KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Hukum Membuka Suatu
Lahan Baru Tanpa ada Kepemilikan(Ihya’ Al-Mawat)’’
Penulisan
makalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas
mata kuliah Hadis
Siyasah
Dalam
penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan Makalah ini,
khususnya kepada :
1. Bapak Yovenska selaku dosen pengampu
mata kuliah Hadis
Siyasah yang telah meluangkan waktu, tenaga dan
pkiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka
penyelesaian penyusunan makalah ini
2. Secara khusus penulis menyampaikan terima
kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta
pengertian yang besar kepada penulis.
3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu
persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya
penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang
telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai
ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Dalam
Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki
penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Bengkulu, 15 Desember 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ……………..………….i
B.
Rumusan masalah ………………………...i
C.
Tujuan Makalah ………………………...i
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ihya’ Al-Mawat …………..…………….1
B.
Dasar Hukum Ihya’
Al-Mawat ……………..………….3
C.
Cara-cara Ihya’
Al-Mawat …………………..…….5
D.
Obyek Yang
Berkaitan Dengan Ihya’ Al-Mawat …………………….…..6
E.
Hukum-hukum Ihya’
Al-Mawat …………..…………….7
F.
Syarat-syarat Ihya’
Al-Mawat …………..…………….8
G.
Izin Penguasa Dalam Ihya’
al-Mawat …………..…………….10
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan ……………………….13
B.
Saran ……………………….13
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ihya’ al-mawat adalah membuka lahan tanah mati dan
belum pernah ditanami sehingga tanah tersebut dapat memberikan manfaat untuk
tempat tinggal, bercocok tanam dan sebagainya.Islam menyukai manusia berkembang
dengan membangun berbagai perumahan dan menyebar di berbagai pelosok dunia,
menghidupkan (membuka) tanah-tanah tandus. Hal itu dapat menambah kekayaan dan
memenuhi kebutuhan hidup, sehingga tercapailah kemakmuran dan kekuatan
mereka.Bertolak dari hal tersebut, Islam menganjurkan pada penganutnya untuk
menggarap tanah yang gersang agar menjadi subur, sehingga menghasilkan kebaikan
dan keberkahan dengan mengelola tanah tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian
Ihya’ Al-Mawat?
2. Apa Dasar Hukum Ihya’ Al-Mawat?
3. Apa
Cara-cara Ihya’ Al-Mawat?
4. Apa
Obyek Yang Berkaitan Dengan Ihya’ Al-Mawat?
5. Apa
Hukum-hukum Ihya’ Al-Mawat?
6. Apa Syarat-syarat Ihya’
Al-Mawat?
7. Apa
Izin
Penguasa Dalam Ihya’ al-Mawat?
C.
Tujuan Makalah
1.
Mengetahui Pengertian Ihya’ Al-Mawat
2.
Mengetahui Dasar Hukum Ihya’ Al-Mawat
3.
Mengetahui Cara-cara Ihya’ Al-Mawat
4.
Mengetahui Obyek Yang Berkaitan Dengan Ihya’ Al-Mawat
5.
Mengetahui Hukum-hukum Ihya’ Al-Mawat
6.
Mengetahui Syarat-syarat Ihya’ Al-Mawat
7.
Mengetahui Izin
Penguasa Dalam Ihya’ al-Mawat
i
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ihya’ Al-Mawat
Kata ihya’
al-mawat terdiri dari dua kata yaitu ihya’ menghidupkan
dan al-mawat sesuatu yang mati, yang berarti ihya’
al-mawat menurut bahasa diartikan menghidupkan sesuatu yang mati. Menurut
Abu Bakar Ibn Khusen al-Kasynawi al-mawat itu adalah tanah yang
tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya. Al-Rafi’i
mendefinisikan al-mawat dengan tanah yang tidak ada pemiliknya dan
tidak ada yang memanfaatkannya seorangpun.
Menurut
Syekh Muhammad yang dimaksud dengan tanah mati ialah tanah yang tidak ada
pemiliknya dan belum ada seorang pun yang mengambil manfaat bumi
tersebut. Ibn Qudamah mendefinisikan al-mawat dengan
tanah rusak dan tidak diketahui siapa pemiliknya. Hasbullah Bakry
berpendapat ihya’ al-mawat yaitu tanah yang dihidupkan oleh
seseorang berarti menjadi milik orang yang menghidupkan tanah.
Sedangkan
menurut Syaikh Syihab al-Din Qalyubi wa Umairah, ihya’ al-mawat yaitu
menyuburkan tanah yang tidak subur. Menghidupkan tanah mati itu
artinya mengolah tanah, atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung
ditanami.Dengan kata lain,
menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkan tanah untuk keperluan apa pun,
sehingga bisa menghidupkannya yakni dengan adanya usaha seseorang untuk
menghidupkan tanah, berarti usaha orang tadi telah menjadikan tanah tersebut
miliknya.
Menurut
Sulaiman Rasjid ihya’ al-mawat adalah membuka tanah baru yakni
tanah yang belum dikerjakan oleh siapa pun, berarti tanah itu tidak dimiliki
oleh seorang atau tidak diketahui pemiliknya. Idris Ahmad
mendefinisikan ihya’ al-mawat dengan memanfaatkan tanah kosong
untuk dijadikan kebun sawah dan yang lainnya.
Secara
terminologi, ada beberapa pengertian yang dikemukakan para ulama’ fiqh
tentang ihya’ al-mawat :
1
1. Menurut Ulama’ Hanafiyah adalah
اصلاح الارض لايملكها ولاينفع بها احد وتعذر
زرعها لانقطاع الماء عنها من العامر
Artinya: Penggarapan
lahan yang belun dimiliki dan digarap orang lain karena ketiadaan irigasi
serta jauh dari pemukiman.
2. Menurut
ulama’ Malikiyah adalah:
ما سلم عن اختصاص باحياء (اى بسبب احياء ه بشيئ)
او بسبب كونه حريم عمارة كمحتطب او مرعى لبلد
Artinya: Tanah
atau lahan yang selamat dari pengelolahan (sebab mengelola lahan itu
dengan sesuatu), atau sebab adanya penghalang untuk mengelola lahan tersebut.
3.
Menurut ulama’ Syafi’iyah adalah:
اصلاح الارض ما لم يكون عامرا ولا حريما لعامر
قريب من العامراو بعد
Artinya: Penggarapan tanah
atau lahan yang belum digarap orang lain, dan lahan itu jauh dari
pemukiman maupun dekat.
4.
Menurut ulama’ Hanabilah adalah:
الارض التى ليس لها مالك ولابها ماء ولا عمارة
ولا ينفع بها
Aritnya: Lahan atau tanah
yang tidak ada pemiliknya, tidak ada airnya (gersang), tidak dikelola, serta
tidak dimanfaatkan oleh orang lain.
5.
Menurut al-rafi’i
ialah
الارض التى لامالك لها ولا ينتفع بها احد
Artinya: “Tanah
yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkanya seorangpun.”
6.
Menurut imam
al-Mawardi dalam kitab Al-Iqna al-Khatib,
هوالذى
لم يكن عامرا ولا حريما لعامر قرب من العامر او بعد
Artinya: “Tidak
ada yang menanami, tidak ada halangan yang menanami, baik dekat yang menanami
maupun jauh.”
2
Dari
pengertian di atas jika diperluas maknanya menunjukkan bahwa ihya’
al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum
dimiliki seseorang untuk dijadikan lahan produktif, baik sebagai lahan
pertanian maupun mendirikan bangunan, “pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa
yang menjadikan sebab seseorang bisa memiliki sebidang tanah, manakala tanah
itu kosong, belum diolah dan belum dimiliki seseorang”.
Al-qur’an
tidak memberikan penjelasan tentang ihya’ al-mawat secara
jelas dan rinci. Al- qur’an hanya mengungkapkan secara umum tentang keharusan
bertebaran di atas bumi untuk mencari karunia Allah sebagaimana terdapat dalam
surat al-Jumu’ah ayat 10.
Artinya: Apabila telah
ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Ayat
ini menganjurkan setiap muslim untuk bertebaran di atas bumi Allah mencari
nafkah setelah mereka menunaikan shalat. Ungkapan bertebaran di atas bumi
adalah berusaha sesuai dengan keahlian dan profesi masing-masing. Untuk
pertanian maka petani maka bercocok tanam di lahannya. Oleh karena
itu ayat ini menganjurkan setiap individu muslim untuk aktif bekerja dan
memproduktifkan segala aspek yang berguna untuk kebutuhan masyarakat. Dalam hal
ini menghidupkan lahan yang kosong sangat dianjurkan dalam Islam karena
menghidupkan lahan-lahan tidur akan berdampak produktifitas masyarakat semakin
meningkat. Secara isyarah al-nas, ayat ini menganjurkan untuk
menghidupkan lahan kosong.
B.
Dasar
Hukum Ihya’ Al-Mawat
Adapun
landasan hukum menghidupkan lahan kosong atau ihya’ al-mawat yaitu mustahab, yang
didasarkan pada hadis Nabi Saw yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur
akan mendapatkan pahala dari Allah Swt. Dalam kitab Kifayatul
Akhyar hukum menghidupkan lahan kosong adalah jaiz (boleh) dengan
syarat orang yang menghidupkan lahan tersebut adalah Muslim dan tanah yang
dihidupkan bukan lahan yang sudah dimiliki orang lain.
3
Hadits yang berkenaan
dengan ihya’ al-mawat adalah
عن عائشة رضي الله عنها,
ان النبي صلى الله عليه وسلم قال : من أعمر أرضا ليست لأ حد فهو احق. قال عروة :
قضى به عمر رضي الله عنه فى خلا فته (رواه البخارى)
Artinya : Dari
Aisyah r.a : Nabi SAW. pernah bersabda, “ orang yang mengolah lahan yang tidak
dimiliki siapa pun lebih berhak untuk memilikinya. “Urwah berkata”, Umar r.a memberi keputusan demikian pada masa
kekhalifahannya (H.R Bukhari)
عن جابر رضى الله, ان
النبي صلى الله عليه وسلم, قال من أحياأرضا ميتة فهي له (رواه أحمد والترمذى)
Artinya: Dari
Jabir r.a, bahwasanya Nabi SAW. bersabda : Barang siapa yang mengolah lahan
tanah mati maka tanah tersebut beralih menjadi miliknya (H.R. Ahmad dan
At-Turmudzy)
وعن
أسمر بن مضرس قال: أتيت النبي صلى الله عليه وسلم, فبا يعته, فقال "من سبق الى
مالم يسبق اليه مسلم فهو له" قال : فخرج الناس يتعادون يطخاطون (رواه ابو
داود)
Artinya: Dari
Asmar bin Mudarris berkata : saya datang menemui Nabi, dan membai’atkannya,
Nabi bersabda : Barang siapa yang lebih dahulu melakukan sesuatu yang tidak
dilakukan oleh seseorang muslim yang lain sebelumnya, tanah tersebut menjadi
miliknya, Asmar berkata : maka beberapa orang berlomba menuju lahan kosong
untuk membuat patok menandai bahwa tanah itu miliknya (H.R. Abu Dawud)
beberapa
hadis di atas menunjukkan kebolehan menghidupkan tanah mati yang tidak ada
pemiliknya, dan tidak sedang dimanfaatkan orang lain. Dengan demikian siapapun
boleh menghidupkannya dengan menyiram, mengolah, dan menanamnya, atau
mendirikan bangunan di atasnya, atau membuat pagar di sekitar tanah tersebut.
Hadis ini juga menjelaskan bahwa syara’ mendorong untuk menghidupkan lahan
tidur karena manusia sangat membutuhkannya. Hal tersebut untuk pertanian,
perindustrian, dan lapangan perekonomian lainnya.
Dari
uraian di atas terlihat bahwa nas hanya menjelaskan sistem menghidupkan lahan
tidur secara mutlak.
4
Penjelasan
tersebut hanya terkait pada penekanan siapa yang menghidupkan lahan tidur maka
ia memilikinya dengan syarat belum dimiliki orang lain dan penjelasan orang
yang berhak terhadap sesuatu adalah orang yang lebih dahulu memilikinya. Dalam
hadis tidak dijelaskan ciri-ciri tanah yang sudah dimiliki orang lain, hal-hal
apa saja yang menunjukkan bahwa lahan itu lahan tidur yang boleh untuk
dihidupkan, dan lain sebagainya. Hadis-hadis itu juga memotivasi umat Islam
untuk menjadikan lahan kosong menjadikan lahan produktif, sehingga karunia yang
diturunkan Allah swt dapat dimanfaatkan semaksimum mungkin untuk kepentingan
dan kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu pada pelaksanaannya di
lapangan sangat banyak dipengaruhi oleh hukum adat setempat.
Bahwasanya
tidak ada bedanya seorang muslim dengan orang kafir dzimmi (kafir yang tunduk
kepada pemerintahan Islam). Disamping karena harta yang telah diambil oleh
kafir dzimmi, dari dasar lembah, semak belukar, serta puncak gunung itu memang
bisa menjadi miliknya, di mana harta tersebut tidak boleh dicabut dari orang
tersebut. Sebab, tanah mati yang dihidupkan saja boleh menjadi hak miliknya,
apalagi yang lain. Ketentuan ini berlaku umum, mencakup semua bentuk tanah,
baik tanah darul Islam, atau tanah darul kufur, hanya saja agar menjadi hak
miliknya, tanah tersebut dibuka dan terus-menerus dihidupkan dengan baik agar
dapat berproduksi. Bahwasanya kepemilikan hanyalah hak untuk mengembangkan
tanah. Jika seseorang gagal mengembangkan tanah tersebut dalam jangka waktu
tertentu, klaimnya atas tanah tersebut hilang dan lenyap.
C.
Cara-cara Ihya’
Al-Mawat
Menurut
Hafidz Abdullah dalam bukunya bahwa cara-cara menghidupkan tanah mati atau
dapat juga disebut dengan memfungsikan tanah yang disia-siakan bermacam-macam.
Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan masyarakat. Adapun
cara ihya’ al-mawat adalah sebagai berikut[12]:
a)
Menyuburkan, cara ini digunakan untuk daerah
yang gersang yakni daerah di mana tanaman tidak dapat tumbuh, maka tanah
tersebut diberi pupuk, baik pupuk dari pabrik maupun pupuk kandang sehingga
tanah itu dapat ditanami dan dapat mendatangkan hasil sesuai dengan yang
diharapkan;
5
b) Menanam, cara ini dilakukan untuk
didaerah-daerah yang subur, tetapi belum dijamah oleh tangan-tangan manusia,
maka sebagai tanda tanah itu telah ada yang menguasai atau telah ada yang
memiliki, maka ia ditanami dengan tanaman-tanaman, baik tanaman untuk makanan
pokok mungkin juga ditanami pohon-pohon tertentu secara khusus, seperti pohon
jati, karet, kelapa dan pohon-pohon lainnya.
c) Menggarisi atau membuat pagar, hal ini
dilakukan untuk tanah kosong yang luas, sehingga tidak mungkin untuk dikuasai
seluruhnya oleh orang yang menyuburkannya, maka dia harus membuat pagar atau
garis batas tanah yang akan dikuasai olehnya.
d) Menggali parit, yaitu membuat parit di sekeliling kebun yang
dikuasainya, dengan maksud supaya orang mengetahui bahwa tanah tersebut sudah
ada yang mengusai dengan demikian menutup jalan bagi orang lain untuk
menguasainya.
D.
Obyek Yang
Berkaitan Dengan Ihya’ Al-Mawat
Adapun
obyek yang berkaitan dengan ihya al-mawat ialah hanya berlaku
untuk tanah mati, bukan tanah yang lain. Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati,
tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh
imam (khalifah), sebab ia tidak termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang,
namun hanya mubah bagi imam. "Nothing is lawful to any person but
what is permitted by the Imam.” Itulah yang kemudian disebut dengan
sebutan tanah-tanah milik negara. Hal itu ditunjukkan oleh kasus Bilal Al-Muzni
yang meminta sebidang tanah dengan cuma-cuma kepada Rasulullah SAW, di mana dia
tidak bisa memilikinya hingga tanah tersebut diberikan oleh beliau kepadanya.
Kalau seandainya dia bisa memiliki dengan cara menghidupkan dan memagarinya,
karena dia telah memagarinya dengan suatu tanda yang bisa menunjukkan
pemilikannya atas tanah tersebut, tentu tanah tersebut bisa dia miliki tanpa
harus meminta Rasul SAW. agar memberikannya.
6
Tidak
semua lahan kosong yang boleh dijadikan obyek ihya’ al-mawat.
Menurut Ibn Qudamah, lahan yang akan dihidupkan itu ada dua jenis : pertama,
lahan yang belum ada pemiliknya maka lahan seperti ini menjadi hak milik bagi
orang yang menghidupkannya dan tidak memerlukan izin dari imam. Kedua, tanah
yang ada pemiliknya tetapi tidak diketahui pemiliknya secara jelas mungkin sudah
wafat dan lain sebagainya.
E.
Hukum-hukum Ihya’
Al-Mawat
Menurut
Syekh Muhammad Ibn Qasyim al-Ghazzi, ihya’ al-mawat (menghidupkan
bumi mati) hukumnya boleh dengan adanya dua syarat yaitu:
1. Bahwa yang
menghidupkan itu orang Islam, maka disunnahkan baginya menghidupkan bumi mati,
meskipun Imam (pemuka) mengizinkan atau tidak.
2. Bumi yang mati itu jelas (bebas) belum ada seorang Islam pun yang
memilikinya dan menurut keterangan, bahwa bumi mati itu dalam status jelas
merdeka.
Hafidz Abdullah dalam bukunya kunci fiqih Syafi’i berpendapat barang siapa
boleh memiliki harta benda, maka boleh pula untuk memiliki tanah kosong (mawat)
dengan menghidupkannya. Tetapi orang kafir tidak boleh memiliki tanah kosong
dengan jalan menghidupkannya di negara Islam, dan boleh memilikinya di negara
musyrik. Semua tanah kosong yang tidak tampak padanya bekas-bekas pemilikan dan
tidak tergantung dengan kemaslahatan umum, maka boleh dimiliki dengan
menghidupkannya. Dan tanah kosong yang tampak padanya bekas-bekas pemilikan,
tetapi tidak diketahui siapa pemiliknya, jika ia berada di negeri Islam maka
tidak boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Sedangkan kalau ia berada di
negeri kafir, ada pendapat yang mengatakan boleh dan ada pula yang mengatakan
tidak boleh.
Para
ulama Fiqh menyatakan bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan kosong yang
memenuhi syarat-syaratnya, maka akibat hukumnya adalah[18]:
a. Pemilikan lahan itu.
Mayoritas
ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa jika seseorang telah menggarap sebidang
lahan kosong, maka ia berhak atas lahan itu sebagai pemilik lahan, Akan tetapi,
Abu al-Qasim al-Balkhi pakar Fiqh Hanafi menyatakan:
7
bahwa status orang
yang menggarap sebidang lahan hanyalah status hak guna tanah, bukan hak milik.
Ia menganalogikannya dengan seseorang yang duduk di atas tempat yang
dibolehkan, maka ia hanya berhak memanfaatkannya bukan memiliknya.
b.
Hubungan pemerintah dengan lahan itu.
Menurut ulama Hanabilah, Syafi’iyah,
dan Malikiyah pemerintah tidak boleh mengambil pajak dari hasil lahan itu, jika
yang menggarapnya seorang muslim. Tetapi, apabila penggarap itu seorang kafir
dzimmi, pemerintah boleh mengambil pajaknya sebesar 10%. Menurut Abu Yusuf, apabila
yang menggarap lahan itu seorang muslim, maka pemerintah dapat memungut pajak
sebesar 10% dari hasil lahan garapan itu.
c. Seorang telah menggarap sebidang lahan
Apabila seseorang telah menggarap
lahan maka ia berhak memanfaatkan lahan itu untuk menunjang lahan, seperti
memanfaatkan lahan itu untuk disebelahnya untuk keperluan irigasi. Akan tetapi,
para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sebelum ia menggarap lahan itu hak
memanfaatkan lahan sekelilingnya belum boleh.
F.
Syarat-syarat Ihya’
Al-Mawat
Para ulama
fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup
tiga hal, yaitu[19] :
orang yang menggarap, lahan yang akan digarap, dan proses penggarapan.
a.
Syarat yang terkait dengan orang yang menggarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah, haruslah
seorang Muslim, karena kaum dzimmi tidak berhak menggarap lahan umat islam
sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa, jika kaum dzimmi atau orang kafir
menggarap lahan orang Islam itu berarti penguasaan terhadap hak milik orang
Islam, sedangkan kaum dzimmi atau orang kafir tidak boleh menguasai orang
Islam, oleh sebab itu, jika orang kafir menggarap lahan kosong, lalu datang seorang
muslim merampasnya, maka orang muslim boleh menggarap lahan itu dan menjadi
miliknya.
8
Ulama’ Syafi’iyah
berpendapat bahwa orang kafir tidak boleh memiliki lahan yang ada di negara
Islam.
Menurut Ulama’ Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah
menyatakan bahwa orang yang akan menggarap lahan itu tidak disyaratkan seorang
muslim. Mereka menyatakan tidak ada bedanya antara orang muslim dan
non-muslim dalam menggarap sebidang lahan yang kosong. Kemudian mereka (jumhur
ulama) juga menyatakan bahwa ihya’ al-mawatmerupakan salah satu
pemilikan lahan, oleh sebab itu tidak perlu dibedakan antara muslim dan
non-muslim.
b.
Syarat yang terkait dengan lahan yang akan digarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah lahan itu
harus berada di wilayah islam, akan tetapi jumhur ulama’ berpendapat bahwa
tidak ada bedanya antara lahan yang ada di negara islam maupun bukan,
bukan lahan yang dimilki seseorang, baik muslim maupun dzimmi, bukan lahan yang
dijadikan sarana penunjang bagi suatu perkampungan, seperti lapangan olah raga
dan lapangan untuk mengembala ternak warga perkampungan, baik lahan itu dekat
maupun jauh dari perkampungan.
c.
Syarat yang terkait dengan penggarapan lahan
Menurut Imam Abu Hanifah, harus
mendapat izin dari pemrintah, apabila pemerintah tidak mengizinkannya, maka
seseorang tidak boleh langsung menggarap lahan itu, menurut ulama Malikiyah,
jika lahan itu dekat dengan pemukiman, maka menggarapnya harus mandapat izin
dari pemerintah, dan jika lahan itu jauh dari pemukiman tidak perlu izin dari
pemerintah, menurut ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Abu Yusuf, Muhammad bin
Al-Hasan Asy-Syaibani keduanya pakar fiqh Hanafi, menyatakan bahwa seluruh
lahan yang menjadi objek ihya’ al-mawat jika digarap oleh
seseorang tidak perlu mendapt izin dari pemerintah, karena harta seperti itu adalah
harta yang boleh dimilki setiap orang.
9
G.
Izin Penguasa Dalam Ihya’
al-Mawat
Mayoritas
ulama berbeda pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah
tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah)
baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah.
Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi
persengketaan mengenai hal tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat, pembukaan
tanah merupakan sebab pemilikan (tanah), akan tetapi disyaratkan juga mendapat
izin dari penguasa dalam bentuk ketetapan sesuai aturan. Namun, muridnya Abu
Yusuf menganjurkan bahwa, izin dari penguasa itu tidaklah penting. Abu Yusuf
menjustifikasi pendapat gurunya untuk mencegah konflik antara dua pihak yang
saling mengklaim. Dalam kondisi normal, di mana tidak ada kekhawatiran semacam
itu, seseorang dapat memperoleh tanah yang telah dikembangkannya tanpa izin
dari pihak penguasa. Karena motif di balik pemberian kepemilikan atas tanah mati
adalah mengembangkan tanah kosong agar dapat ditanami, para fuqaha menjelaskan
bahwa siapa saja yang menduduki sebidang tanah mati tanpa menanaminya, ia harus
meninggalkan tanah tersebut. Sedangkan imam Malik membedakan antara tanah yang
berdekatan dengan area perkampungan dan tanah yang jauh darinya. Apabila tanah
tersebut berdekatan, maka diharuskan mendapat izin penguasa. Namun. Apabila,
jauh dari perkampungan maka tidak disyaratkan izin penguasa. Tanah tersebut
otomatis menjadi milik orang yang pertama membukanya.
Pada masa
Rasulullah keizinan itu langsung didapatkan berdasarkan anjurannya siapa
yang membuka lahan kosong maka lahan itu menjadi miliknya. Rasulullah telah
memubahkan kepada individu untuk memiliki tanah mati dengan cara menghidupkan
dan memagarinya, sehingga hal itu merupakan sesuatu yang mubah. Oleh karena
itu, untuk menghidupkan dan memagarinya tidak perlu izin dari imam (penguasa).
Ajaran tersebut sudah menunjukkan adanya keizinan dari Rasulullah yang saat itu
merupakan imam/pemimpin kaum muslimin.
10
Pada
prinsipnya, kepemilikan asli tanah mati tetap menjadi milik negara, namun, bagi
individu kepemilikannya terkait dengan pemakmurannya. Telah menjadi ketentuan
umum para fuqaha bahwa seseorang yang menghidupkan tanah mati, dialah pemiliknya.
Yahya meriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda:
“Hak
kepemilikan pertama atas tanah adalah hak Allah dan Nabi, kemudian hakmu. Akan
tetapi, orang yang memakmurkan setiap tanah mati memperoleh hak untuk
memilikinya.”
. Ini menunjukkan bahwa tanah mati
merupakan perhatian utama kebijakan keuangan Islam awal. Implikasinya adalah
menjadikan tanah kosong cocok untuk ditanami yang membuat kepemilikan individu
atas tanah tersebut. Abu Yusuf juga berpandangan, orang yang memakmurkan tanah
mati, ia memperoleh hak kepemilikan atasnya dan dapat terus menanami atau
membiarkannya untuk ditanami, menggali saluran di dalamnya atau
membangunnya untuk kepentingannya.
Dari
uraian di atas jelaslah, bahwa sasaran utama pemberian izin kepada individu
untuk memiliki tanah mati adalah untuk mendorong menanami dan membangun tanah
mati. Pemanfaatan tanah yang tidak digunakan secara alamiah menguntungkan kas
negara dari segi keuangan dengan menciptakan lebih banyak pendapatan melalui
pajak tanah.
Di
Indonesia kewenangan untuk membuka lahan tidur diberikan kepada setiap individu
atau badan hukum selama pembukaan lahan tersebut mendapatkan izin dari penguasa
setempat baik dari camat, bupati, atau gubernur ditingkat propinsi. Untuk tanah
yang berukuran luas, maka harus mendapatkan izin langsung dari Badan pertanahan
Nasional. Untuk lahan yang dibutuhkan masyarakat banyak dan kebutuhan
masyarakat sangat tergantung pada lahan tersebut, maka dalam hukum Islam lahan
seperti ini tidak boleh dihidupkan untuk dimiliki.
Hal yang
sama juga dijumpai dalam UUPA yang menjelaskan bahwa tanah yang berfungsi
sosial tidak dapat dimiliki oleh siapa pun selama tanah itu masih
difungsikan untuk kebutuhan sosial atau keagamaaan. Hukum Islam tidak mengenal
kepemilikan tanah secara kolektif seperti yang terdapat dalam masyarakat adat
yang disebut dengan hak ulayat.
11
Kepemilikan tanah dalam Islam lebih cenderung
bersifat individual. UUPA sebenarnya lebih cenderung mengarahkan kepemilikan
tanah yang bersifat kolektif tersebut semakin dikurangi, oleh karena itulah
pemerintah menganjurkan pemerintah lokal untuk tidak menghidup-hidupkan kembali
kepemilikan tanah bersifat kolektif tersebut (tanah ulayat).
Untuk
pembukaan lahan baru yang belum pernah dimiliki seseorang atau badan hukum,
maka kewenangan untuk membuka lahan baru tersebut tidak bisa dilakukan begitu
saja akan tetapi harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat yaitu kepada
Gubernur untuk tingkat propinsi, Wali Kotamadya/Bupati untuk tingkat
Kotamadya/Kabupaten, dan Camat Kepala Wilayah untuk tingkat kecamatan.
12
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Ihya’
al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum
dimiliki seseorang untuk dijadikan lahan produktif, baik sebagai lahan
pertanian maupun mendirikan bangunan.
-Dasar hukum ihya’
al-mawat didasarkan pada hadis Nabi SAW. yang mengatakan bahwa
menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.
-Cara-cara Ihya’
al-Mawat adalah sebagai berikut: menyuburkan, menanam, membuat pagar,
dan menggali parit
-Obyek yang berkaitan
dengan Ihya al-Mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati.
Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah
tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab ia tidak
termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun hanya mubah bagi imam.
Menurut
Syekh Muhammad Ibn Qasyim al-Ghazzi, ihya’ al-mawat hukumnya
boleh. Hafidz Abdullah berpendapat barang siapa boleh memiliki harta benda,
maka boleh pula untuk memiliki tanah kosong (mawat) dengan menghidupkannya.
Para ulama Fiqh menyatakan bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan kosong
yang memenuhi syarat-syaratnya, maka akibat hukumnya mencakup pemilikan lahan
itu, hubungan pemerintah dengan lahan itu, dan seorang telah menggarap sebidang
lahan.
Para ulama fiqh
sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup:
orang yang menggarap, lahan yang akan digarap, dan proses penggarapan.
B. Saran
Kami
menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna dan
tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan dan kesalahan di sana- sini. Karena
itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan karya-karya
selanjutnya
13
DAFTAR
PUSTAKA
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqih Muamalah. PT. Grafindo
Persada. Jakarta.
Abdullah, Hafidz. 1992. Kunci
Fiqih Syafi’i.: CV. Asy Syifa. Semarang.
Efendi, Bachtiar. 1993. Kumpulan
Tulisan Tentang Hukum Tanah. Bandung: Alumni.
http://taufiksimple.blogspot.co.id/2013/05/makalah-ihyaul-mawat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar