah menggarap lahan maka ia berhak memanfaatkan lahan itu untuk menunjang lahan, seperti memanfaatkan lahan itu untuk disebelahnya untuk keperluan irigasi. Akan tetapi, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sebelum ia menggarap lahan itu hak memanfaatkan lahan sekelilingnya belum boleh.

F.     Syarat-syarat Ihya’ Al-Mawat
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup tiga hal, yaitu[19] : orang yang menggarap, lahan yang akan digarap, dan proses penggarapan.
a.                  Syarat yang terkait dengan orang yang menggarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah, haruslah seorang Muslim, karena kaum dzimmi tidak berhak menggarap lahan umat islam sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa, jika kaum dzimmi atau orang kafir menggarap lahan orang Islam itu berarti penguasaan terhadap hak milik orang Islam, sedangkan kaum dzimmi atau orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam, oleh sebab itu, jika orang kafir menggarap lahan kosong, lalu datang seorang muslim merampasnya, maka orang muslim boleh menggarap lahan itu dan menjadi miliknya.
8
 Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa orang kafir tidak boleh memiliki lahan yang ada di negara Islam.
Menurut Ulama’ Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa orang yang akan menggarap lahan itu tidak disyaratkan seorang muslim. Mereka menyatakan tidak ada bedanya antara orang muslim dan non-muslim dalam menggarap sebidang lahan yang kosong. Kemudian mereka (jumhur ulama) juga menyatakan bahwa ihya’ al-mawatmerupakan salah satu pemilikan lahan, oleh sebab itu tidak perlu dibedakan antara muslim dan non-muslim.
b.                  Syarat yang terkait dengan lahan yang akan digarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah lahan itu harus berada di wilayah islam, akan tetapi jumhur ulama’ berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara lahan yang ada di negara islam maupun bukan,  bukan lahan yang dimilki seseorang, baik muslim maupun dzimmi, bukan lahan yang dijadikan sarana penunjang bagi suatu perkampungan, seperti lapangan olah raga dan lapangan untuk mengembala ternak warga perkampungan, baik lahan itu dekat maupun jauh dari perkampungan.
c.                  Syarat yang terkait dengan penggarapan lahan 
Menurut Imam Abu Hanifah, harus mendapat izin dari pemrintah, apabila pemerintah tidak mengizinkannya, maka seseorang tidak boleh langsung menggarap lahan itu, menurut ulama Malikiyah, jika lahan itu dekat dengan pemukiman, maka menggarapnya harus mandapat izin dari pemerintah, dan jika lahan itu jauh dari pemukiman tidak perlu izin dari pemerintah, menurut ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani keduanya pakar fiqh Hanafi, menyatakan bahwa seluruh lahan yang menjadi objek ihya’ al-mawat jika digarap oleh seseorang tidak perlu mendapt izin dari pemerintah, karena harta seperti itu adalah harta  yang boleh dimilki setiap orang.


9
G.    Izin Penguasa Dalam Ihya’ al-Mawat
Mayoritas ulama berbeda pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan mengenai hal tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat, pembukaan tanah merupakan sebab pemilikan (tanah), akan tetapi disyaratkan juga mendapat izin dari penguasa dalam bentuk ketetapan sesuai aturan. Namun, muridnya Abu Yusuf menganjurkan bahwa, izin dari penguasa itu tidaklah penting. Abu Yusuf menjustifikasi pendapat gurunya untuk mencegah konflik antara dua pihak yang saling mengklaim. Dalam kondisi normal, di mana tidak ada kekhawatiran semacam itu, seseorang dapat memperoleh tanah yang telah dikembangkannya tanpa izin dari pihak penguasa. Karena motif di balik pemberian kepemilikan atas tanah mati adalah mengembangkan tanah kosong agar dapat ditanami, para fuqaha menjelaskan bahwa siapa saja yang menduduki sebidang tanah mati tanpa menanaminya, ia harus meninggalkan tanah tersebut. Sedangkan imam Malik membedakan antara tanah yang berdekatan dengan area perkampungan dan tanah yang jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan, maka diharuskan mendapat izin penguasa. Namun. Apabila, jauh dari perkampungan maka tidak disyaratkan izin penguasa. Tanah tersebut otomatis menjadi milik orang yang pertama membukanya.
Pada masa Rasulullah keizinan itu langsung didapatkan berdasarkan anjurannya siapa  yang membuka lahan kosong maka lahan itu menjadi miliknya. Rasulullah telah memubahkan kepada individu untuk memiliki tanah mati dengan cara menghidupkan dan memagarinya, sehingga hal itu merupakan sesuatu yang mubah. Oleh karena itu, untuk menghidupkan dan memagarinya tidak perlu izin dari imam (penguasa). Ajaran tersebut sudah menunjukkan adanya keizinan dari Rasulullah yang saat itu merupakan imam/pemimpin kaum muslimin.



10
Pada prinsipnya, kepemilikan asli tanah mati tetap menjadi milik negara, namun, bagi individu kepemilikannya terkait dengan pemakmurannya. Telah menjadi ketentuan umum para fuqaha bahwa seseorang yang menghidupkan tanah mati, dialah pemiliknya. Yahya meriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda: 
“Hak kepemilikan pertama atas tanah adalah hak Allah dan Nabi, kemudian hakmu. Akan tetapi, orang yang memakmurkan setiap tanah mati memperoleh hak untuk memilikinya.”
Ini menunjukkan bahwa tanah mati merupakan perhatian utama kebijakan keuangan Islam awal. Implikasinya adalah menjadikan tanah kosong cocok untuk ditanami yang membuat kepemilikan individu atas tanah tersebut. Abu Yusuf juga berpandangan, orang yang memakmurkan tanah mati, ia memperoleh hak kepemilikan atasnya dan dapat terus menanami atau membiarkannya untuk ditanami, menggali saluran di dalamnya atau  membangunnya untuk kepentingannya.
Dari uraian di atas jelaslah, bahwa sasaran utama pemberian izin kepada individu untuk memiliki tanah mati adalah untuk mendorong menanami dan membangun tanah mati. Pemanfaatan tanah yang tidak digunakan secara alamiah menguntungkan kas negara dari segi keuangan dengan menciptakan lebih banyak pendapatan melalui pajak tanah.
Di Indonesia kewenangan untuk membuka lahan tidur diberikan kepada setiap individu atau badan hukum selama pembukaan lahan tersebut mendapatkan izin dari penguasa setempat baik dari camat, bupati, atau gubernur ditingkat propinsi. Untuk tanah yang berukuran luas, maka harus mendapatkan izin langsung dari Badan pertanahan Nasional. Untuk lahan yang dibutuhkan masyarakat banyak dan kebutuhan masyarakat sangat tergantung pada lahan tersebut, maka dalam hukum Islam lahan seperti ini tidak boleh dihidupkan untuk dimiliki.
Hal yang sama juga dijumpai dalam UUPA yang menjelaskan bahwa tanah yang berfungsi sosial tidak  dapat dimiliki oleh siapa pun selama tanah itu masih difungsikan untuk kebutuhan sosial atau keagamaaan. Hukum Islam tidak mengenal kepemilikan tanah secara kolektif seperti yang terdapat dalam masyarakat adat yang disebut dengan hak ulayat.
11
 Kepemilikan tanah dalam Islam lebih cenderung bersifat individual. UUPA sebenarnya lebih cenderung mengarahkan kepemilikan tanah yang bersifat kolektif tersebut semakin dikurangi, oleh karena itulah pemerintah menganjurkan pemerintah lokal untuk tidak menghidup-hidupkan kembali kepemilikan tanah bersifat kolektif tersebut (tanah ulayat).
Untuk pembukaan lahan baru yang belum pernah dimiliki seseorang atau badan hukum, maka kewenangan untuk membuka lahan baru tersebut tidak bisa dilakukan begitu saja akan tetapi harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat yaitu kepada Gubernur untuk tingkat propinsi, Wali Kotamadya/Bupati untuk tingkat Kotamadya/Kabupaten, dan Camat Kepala Wilayah untuk tingkat kecamatan.





















12
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ihya’ al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum dimiliki seseorang untuk dijadikan lahan produktif, baik sebagai lahan pertanian maupun mendirikan bangunan.
-Dasar hukum ihya’ al-mawat didasarkan pada hadis Nabi SAW. yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.
-Cara-cara Ihya’ al-Mawat adalah sebagai berikut: menyuburkan, menanam, membuat pagar, dan menggali parit
-Obyek yang berkaitan dengan Ihya al-Mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati. Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab ia tidak termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun hanya mubah bagi imam.
 Menurut Syekh Muhammad Ibn Qasyim al-Ghazzi, ihya’ al-mawat  hukumnya boleh. Hafidz Abdullah berpendapat barang siapa boleh memiliki harta benda, maka boleh pula untuk memiliki tanah kosong (mawat) dengan menghidupkannya. Para ulama Fiqh menyatakan bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan kosong yang memenuhi syarat-syaratnya, maka akibat hukumnya mencakup pemilikan lahan itu, hubungan pemerintah dengan lahan itu, dan seorang telah menggarap sebidang lahan.
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup: orang yang menggarap, lahan yang akan digarap, dan proses penggarapan.

B.     Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna dan tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan dan kesalahan di sana- sini. Karena itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan karya-karya selanjutnya


13
DAFTAR PUSTAKA

Suhendi, Hendi. 2010. Fiqih Muamalah. PT. Grafindo Persada. Jakarta.
Abdullah, Hafidz. 1992. Kunci Fiqih Syafi’i.: CV. Asy Syifa. Semarang.
Efendi, Bachtiar. 1993. Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah. Bandung: Alumni.
http://taufiksimple.blogspot.co.id/2013/05/makalah-ihyaul-mawat.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar