BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada seluruh umat
manusia melalui nabi Muhammad Saw. untuk menjadi petunjuk dalam menjalani
kehidupan ini. al-Qur’an berisi ayat-ayat yang arti etimologisnya “tanda-tanda”
dalam bentuk bahasa Arab[1]mengandung
berbagai aspek kehidupan manusia dan tidak hanya terbatas pada aspek keagamaan
semata.
Allah memberikan amanah kepada langit tapi langit tidak mampu
mengembannya kemudian diberikan kepada bumi dan gunung ternyata semuanya tidak
mampu memikul amanah tersebut. Namun, hanya manusia yang berani menerima amanah
itu. Amanah pada kenyataannya tidak semudah yang dipikirkan karena dengan
adanya amanah berarti ada pembebanan atau tuntutan bagi yang bersangkutan untuk
merealisasikan. Kajian dalam makalah ini berusaha mengungkapkan makna amanah
dan hal-hal yang terkait dengan amanah meliputi objek amanah, bentuk-bentuk
serta pandangan atau sikap al-Qur’an terhadap amanah.
Berbagai metode digunakan dalam mengungkap makna dan maksud dari
term-term amanah baik dalam bentuk fi’il atau isim . Dari situlah akan muncul
sebuah pemahaman yang komprehensif tentang amanah ditinjau dari berbagai sudut
pandang sehingga akan mengantarkan pada sikap untuk menjaga dan menghargai
semua amanah, karena dalam hadis disebutkan bahwa,[2]لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَه “Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak melaksanakan
amanah”. Oleh karena itu, mengkaji makna amanah dan aspeknya dalam al-Qur’an
sangatlah penting. Selain sebagai wawasan keagamaan juga sebagai bentuk
pengembangan kajian akademis.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, dapat dibuat
rumusan masalah sebagai berikut:
- Apa sebenarnya pengertian amanah dalam al-Qur’an ?
- Apa saja sifat amanah dalam al-Qur’an ?
- Bagaimana Sikap al-Qur’an terhadap Amanah ?
- Bagaimana konsep Amanah dalam Al-Qur’an ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Amanah
Amanah salah satu bahasa Indonesia yang telah disadur dari bahasa
Arab. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata yang menunjuk makna kepercayaan
menggunakan dua kata, yaitu amanah atau amanat. Amanah memiliki beberapa arti,
antara lain 1) pesan yang dititipkan kepada orang lain untuk disampaikan. 2)
keamanan: ketenteraman. 3) kepercayaan.[3]Sedangkan
amanat diartikan sebagai 1) sesuatu yang dipercayakan atau dititipkan kepada
orang lain. 2) pesan. 3) nasihat yang baik dan berguna dari orang tua-tua;
petuah. 4) perintah (dari atas). 5) wejangan (dari seorang pemimpin). Sedangkan
dalam bahasa Arab, kata amanah diambil dari akar kata alif, mim dan nun yang
memiliki dua makna: 1) lawan kata khianat yaitu ketenangan dan ketenteraman
hati, 2) al-tasdiq yaitu pembenaran.Ibrahim dkk., mengatakan bahwa amanah dapat
diartikan sebagai penetapan janji dan titipan.
Abu al-Baqa’ al-Kafumi mengatakan bahwa amanah adalah segala
kewajiban yang dibebankan kepada seorang hamba, seperti shalat, zakat, puasa,
bayar hutang dan segala kewajiban yang lain. Muhamamd Rasyid Ridha
mengatakan bahwa amanah adalah kepercayaan yang diamanatkan kepada orang lain
sehingga muncul ketenangan hati tanpa kekhawatiran sama sekali.Fakhr al-Din
al-Razi berpendapat bahwa amanah adalah ungkapan tentang suatu hak yang wajib
ditunaikan kepada orang lain.
Abu Hayyan al-Andalusi mengatakan bahwa secara kasat mata, amanah adalah
segala bentuk kepercayaan yang diberikan kepada seseorang, baik dalam bentuk
perintah maupun larangan, baik terkait urusan duniawi maupun urusan ukhrawi.
Sehingga semua syariat Allah adalah amanah.[4] Al-Qurtubi
berpendapat bahwa amanah adalah segala sesuatu yang dipikul/ditanggung manusia,
baik sesuatu terkait dengan urusan agama maupun urusan dunia, baik terkait
dengan perbuatan maupun dengan perkataan di mana puncak amanah adalah penjagaan
dan pelaksanaannya.Dalam al-Qur’an lafaz yang mengarah pada makna amanah atau
kepercayaan berulang sebanyak 20 kali yang kesemuanya dalam bentuk isim,
kecuali satu lafaz dalam bentuk fi’il yaitu اؤتمن dalam QS. Al-Baqoroh : 283. Namun
untuk mengetahui subtansi amanah, maka perlu dilihat dari tiga aspek yaitu:
subjek, objek dan predikat atau subtansi.
Subtansi
amanah adalah kepercayaan yang diberikan orang lain terhadapnya sehingga
menimbulkan ketenangan jiwa. Hal tersebut dapat terlihat dalam QS. al-Baqarah:
283:
فَإِنْ
أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
artinya: “Jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.
Jika dilihat
dari sisi subjeknya (pemberi amanah), maka amanah bisa datang dari Allah swt.
sebagaimana yang dipaparkan dalam QS. al-Ahzab: 72:
إِنَّا
عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ
يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ
ظَلُومًا جَهُولا.
Artinya:
“Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.
Dan kadang
amanah tersebut datang dari manusia itu sendiri, sebagaimana yang tertera dalam
QS. al-Baqarah: 283:
فَإِنْ
أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ
اللَّهَ رَبَّهُ.
Artinya: “Jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.
Sedangkan jika dilihat dari objeknya
(orang yang melakasanakan amanah), maka amanah diberikan kepada malaikat, jin,
manusia, baik para nabi maupun bukan nabi sebagaimana penjelasan selanjutnya.
Berangkat dari ketiga unsur tersebut dan penafsiran para ulama tafsir, dapat
dipahami bahwa amanah adalah kepercayaan yang diberikan oleh Allah swt, atau
makhluk lain untuk dilaksanakan oleh orang yang diberi amanah yang meliputi
malaikat, jin dan manusia, atau bahkan alam semesta.
Dengan demikian, amanah yang datang
dari Allah swt. terkait dengan segala bentuk perintah dan larangan yang
dibebankan kepada manusia. Sedangkan amanah dari manusia terkait dengan segala
bentuk kepercayaan, baik dalam bentuk harta benda, jabatan dan rahasia. Dari
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa amanah adalah amal saleh yang paling
agung, namun sangat berat dilaksanakan, sehingga wajar kemudian jika langit,
bumi dan gunung enggan menerima amanah dari Allah SWT. bahkan manusia yang
berani menerima amanah dan tidak mampu melaksanakannya dianggap sebagai zalum
jahul (penganiaya dan bodoh).
Oleh karena
itu, amanah harus diberikan kepada orang yang ahli dalam bidangnya agar tidak
menimbulkan kekacauan yang digambarkan sebagai kiamat dalam hadis nabi.
إِذَا ضُيِّعَتِ
الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ
اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ
السَّاعَةَ
Artinya: “Jika amanah telah
disia-siakan maka tunggulah kiamat, sahabat bertanya, bagaimana penyia-nyian
amanah wahai Rasulullah saw.? Rasulullah menjawab, jika suatu urusan diserahkan
bukan kepada ahlinya”.
Lebih jauh dari itu, Nabi Muh}ammad
saw. tidak mau memberikan amanah kepada Abu Zarr al-Gifari ketika meminta
jabatan, bahkan Nabi saw. mengatakan bahwa engkau terlalu lemah untuk posisi
tersebut.
عَنْ أَبِي ذَرِّ
قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلْنِي؟ قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ
عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ (يَا أَبَا ذَرِّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا
أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ
أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا).
Artinya: “Dari Abu Zarr berkata,
saya berkata kepada Rasulullah saw. wahai Rasul, hendaklah engkau memberiku
jabatan? Rasulullah saw. kemudian menepuk punggungnya seraya berkata, wahai Abu
Zarr, sesungguhnya engkau itu lemah dan sungguh jabatan itu adalah amanah dan
jabatan itu pada hari kiamat hanyalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi
orang yang mengambilnya secara benar dan melaksanakannya dengan
sebaik-baiknya”.
B.
Sifat Amanah dalam Al-qur’an dan Al-hadist
Sifat amanah adalah sifat para nabi dan rasul yang Allah pikulkan
tanggungjawab dalam menyampaikan risalah-Nya. Selain itu amanah juga adalah
sifat-sifat para malaikat yang mengerjakan kebaikan, dan dari kalangan mereka
adalah Jibril alaihissalam yang menurunkan Al-Quran ke atas Nabi Muhammad
shallahualaihiwasallam.Demikian juga sifat amanah itu adalah dari sifat-sifat
para hamba Allah Ta’ala yang beriman daripada kalangan jin dan manusia.
1. Sifat Amanah Nabi dan Rasul ALLAH S.W.T
Dalam al-Qur’an, makhluk yang paling sering disifati dengan amanah
adalah para nabi dan rasul, sehingga dalam kitab-kitab ilmu kalam, para nabi
dan rasul memiliki empat sifat yang wajib bagi mereka, seperti al-tablig
menyampaikan risalah kepada umatnya, al-fatanah/memiliki kecerdasan atau
intelegensia yang tinggi, al-sidq/memiliki kejujuran dan al-amanah/dapat
dipercaya atau memiliki integritas yang tinggi. Dengan demikian, sering
ditemukan dalam beberapa ayat, para rasul menyipati dirinya sebagai al-amin.
Nabi
Nuh misalnya ketika mengajak kaumnya untuk takut kepada siksaan Allah SWT. atas
kesyirikan yang mereka lakukan, namun kaum Nuh itu tetap mendustakan dia dan
rasul-rasul sebelumnya, sehingga nabi Nuh mengatakan kepada kaumnya:
أَلا
تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
Artinya: “Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah
seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. al-Syu’ara’: 106-107).
Nabi Nuh mengatakan hal tersebut di atas, sebagai bentuk
keheranannya atas kesyirikan yang mereka lakukan padahal sudah dilarang olehnya
dan dia termasuk orang yang dikenal terpercaya dan tidak pernah dicurigai oleh
kaumnya.
Senada dengan Nabi Nuh, Nabi Hud juga mengajak kaumnya agar
mengenal Allah swt. dan taat kepada-Nya dengan melakukan hal-hal yang dapat
mendekatkan diri kepada-Nya dan menjauhkan dari siksaan-Nya, namun mereka tetap
inkar dan mendustakan Nabi Hud dengan mengatakan seperti apa yang dikatakan
oleh Nabi Nuh.
أَلا
تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
Artinya: “Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah
seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. al-Syu’ara’: 124-125).
Bahkan pada ayat yang lain, Nabi Hud disebutkan sebagai pemberi
nasehat yang dapat dipercaya, ketika kaumnya menolak ajakannya untuk menyembah
Allah swt. dan takut kepada-Nya, akan tetapi kaumnya kemudian mengejeknya
dengan menuduhnya sebagai orang bodoh dan pendusta, lalu Nabi Hud menyanggah
ejekan itu dengan mengatakan:
يَا قَوْمِ لَيْسَ
بِي سَفَاهَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ. أُبَلِّغُكُمْ
رِسَالَاتِ رَبِّي وَأَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ.
Artinya: “Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun,
tetapi Aku Ini adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan
amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan Aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya
bagimu” (QS. al-A‘raf: 67-68).
Menurut al-Razi, maksud dari ungkapan naasih amin dalam ayat tersebut
sebagai 1) Sanggahan terhadap ungkapan kaumnya 2) وِإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ الكاذبين, Pokok pembicaraan tentang risalah dan tablig adalah
amanah, sehingga ungkapan tersebut sebagai penguat terhadap risalah dan
kenabian, 3) penjelasan tentang integritas Nabi Hud sebelum menjadi rasul
sebagai seorang yang dikenal amanah oleh kaumnya. Oleh karena itu tidak
seharusnya kaumnya menganggapnya sebagai pembohong atau orang bodoh.
Hal yang sama dilakukan oleh Nabi Salih, Nabi lut dan Nabi Syu’aib
dengan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Nabi Nuh dan Nabi Hud, yaitu:
أَلا
تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
Artinya: “Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah
seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu”.
Di samping nabi-nabi yang telah disebutkan di atas, nabi yang juga
disifati sebagai al-amin adalah Nabi Musa as., bahkan Nabi Musa disebutkan dua
kali sebagai al-amin dalam al-Qur’an, yaitu pada QS. al-Dukhan: 18.
وَلَقَدْ
فَتَنَّا قَبْلَهُمْ قَوْمَ فِرْعَوْنَ وَجَاءَهُمْ رَسُولٌ كَرِيمٌ. أَنْ أَدُّوا
إِلَيَّ عِبَادَ اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
Artinya: “Sesungguhnya sebelum mereka Telah kami uji kaum Fir’aun
dan Telah datang kepada mereka seorang Rasul yang mulia. (dengan berkata):
“Serahkanlah kepadaku hamba-hamba Allah (Bani Israil yang kamu perbudak).
Sesungguhnya Aku adalah utusan (Allah) yang dipercaya kepadamu”.
Kata rasul al-amin dalam ayat tersebut sebagai dasar ajakan Nabi
Musa terhadap kaumnya agar beribadah kepada Allah swt. pengakuan Nabi Musa as.
diperkuat oleh mukjizat yang dimilikinya.
2.
Malaikat
Di antara
makhluk yang menjadi objek amanah adalah malaikat. Malaikat terkadang disifati
sebagai al-amin oleh Allah swt., khususnya Jibril pembawa wahyu kepada para
nabi.
وَإِنَّهُ
لَتَنزيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ. نزلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ. عَلَى قَلْبِكَ
لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ.
Artinya:“Dan Sesungguhnya Al Quran Ini benar-benar diturunkan
oleh Tuhan semesta Alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril). Ke
dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang
yang memberi peringatan” (QS. al-Syu’ara’: 192-194).
Menurut Ibn ‘Asyur, yang dimaksud dengan al-ruh al-amin dalam ayat
tersebut adalah Jibril as. Menurutnya, Jibril as. dinamakan al-ruh} karena
malaikat berasal dari alam ruhaniyah, sedangkan al-amin diberikan sebagai
kepercayaan Allah swt. terhadap Jibril untuk menyampaikan wahyu-Nya.
Lain halnya dengan al-Sya’rawi, menurutnya Jibril as. disebut
al-ruh karena dengan ruh seseorang akan hidup dan para malaikat itu hidup meskipun
tidak memiliki jasad. Sedangkan al-amin diberikan kepadanya karena dia
terpelihara di sisi Allah swt., terpelihara di sisi al-Qur’an dan terpelihara
di sisi Nabi saw.
Dengan demikian, mayoritas ulama tafsir mengatakan bahwa yang
dimaksud al-ruh al-amin dalam ayat tersebut adalah Jibril as.karena hal itu
diperkuat oleh ayat lain dalam QS. al-Baqarah: 97 yang menyebutkan nama Jibril
as.
قُلْ
مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ
اللَّهِ…
Artinya: “Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka
Jibril itu Telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin
Allah”.( QS. al Baqarah: 97)
Ayat tersebut di atas dan ayat sebelumnya menjelaskan beberapa
sifat mulya malaikat Jibril as. di antaranya karim/mulya karena diberikan tugas
yang paling mulya yaitu menyampaikan wahyu kepada para nabi, zi quwwah/memiliki
kekuatan dalam menjaga dan dijauhkan dari kelupaan dan kesalahan, zi al-‘arsy
makin/mempunyai posisi yang tinggi di sisi Allah swt. karena dia diberi apa
yang dimintanya, muta’in/yang ditaati di alam malaikat karena pendapatnya
menjadi rujukan para malaikat, amin/dipercaya membawakan wahyu dan risalah
Allah swt. terhadap para nabi-Nya. [5]
Dari kedua ayat tersebut, diketahui bahwa amanah bukan saja diberikan
kepada manusia, akan tetapi amanah juga dapat disematkan kepada para malaikat,
khususnya malaikat Jibril as. selaku penghubung Allah swt. dengan para
nabi-Nya.
3.
Jin
Jin
meskipun sering dikonotasikan sebagai makhluk durhaka, akan tetapi dalam
al-Qur’an sebagian jin ada yang beriman kepada Allah swt. bahkan ‘Ifrit dari
golongan jin yang hidup pada masa nabi Sulaiman berkenan membantu nabi Sulaiman
dengan berusaha memindahkan singgasana ratu Balqis, sebagaimana dalam QS.
al-Naml: 39:
قَالَ عِفْريتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا آَتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ
مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ.
Artinya: “Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan
datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari
tempat dudukmu; Sesungguhnya Aku benar-benar Kuat untuk membawanya lagi dapat
dipercaya”.(Q.S al-Naml: 39)
Ayat tersebut menegaskan tentang kemampuan ‘Ifrit memindahkan
singgasana ratu Balqis pada saat itu dalam waktu singkat. ‘Ifrit juga menjamin
bahwa dia dapat dipercaya dalam melaksanakan tugas tersebut.
Al-Mawardi dalam tafsirnya menjalaskan bahwa yang dimaksud dengan
al-amin dalam ayat tersebut ada tiga pendapat, yaitu: 1) dia dapat dipercaya
menjaga permata dan berlian yang terdapat dalam istana tersebut, 2) dia dapat
dipercaya mendatangkan istana tersebut dan tidak menggantinya dengan istana
lain, 3) dia dapat dipercaya menjaga kehormatan ratu balqis.
Namun mayoritas ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
al-amin dalam ayat tersebut adalah jaminan kepercayaan yang diberikan oleh
‘Ifrit untuk membawa istana seperti sedia kala tanpa ada perubahan, pengurangan
atau penambahan, khususnya yang terkait dengan isi singgasana.
4.
Manusia
Dalam al-Qur’an, manusia satu-satunya makhluk yang dicela karena
menerima amanah dari Allah swt. pada saat makhluk lain menolaknya ketika
ditawarkan kepadanya.
إِنَّا عَرَضْنَا
الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ
يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا
جَهُولًا.
Artinya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.(Q.S al-Ahzab-72)
Al-Biqa’i ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa yang
dimaksud al-insan adalah mayoritas manusia, bukan setiap individu manusia. Oleh
karena itu, manusia yang khianat terhadap amanah jauh lebih banyak dari pada
yang memegang amanah, karena nafsu manusia pada dasarnya penuh dengan
kekurangan dan keinginan. Oleh sebab itu, Allah swt. menyifati manusia dengan
zalum jahul agar manusia tidak sekedar melihat sifatnya yang al-ins, jinak dan
ramah, al-‘isyq/keinginan yang kuat, al-‘aql/akal fikiran dan al-fahm/pemahaman
sehingga seakan tidak memiliki kekurangan.
C.
Sikap Al-Qur’an terhadap Amanah
Untuk melihat seberapa penting amanah dalam kehidupan sehari-hari,
maka penting menjelaskan sikap al-Qur’an terhadap amanah. Sikap al-Qur’an
ketika menjelaskan ayat-ayat amanah dapat dikelompokkan dalam dua kelompok,
yaitu:
1.
Perintah
Menjaga amanah
Banyak dijumpai
dalam al-Qur’an, ayat-ayat yang menyuruh melaksanakan amanah dengan
sebaik-baiknya. Dalam QS. al-Nisa’: 58:
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا….
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya”.(Q.S al-Nisa: 58
Meskipun ayat tersebut turun dalam masalah ‘Usman ibn Talhah al-Hujubi
tentang kunci Ka’bah yang diminta oleh al-‘Abbas agar dia yang memegangnya,
kemudian Allah swt, menurunkan ayat tersebut sebagai perintah agar memberikan
amanah kepada orang yang berhak. Namun menurut Wahbah al-Zuhaili, ayat tersebut
tetap berlaku bagi setiap orang agar melaksanakan amanah yang menjadi
tanggungannya, baik kepada khalayak maupun kepada individu tertentu.[6]
Pada ayat lain, meskipun tidak menggunakan fi’il amr/perintah
secara langsung seperti pada ayat di atas, akan tetapi tetap mengandung
perintah untuk melaksanakan amanah karena menggunakan fi’il mudari’ yang
disertai lam amr, seperti dalam QS. al-Baqarah: 283.
فَإِنْ
أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
Artinya: “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.(
QS. al-Baqarah: 283)
Dalam ayat yang lain, al-Qur’an datang dengan menggunakan jumlah
ismiyah, agar mengandung makna bahwa penjagaan terhadap amanah tidak terikat
dengan waktu, akan tetapi amanah merupakan sifat orang-orang yang beriman,
seperti dalam QS. al-Mu’minun: 8
وَالَّذِينَ
هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ.
Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya.(Q.S al-Mu’minun:8)
Oleh karena itu, dalam beberapa hadis Rasulullah saw. dijelaskan
bahwa salah satu karakter orang munafik adalah tidak amanah.
آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا
اؤْتُمِنَ خَانَ.
Artinya: “Tanda-tanda orang munafik ada tiga. Jika dia berbicara
maka dia berdusta, jika dia berjanji maka dia ingkari dan jika dia dipercaya
dia berkhianat”.
Bahkan lebih dari itu, Rasulullah saw. pernah mengungkapkan bahwa
orang yang tidak memegang amanah berarti dia tergolong orang yang tidak
beriman.
لاَ
إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ ، وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ.
Artinya: “Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak mempunyai/
melaksanakan amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak melaksanakan
janjinya”.
Dari ketiga ayat di atas dengan berbagai redaksi yang digunakan
dalam berbagai bentuk menunjukkan bahwa amanah adalah tanggungjawab yang sangat
besar yang harus dilaksanakan oleh siapapun yang diberi amanah.
2.
Larangan
Mengkhianati Amanah
Sebagai konsekwensi dari kewajiban melaksanakan amanah, maka sudah
barang tentu mengkhianati amanah merupakan hal yang dilarang oleh agama. Salah
satu ayat yang menjelaskan tentang larangan mengkhianati amanah antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat
yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui” (QS. al-Anfal: 27).
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa khianat terhadap amanah sama dengan
khianat kepada Allah dan Rasulullah saw. Dengan demikian, diketahui betapa
besar posisi amanah di sisi Allah swt. karena khianat terhadap amanah
disejajarkan dengan khianat kepada Allah swt. dan rasul-Nya.
D.
Konsep dan Implementasi Amanah dalam Al- Qur’an dan al-Hadits
1.
Amanah
dalam Arti Tanggung Jawab Personal Manusia kepada Allah SWT
Alasan penolakan alam (bumi, langit dan sebagainya) terhadap amanah
(QS.Al-Ahzab: 72) adalah karena mereka tidak memiliki potensi kebebasan seperti
manusia. Padahal untuk menjalankan amanah diperlukan kebebasan yang diiringi
dengan tanggung jawab. Olehsebabitu, apapun yang dilakukan bumi, langit, gunung
terhadap manusia, walaupun sampai menimbulkan korban jiwa dan harta benda,
tetap saja “benda-benda alam” itu tidak dapat diminta pertanggung jawabannya
oleh Allah. Berbeda dengan manusia. Apapun yang dilakukannya tetap dituntut
pertanggung jawaban. Manusia adalah khalifah fi al-ardh, oleh karena itu
manusia memiliki beban (tugas) untuk memakmurkan bumi (was ta’marakum al-ardh).
Sebuah tugas yang mahaberat, karena menuntut kesungguhan dan keseriusan kita
dalam menjalankannya. Bahkan tugas ini jauh lebih berat dari melaksanakan
ibadah. Secara sederhana dapat dikatakan sebagai seorang muslim, hidup tidak
sekedar menjalankan ibadah mahdzoh saja, lalu kita merasa nyaman. Hidup
sesungguhnya adalah sebuah perjuangan untuk menegakkan kebaikan. Jadi perbedaan
manusia dari makhluk lain adalah karena manusia telah diberi potensi kebebasan
dan akal, sehingga dengan potensi itu manusia mampu mengenal Rabbnya sendiri,
mampu menemukan petunjuk sendiri, beramal sendiri, dan mencapai Rabbnya
sendiri. Semua yang dilakukan manusia adalah pilihannya sendiri, dengan
mempergunakan semua potensi dalam dirinya, sehingga manusia akan memikul akibat
dari pilihannya itu, dan balasan untuknya sesuai denganamalnya.
2.
Amanah
dalam Arti Tanggung Jawab Sosial Manusia kepada Sesama
Dalam pandangan Islam setiap orang adalah pemimpin, baik itu
pemimpin bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat maupun yang lainnya. Sebab,
manusia adalah makhluk sosial dan mempunyai tanggung jawab sosial pula. Tentu saja
semua itu akan dimintai pertanggung jawaban. Rasulullah SAW bersabda:
كلكم راع و كلكم مسؤول عن رعيته (رواه مسلم(
Artinya: ”Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap
pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.” (H.R.
Muslim).
Fenomena yang terjadi saat ini adalah seringkali amanah dijadikan
sebuah komoditi untuk meraih kekuasaan atau materi (dunia). Sehingga saat ini
banyak sekali orang yang meminta amanah kepemimpinan dan jabatan, padahal belum
tentu orang tersebut mempunyai kapabilitas untuk menjalankan amanah itu.
Rasulullah mengancam akan hancurnya sebuah bangsa.
قال عليه
الصلاة و السلام : إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة ، قال أبو هريرة : كيف إضاعتها
يا رسول الله ؟ قال : إذا أسند (الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة (رواه البخاري
Artinya: “Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya.
Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan
diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”.
(H.R. Bukhari).
Amanah menempati posisi ‘strategis’ dalam syariat Islam.Rasulullah
saw sendiri mendapat gelar Al Amin (yang bisa dipercaya). Amanah menjadi salah
satu pembeda kaum muslim dengan kaum munafik. Sebagaimana sabda Rasulullah dari
Abu Hurairah:
آية
المنافق ثلاث :- إذا حدث كذب ، وإذا أوعد أخلف ، وإذا أؤتمن خان (متفق عليه(
Artinya: “Tanda-tanda munafik itu ada tiga: apabila bicara, dia
dusta; apabila berjanji, dia ingkari; dan apabila dipercaya (amanah), dia
berkhianat”. (Hadist Sohihain).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memperingatkan umat
Islam agar tidak sembarangan memberikan amanah (kepercayaan) dalam hadits yang
artinya: Barang siapa yang mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan) karena
semata-mata hubungan kekerabatan dan kedekatan, sementara masih ada orang yang
lebih tepat dan ahli dari padanya, maka sesungguhnya dia telah melakukan
pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman”. (H.R.
al-Hakim).
Dengan demikian, meminta jabatan (amanah) sebagai pemimpin
merupakan perbuatan yang dicela. Amanah akan menjadi penyesalan di akhirat
kelak. Betapa tidak, jika seorang yang mendapat amanah tidak menjalankan dengan
baik, mengingkari janjinya dan menipu saudaranya maka ia diharamkan masuk
surga. Rasulullah mengancam pemimpin yang menghianati dan menyelewengkan amanah
yang telah di bebankan kepadanya dengan ancaman berat.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat
dibuat beberapa poin-poin penting sebagai kesimpulan sebagai berikut:
1.
Amanah
adalah kepercayaan yang diberikan oleh Allah swt. atau makhluk lain untuk
dilaksanakan oleh orang yang diberi amanah, baik dari kalangan malaikat, jin
dan manusia, atau bahkan alam semesta. Namun karena amanah sangat berat
dilaksanakan dan dijaga sehingga harus diberikan kepada orang yang profesional
di bidang tersebut.
2.
Amanah
dilihat dari segi objek yang mendapatkan amanah, dapat diklasifikasi dalam
beberapa bagian, yaitu amanah bagi para nabi dan hal tersebut yang paling
banyak disebutkan dalam al-Qur’an karena amanah merupakan sifat wajib bagi para
rasul, amanah bagi malaikat, khususnya pembawa wahyu yaitu Jibril as., amanah
bagi jin yang hidup pada masa Nabi Sulaiman, amanah bagi manusia secara umum
dalam melaksanakan hal-hal yang terkait dengan kewajiban kepada Allah swt.,
sesama manusia dan kepada dirinya sendiri, bahkan ada amanah yang diberikan
kepada wilayah/kampung yaitu kota Mekah.
3.
Amanah
juga dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu amanah dalam bentuk pekerjaan
yang mencakup semua bentuk pekerjaan yang dipercayakan kepada seseorang, baik
dari Allah swt. maupun dari sesama manusia. Dan amanah dalam bentuk hukum yang
sebenarnya juga merupakan pekerjaan, akan tetapi khusus disebutkan karena
menjadi asas pemerintahan yang Islami.
DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jamMaqayis
al-Lugah, Juz.I (Beirut: Dar al-Fikr, t.th)
Abu Hayyan Muhammad ibn Yusuf al-Andalusia, al-Bahr al-Muhit,
Juz. VII (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1413 H./1993 M.)
Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Juz. XXX
(Cet. I; Mesir: Mustafa al- al-Halibi wa Auladih, 1365 H./1946 M.)
Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal, Musnad Ahmad ibn
Hambal, Juz. III (Cet. I; Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1419 H./1998 M.)
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008)
Wahbah ibn Mustafa al-Zuhaili, al-Tafsir
al-Wasit, Juz. I (Cet. I; Damsyiq: Dar al-Fikr, 1422 H.)
KATA PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah
ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas
dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir
kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.
Bengkulu, Oktober 2017
Catatan kaki
[1]
Abu al-Husain
Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jamMaqayis al-Lugah, Juz.I (Beirut:
Dar al-Fikr, t.th), h. 169
[2]
Abu ‘Abdillah
Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal, Musnad Ahmad ibn Hambal, Juz. III (Cet. I;
Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1419 H./1998 M.), h. 135
[3]
Tim Penyusun
Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 48.
[4]
Abu Hayyan
Muhammad ibn Yusuf al-Andalusia, al-Bahr al-Muhit}, Juz. VII (Cet. I; Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1413 H./1993 M.), h. 243.
[5]
Ahmad
Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Juz. XXX (Cet. I; Mesir:
Mus}t}afa> al-Ba>bi> al-Halibi wa Auladih, 1365 H./1946 M.), h. 59
[6] Wahbah ibn
Mustafa al-Zuhaili, al-Tafsir al-Wasit, Juz. I (Cet. I; Damsyiq: Dar
al-Fikr, 1422 H.), h. 334.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar