BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam kehidupan sehari- hari kita
selalu melakukan kegiatan- kegiatan yang tidak lepas dari peranan syari’at atau
hukum- hukum seperti shalat, puasa, jual beli dan lain sebagainya. Semua itu
membutuhkan hukum agar kita tidak salah arah dalam landasan agama. Untuk
mengetahui hukum - hukum syariat agama, para ulama telah berjihad untuk
mengetahui hukum yang telah dijelaskan didalam Al- Qur’an dan hadist agar jelas
dan tidak subhat. Dalam era sekarang, banyak kita jumpai hal- hal yang pada
zaman rasul tidak terjadi, untuk mengetahui bagaimanya hukumnya hal tersebut,
maka dibutuhkan kesepakatan para ulama ( ijma’), maka dalam makalah ini akan
dibahas tentang pengertian ijma’, macam- macam ijma’, kedudukan ijma’ dalam hukum
islam, dan disertai pula contoh ijma’dan Syarat ijma’.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan sebelumnya, maka terdapat beberapa permasalahan pokok dalam penulisan
makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana Pengertian Ijma’ dan Macam- Macamnya?
2. Bagaimana Kedudukan Ijma’ dalam Hukum Islam?
3. Bagaimana Contoh- Contoh Kasus Hukum yang
Didasari Ijma’ dan syarat-syarat ijma’?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka terdapat beberapa tujuan
penulisan:
1.
Untuk
mengetahui pengertian Ijma’ dan macam- macamnya.
2.
Untuk
mengetahui kedudukan ijma’ dalam hukum islam.
3.
Untuk
mengetahui contoh- contoh kasus hukum yang didasari ijma’ dan syarat- syarat
ijma’.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijma’ dan Macam- Macamnya
Arti Ijma’
menurut bahasa adalah sepakat, setuju, atau sependapat dan definisi Ijma’
menurut bahasa terbagi dalam dua arti:
1. Bermaksud atau berniat, sebagaimana firman Allah dalam
Al-Quran surat Yunus ayat 71
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ
نَبَأَ نُوحٍ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ
مَقَامِي وَتَذْكِيرِي بِآيَاتِ اللَّهِ فَعَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا
أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ
اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُونِ
Artinya:Dan
bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada
kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan
peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku
bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah)
sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu
dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi
tangguh kepadaku.[1]
Maksudnya, semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya
harus mengikuti jalan beliau tempu. Dan hadis Rasulullah SAW. Yang artiny, “barang
siapa yang belum berniat untuk berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.[2]
2. Kesepakatan terhadap, sesuatu. kaum dikatakan telah
berijma bila mereka sepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam
Al-Quran surat Yusuf ayat 15, yang menerangkan keadaan saudara-saudara a.s.:
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا
أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ
لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَٰذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
Artinya:
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu
mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada
Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka
ini, sedang mereka tiada ingat lagi."[3]
yakni mereka bersepakat terhadap
perencana tersebut adapun perbedaan antara kedua arti diatas adalah: yang
pertama bisa dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua
hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang
bersepakat dengan dirinya.[4]
Sedangkan
menurut istilah para ahli ushul fiqih dirumuskan sebagai berikut :
اجماع هو
اتّاق مجتهدين فى عصر من العصور وفاة الرسول الى حكم شرعىّ فى الواقعة
“ Ijma’
ialah kesepakatan ( konsensus ) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu
stelah wafatnya rosul terhadap suatu hukum syara’ untuk suatu peristiwa
Dari pengertian ijma’ sebagaimana disebutkan diatas, dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a.
Kesepakatan adalah kesamaan pendapat atau kebulatan pendapat para mujtahid
pada suatu masa baik secara lisan maupun tertulis atau dengan beramal sesuai dengan
hukum yang disepakati itu.
b.
Seluruh mujtahid berarti masing – masing mujtahid menyatakan
kesepakatannya. Jika ada seorang saja yang tidak menyetujuinya maka tidaklah
terjadi ijma’. Dan apabila pada suatu masa hanya ada seorang mujtahuid saja,
maka tidak terjadi ijma’, sebab tidak terjadi kesepakatan.
c.
Ijma’ hanya terjadi pada
masalah yang berhubungan dengan syara’ dan harus berdasarkan pada Al – Qur’an
dan Hadits mutawwatir, tidak sah jika didasarkan pada yang
lainnya.[6]
Dari definisi diatas
pengertian Ijma’ itu sendiri adalah kesepakatan antara para ulama-ulama atau
mujtahid untuk membahas suatu masalah didalam kehidupan dalam
masalah-masalah sosial yang tidak ada didalam Al-quran dan as-sunnah.
Ijma’ dilihat dari segi caranya ada dua macam, yaitu sebagai berikut :
1.Ijma’ Qauli = Ijma’ Qath’i
Ijma’ yang
qoth’i dalalahnya atas hukum ( yang dihasilkan),yaitu ijma shorikh, dengan
artian bahwa hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan mengeluarkan hukum
lain yang bertentangan. Tidak pula diperkenankan mengadakan ijtihad mengenai
suatu kejadian setelah terjadinya Ijma Shorikh atas hukum syara’ mengenai
kejadian itu.[7]
2.Ijma’ Sukuti = Ijma’ Zanni
Yaitu ijma’
dimana para mujathid berdiam diri tanpa mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid
lain. Dan diamnya itu bukan karena malu atau takut. Sebab diam atau tidak
memberi tanggapan itu dipandang telah menyetujui terhadap hukum yang sudah
ditetapkan. Hal ini sesuai dengan pendapat ulama ushul fiqh yang menyatakan :
“ diam ketika suatu penjelasan
diperlukan, dianggap sebagai penjelasan”. [8]
Sedang dari segi waktu dan
tempat ijma’ ada beberapa macam antara lain sebagai berikut :
1.Ijma’ Sahaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah
pada masa tertentu.
2. Ijma’ Ahli Madinah, yaitu persesuaian paham ulama – ulama madinah
terhadap sesuatu urusan hukum.
3. Ijma’ Ulama Kuffah,
yaitu kesepakatan ulam – ulama kuffah dalam suatu
masalah.
4. Ijma’ Khulafaur
Rasyidin, yaitu :
اتفاق الخلفء
الاربعة على امر من الامور الشّرعّة
“Persesuaian
paham khalifah yang empat terhadap sesuatu soal yang diambil dalam satu masa
atas suatu hukum.”[9]
5. Ijma’ Ahlul Bait ( Keluarga Nabi ), yaitu kesepakatan keluarga Nabi dalam
suatu masalah.
B. Kedudukan Ijma’ dalam
Pembinaan Hukum Islam
Jumhur ulama’
berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau dalil hukum
sesudah Al-Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang
mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam
Al-Qur’an maupun sunnah.[10]
Ulama ushul
fiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu
hukum dan menjadi sumber hukum islam yang qathi. Jika sudah terjadi ijma (
kesepakatan ) diantara para mujtahid terhadap ketetapan hukum suatu masalah
atau peristiwa, maka umat islam wajib menaati dan mengamalkannya.
Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qathi’sebagai
sumber hukum Islam adalah sebagai berikut :
a. Firman Allah SWT :
يا
ايهاالذذين امنو اطيعواللّه واطيعواالرّسول واولى الامر منكم (النساء
Artinya :“ wahai orang – orang beriman, taatilah Allah dan taatilah
rasul ( Muhammad ) dan Ulil amri ( Pemegang kejuasaan ) diantara kamu.” ( Q.S.
an – Nisa’ 59 )
Maksud Ulil ‘Amri itu ada dua
penafsiran yaitu Ulil ‘Amri Fiddunnya adalah penguasa dan Ulil ‘Amri fiddin
adalah mujtahid atau para ulama’, sehingga dari ayat ini berarti juga
memerintahkan untuk taat kepada para ulama mengenai suatu keputusan hukum yang
disepakati mereka.
b. Hadist RasulullahSAW
انّ
امذتي لا تجمع على ضلالة ( رواه ابن حاجه )
Artinya :” Sesungguhnya umatKu tidak akan bersepakat atas kesesatan.”
مارءاه
المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya : “ apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut
pandangan Allah juga baik.[11]
Dalam hadist
ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat yang sama – sama
sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma’ itu terpelihara
dari kesalahan, sehingga putusannya merupakan hukum yang mengikat umat islam.
Pandangan ulama’ mengenai Ijma’
sukuti :
Imam Syafi’i dan kalangan
Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum,
dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid belum tentu menandakan setuju,
bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan menentang pendapat mujtahid yang
punya pendapat karena dianggap senior.
Hanafiyah dan Hanabilah Ijma’
sukuti syah jika digunakan sebagai landasan hukum, karena diamnya mujtahid
dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya
keliru mereka harus tegas menentangnya. Jika tidak menentang dengan tegas,
berarti mereka setuju.
Hanafiyah dan Malikiyah
mengatakan jika diamnya sebagian ulama’ mujtahid tidak dapat dikatakan telah
terjadi ijma’. Dan pendapat ini dianggap lebih kuat daripada pendapat
perorangan.[12]
C. Contoh- Contoh Hukum yang Didasari Ijma’
a. Pengangkatan Abu Bakar As- Shiddiq sebagai khalifah menggantikan Rasulullah SAW.
b. Pembukuan Al- Qur’an yang dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar r.a.
c. Menentukan awal bulan ramdhan dan bulan syawal..
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam
Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita
melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin,
apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal.[13]
Bukti komplit diatas bahwa contoh
hukum Ijma’ yaitu didalam pengangkatan Abu Bakar as yaitu mengantikan
Rasulullah SAW, menjadi Khalifa untuk menetapkan dasar-dasar hukum
sesudah Nabi Muhammad.
D.
Syarat Ijma’
Jumhur Ulama
ushul fiqh, mengemukakan pula syarat-syarat ijma’, yaitu:
a.Yang melakukan ijma’ tersebut adalah
orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
b. Kesepakatan itu muncul dari para
mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya).
c.Para mujtahid yang terlibat adalah
yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.
Ketiga
syarat ini disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh. Ada juga syarat lain,
tetapi tidak disepakati para ulama, diantaranya:
a. Para mujtahid
itu adalah sahabat.
b. Mujtahid itu kerabat Rasulullah,
apabila memenuhi dua syarat ini, para ulama ushul fiqh menyebutnya dengan ijma’
shahabat.
c. Mujtahid itu adalah ulama
Madinah.
d. Hukum yang disepakati itu tidak
ada yang membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid yang menyepakatinya.
Tidak terdapat hukum ijma’ sebelumnya
yang berkaitan dengan masalah yang sama.[14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan
bahwapengertian Ijma’ itu sendiri adalah kesepakatan antara para ulama-ulama
atau mujtahid untuk membahas suatu masalah didalam kehidupan dalam
masalah-masalah sosial yang tidak ada didalam Al-quran dan as-sunnah.
Kedudukan
Ijma’ itu menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan Sunnah. Dan Ijma’dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi
umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunnah.
Syarat-syarat Ijma’ itu harus memenuhi
persyaratan ijtihad dan Kesepakatan dalam suatu masalah untuk menyelesaikannya
harus muncul pendapat-pendapat dari para mujtahid-mujtahid yang
bersifat adil dan paham agama dan Para mujtahid itu harus berusaha dan
menghindari dari perbuatan-perbuatan bid’ah.
Dari keterangan diatas dapat juga di
pahami bahwa ijma harus menyandar kepada dalil yang ada yaitu kitab, sunah,
atau yang mempunyai kaitan kepadanya baik langsung maupun tidak dan tidak
mungkin terlepas sama sekali dari kaitan tersebut.
Dari beberapa macam Ijma’dapat kami simpulkan bahwa dari semua macam Ijma’ itu yang pertama Ijma’ qoth’i , Ijma’ Sukuti, Ijma’Sahaby,Ijma’
Ahli Madinah, Ijma’ Ulama Kuffah, Ijma’ Khulafaur Rasyidin.
B. Saran
Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak kesalahan
dan kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian dalam makalah ini, maka
dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki penyusunan
makalah selanjutnya. Kepada Dosen pengajar ( Bapak Drs. H. Henderi
Kusmidi, M. H. I ) diharapkan bimbingan lebih untuk mengingatkan mutu dan
kwalitas mahasiswa PAI pada khususnya didalam mengembangkan ilmutafsir demi
terwujudnya hubungan mahasiswa dengan masyarakat. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
CATATAN KAKI
[1]Departemen
Agama, Al-Quran Terjemah Asbabun Nuzul, ( Surakarta: PT. Indiva Media
Kreasi, 2011). Hlm, 217
[7]Abdul Wahhab
Khallaf, kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2000), Hlm. 73
[14]Nasrun
Haroen, Ushul Fiqh. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997). Hlm.53-54Makalah Ushul Fiqh Oleh: Tri Nopika (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden
Fatah Palembang
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya lah
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat
serta salam tak lupa juga kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
karena beliaulah yang telah menghantarkan kita dari zaman jahiliyah menuju
zaman yang penuh berkah. Adapun judul makalah kami “ IJMA’ ”.
Kami sangat berharap semoga dengan adanya makalah ini,
kami dapat memberikan sedikit gambaran dan memperluas wawasan ilmu yang kami
miliki dan dapat bermanfaat bagi pembaca . Kami ucapkan terima kasih kepada
Dosen Pembimbing Bapak Drs.
H. HENDERI KUSMIDI, M. H. I selaku Dosen Pengampu mata kuliah USHUL FIQH, yang telah memberikan ilmu
dan arahan pada tugas makalah ini. Dan tanpa bimbingan beliau mungkin tugas ini
tidak dapat terselesaikan dengan tepat.
Tentunya masih banyak kesalahan pada tugas makalah ini
yang mungkin tidak kami sadari, oleh karena itu kritik dan saran bagi pembaca
sangat kami harapkan guna perbaikan tugas makalah- makalah selanjutnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bengkulu, 14 Oktober 2017
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. 2003. UshulFiqh.Jakarta: PustakaFirdaus.
Efendi, Satria. 2005. UshulFiqh. Jakarta: Fajar Interpratama Offset.
Jumant Haroen,Nasrun.
1997. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Jumantoro, Totok. 2005.KamusIlmuUshulFiqh. Jakarta: BumiAksara.
Suratno, dkk. 2011. ModulSiap Un Kemenag. Semarang: Dina utama.
Syafe’I Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Amir, Syarifuddin.2009.UshulFiqh.Jakarta: Fajar Interpratama.
Wahhab Abdul Khalaf. 2000. Kaidah- KaidahHukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar