PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sehubungan dengan pelaksanaan hukum Syara’
ummat islam dibagi dalam tiga kelompok, yaitu orang yang memiliki ilmu dan
mampu berijtihad (mujtahid), orang yang mengikuti pendapat mujtahid tetapi
mengetahui hujjah mujtahid yang diikutinya (muttabi’), dan orang yang mengikuti
pendapat mujtahid tetapi tidak mengetahui hujjah mujtahid yang diikutinya.
(Muqallid).
Dalam hal ini terdapat permasalahan yaitu
apakah boleh seorng muslim mengikuti pendapat mujtahid atau tidak. Maka dari
itu makalah sedrhana ini mencoba untuk menguraikan tentang hal itu.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang diuraikan diatas
maka ada beberapa permasalahan yang akan di bahas dalm makalah ini, yaitu:
1. Apa Pengertian Taqlid?
2. Bagaimana Hukum Bertaqlid dan Ketentuan Dalam Bertaqlid?
3. Apa pengertian Mazhab?
4. Bagaimana beramal dengan fatwa seorang mufti?
5. Bagaimana mengikuti fatwa seorang mufti?
C .Tujuan
1. Mengetahui pengertian taqlid.
2. Mengetahui hukum bertaqlid dan ketentuan dalam bertaqlid.
3. Mengetahui pengertian mazhab.
4. Mengetahui Bagaimana beramal dengan
fatwa seorang mufti .
5. Mengetahui bagaimana mengikuti fatwa
sorang mufti.
PEMBAHASAN
A. TAQLID
Kata taqlid (ﺗﻗﻟﻴﺪ ) berasal dari fi’il madhi (kata dasar) ﺗﻗﻟﺪ dan ﻗﻟﺪ yang
secara lughawi berarti “mengalungkan” atau “menjadikan kalung”. Kata taqlid
mempunyai hubungan rapat dengan kata qaladah ( ﻗﻼﺪﺓ ),sedangkan qaladah itu sendiri berarti kalung. Menurut asalnya
digunakan untuk sesuatu yang diletakkan membelit leher seekor hewa;dan hewan
yang di kalungi itu mengikuti sepenuhnya ke mana saja kalung itu di tarik
orang.Kalau yang di jadikan kalung itu adalah ‘’pendapat’’atau
‘’prkataan’’seseorang,maka berarti orang
yang di kalungi itu akan mengikuti ‘’pendapat’’orang itu tanpa
mempertanyakan lagi kenapa pendapat orang tersebut demikian[1].
Dari taqlid menurut pengertian lughawi itu berkembang mnjadi
istilah hukum yang di hakikatkan tidak berjauhan dari maksud lughawi
itu.Diantara defenisi tentang taqlid tersebut ,ialah :
1.
Al –Ghazali memberikan defenisi:
قَبُوْلُ
قَوْلِ اْلقَائِلِ الغَيْرِ دُوْنَ حُجَّتِه
“Menerima ucapan tanpa hujah”
2.
Al-Asnawi dalam kitab Nihayat Al-Ushul mendefinisikan:
التقليدهوالاخدبقول
غيردليل
“mengambil perkataan
orang lain tanpa dalil”
3.
Ibnu Subki dalam kitab jam’ul jawami mendefinisikan:
التقليدهواخدالقول
من غيرمعرفةدليل
“taklid adalah mengambil suatu perkataan
tanpa mengetahui dalil”[2].
2
|
B.
Hukum Taqlid
Jumhur ulama berpendapat bahwa,taqlid dalam bidang syar’i
tidak di benarkan secara mutlak. Sedang aliran Maliky berpendapat bahwa taqlid
adaalah batal. Demikian pula gologan Zahiriyah berpendapat bahwa taqlid
dalam agama adalah terlarang. Di samping itu Ibnu Hazm berkata bahwa, telah ijma’
ulama tentang terlarangnya taqlid.
Alasan ulama-ulama yang melarang taqlid adalah, firman Allah yang
berbunyi[3]:
“Dan janganlah engkau menurut sesuatu yang
engkau tidak mempunyai pengthuan tentangnya. Sesuggunya pendengaran ,
penglihatan , dan hati, tiap-tiap sesuatu dn sekalian itu akan di minta dari
padanya prtangungjawabannya.”
Al-Qur’an juga
mencela orang-orang yang mengikuti tanpa mengtahui alasan,seperti firman Allah
yang berbunyi[4]
:
“Dan apabila di katakan pada mereka,”ikutila
aapa yang telah diturunkan oleh Allah”mereka menjawab: (tidak) , tetapi kami
hanya mengikuti apa-apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami” (apakah mereka akan mengikuti juga), walau moyang mereka itu tidak
mendapat petunjuk?”
Memang ada
sebagaian ulama yang membolehkan taqlid, seperti yang di wirayatkan oleh
Ibnu Subki dalam kitab Jam’ul Jamawi”,tetapi mereka memberikan syarat, yakni
harus ada pengertian tentang aapa yang ada di taqlid-nya tersebut.
Sebagaimana
halnya dalam bidang syar’y, juga dalam bidang tauhid (ushuludin)
,bahwa jumhuur berpendapat tidak di benarkan ber-taqlid, dengan membawakan beberapa
alasan:
1)
Umat telah ijma tentang wajib nya mengetahui Allah ,adapun
cara mengetahuinya bukan degan cara taqlid.
2)
Seseorang muqalid tidak mengtahui, apakah bebar atau kah salah yang
di ikutinya itu.
3)
Secara umum perbuatan taqlid adalah tercelah.[5]
Dalam masalah
taqlid dalam bidang furu’iyah ,ibn subki menglompokkan umat menjadi kepada empat
kelompok yaitu:
1)
Orang awam yang tidak mempunyai keahlian sama sekali
2)
Orang alim namun belum mencapai tingkat mujtahid
3)
Orang yang mampu melakukan ijtihad namun baru sampai ke tingkat
dugaan kuat
4)
Mujtahid .[6]
Kebolehan
baertaqlid tergantung pada peringkat pada pengelompokan tersebut.Orang yang
telah sampai pada tingkat mampu berijtihad tetapi baru ke tingkat zhan(dugaaan
kuat) disamakan kedudukannya dengan ‘’mujtahid penuh’’oleh ibnu subki.Kelompok
orang dalam peringkat ini dalam melakukan taqlid dipisahkan lagi oleh al-raji
dalam dua keadaan:
1)
Ia bertaqlid kepada mujtahid lain dalam masalah yang sama yang
hasil ijtihadnya berbeda dengan hasil ijtihadnya sendiri
2)
Dalam masalah yang ia taqlidi ini,ia belum pernah melakukan
ijtihad.
Dalam hal
pertama al-rajih mengmukakan ijma’ulama yang menetapkan tidak bolehnya mujtahid
bertaqlid kepada mujtahid lainnya.Alasannya bahwa dengan bertaqlid itu bia akan
mengikuti dan beramal dngan sesuatu yang bertentangan dengan pandangannya
sendiri.Hal ini adalah sesuatu tindakan yang salah,karena ia beramal dengan
sesuatu yang menyalahi keyakinan sendiri.
C. Syarat-Syarat Taqlid
Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat
dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang
ditaqlidi. Syarat-syarat itu yakni sebagai berikut:
1.
Syarat-syarat orang yang
bertaqlid.
Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang tidak
mengerti cara-cara mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain
yang lebih mengerti hukum-hukum syara dan mengamalkannya. Adapun orang yang
pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad
sendiri kalau baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan
dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal
ibadah), maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pandai
lainnya.
2.
Syarat-syarat yang ditaqlid
Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan dengan
syara. Dalam hukum akal
tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang
menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena
jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai
akal.Karena itu
tidak ada gunanya bertaqlid kepada orang lain.
Sedangkan dalam hukum syara’ ada dua hal:
1.
Ada yang diketahui dengan pasti(qat’i)dari agama ,seperti wajibnya
salat lima waktu,puasa ramadhan,haji,zakat dan juga tenatng haramnya
zina,meminum-minuman keras.Dalam hal ini tidak boleh bertaqlid karena semua orang
dapat mengetahuinya.
2.
Ada yang diketahui dengan penyelidikan dengan menggunakan dalil
seperti soal-soal ibadah yang kecil.Dalam hal ini dibolehkan bertaqlid kepada orang
lain[7].
D. Ketentuan
Bertaqlid
Di atas telah duraikan tentang pendapat ulama yang mengatakan bahwa
boleh hukumnya bertaqlid, baik yang bertaqlid itu orang awam atau mujtahid
spesialis di luar bidang spesialisasinya. Dalam kebanyakan literatur ushul
fiqh, persoalan ini diuraikan dalam pembahasan tentang kepada siapa seseorang
boleh minta fatwa, karena hubungan antara bertaqlid dengan minta fatwa itu
rapat sekali. Tujuan minta fatwa itu adalah untuk mengamalkan apa yang di
fatwakan itu.
Ibn al-Humman menunjukkan kesepakaatan ulama tentang bolehnya
bertaqlid kepada seseorang dari kalangan ahli ilmu yang diketahuinya.[8]
Bahwa orang itu mempunyai kemampuan untuk berijtihad dan memiliki
sifat ‘adalah. (Pengertian ‘adalah atau ‘adil di sini mengandung maksud khusus,
yaitu ‘adil dalam pengertian periwayatan hadits, bukan dalam pengertian
peradilan, yaitu seseorang yang memiliki kriteria (sifat)sebagai berikut:Pengetahuannya
akan kemampuan seseorang untuk berijtihad, memiliki sifat adil tersebut
diperoleh melalui kepopuleran orang itu atau dari berita tentang dirinya atau
diketahui melalui kedudukannya dan orang¬orang sering minta fatwa kepadanya serta
menghormati kedudukannya.Menurut kalangan ulama Syafi’iyah bahwa pendapat yang
asah (paling tepat) adalah harus memeriksa tentang keilmuannya dengan cara
bertanya kepada orang-orang, dan untuk mengetahui keadilannya cukup dari
keadilan menurut lahirnya tanpa perlu memeriksanya.Pendapat lainnya mengatakan
bahwa untuk mengetahui keilmuan seorang mufti cukup dari berita yang telah
tersebar luas mengenai kapasitas kemampuan ilmunya. Adapun untuk mengetahui
keadilannya perlu dilakukan melalui suatu pembahasan tersendiri.Di antara ulama
ada yang yang mensyaratkan untuk menguji seseorang setelah mintafatwa
kepadanya. Namun hal ini ditolak oleh Imam Haramain yang mengatakan bahwa tidak
ada ketentuan yang demikian, bahkan bila telah ada yang mengatakan
(memberitakan) bahwa ia seorang mujtahid, maka harus dipegang dan diikuti.
Untuk mengetahui keilmuannya cukup dengan berita tersebut.
Bila dua persyaratan tersebut (berilmu dan adil) tidak terdapat
pada seseorang, maka tidak boleh bertaqlid kepadanya. Para ulama sepakat bahwa
bila diduga kuat ia tidak memiliki satu diantara keduanya, maka orang awam
tidak boleh bertanya atau bertaqlid kepadanya. Pendapat lainnya mengatakan bila
yang tidak diketahui dari orang itu adalah tentang keilmuannya, maka tidak
boleh minta fatwa dan bertaqlid kepadanya.
Bila dalam satu wilayah hanya ada seorang mujtahid yang memenuhi persyaratan tersebut, maka pendapatnya harus diikuti, karena memang tidak ada alternatif (pilihan) lain. Kalau di satu wilayah ada beberapa orang dalam derajat yang sama, maka boleh memilih salah satu di antaranya untuk diikuti. Bila dalam satu wilayah terdapat beberapa orang mujtahid untuk diikuti dan beebeda tingkat keilmuannya (dalam arti ada yang lebih baik atau fadil dan ada yang tanpa kelebihan atau mafdul), mana yang harus diikuti pendapatnya oleh seseorang awam. Bolehkah mengikuti yang mafdul selagi ada yang fadil? dalam ini terdapat perbedaan pendapat:
Bila dalam satu wilayah hanya ada seorang mujtahid yang memenuhi persyaratan tersebut, maka pendapatnya harus diikuti, karena memang tidak ada alternatif (pilihan) lain. Kalau di satu wilayah ada beberapa orang dalam derajat yang sama, maka boleh memilih salah satu di antaranya untuk diikuti. Bila dalam satu wilayah terdapat beberapa orang mujtahid untuk diikuti dan beebeda tingkat keilmuannya (dalam arti ada yang lebih baik atau fadil dan ada yang tanpa kelebihan atau mafdul), mana yang harus diikuti pendapatnya oleh seseorang awam. Bolehkah mengikuti yang mafdul selagi ada yang fadil? dalam ini terdapat perbedaan pendapat:
1.
Kalangan ulama yang terdiri dari kebanyakan ulama Hanabilah seperti
al-Qadhi, Abu al-Khattab dan Ibn al-Hajib berpendapat boleh mengikuti mufti
dalam kualitas yang mafdul meskipun di samping itu ada yang berkualitas fadil.
Alasannya,
bahwa mengikuti yang mafdul di samping ada yang fadil itu diketahui orang
banyak dan tidak ada yang menyanggahnya. Maka dalam hal ini kedudukan nya sama
dengan ijma’ sakuti
2.
Kalangan ulama yang terdiri dari ulama Hanafiyah, Malikiyah,
kebanyakan ulama Syafi'iyah, Ahmad dan al-Ghazali menyatakan bahwa harus
memilih yang fad{il dan tidak boleh mengikuti yang mafdul.
Alasannya
adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh al¬Mahalli yaitu bahwa pendapat
seorang mujtahid dalam hubungannya dengan muqallid yang akan mengikutinya
adalah ibarat beberapa dalil shara’ yang berbeda dalam hubungannya dengan
mujtahid. Dalam keadaan demikian, mujtahid harus mengambil dalil yang terkuat
di antara beberapa dalil tersebut. Demikian juga, seorang awam harus mengambil
yang terkuat dari pendapat beberapa orang mufti atau mujtahid (dalam hal ini
adalah yang fadil)
3.
Pendapat yang dianggap pilihan oleh Ibnu Subki adalah bolehnya
orang awam mengikuti pendapat orang yang diyakininya fadil, meskipun menurut
kenyataannya bahwa orang itu adalah mafdul. Tetapi bila ia telah meyakini
kemafdulannya, maka tidak boleh ia mengikutinya lagi. Pendapat ini merupakan
kombinasi dari dua pendapat sebelumnya. Namun dalam hal ini tidak ada
kewajiban untuk membahas mana yang terkuat, karena dengan pembahasan itu tidak
akan dapat diketahui secara jelas oleh orang-orang yang akan mengikutinya atau
meminta fatwa.[9]
E. Madzhab
Menurut bahasa, madzhab
berasal dari kata “dzahaba” yang berarti “pergi”. Bisa juga
berarti al-ra’yu yang artinya pendapat, dan thariqat yang
artinya “jalan”. Sedangkan yang dimaksud dengan madzhab menurut istilah,
meliputi dua pengertian, yaitu :
1.
Madzhab adalah jalan pikiran
atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum
suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadits
2.
Madzhab adalah fatwa atau
pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari
Al-Qur’an dan Hadits.
Adapun arti
“madzhab” menurut istilah para ulama ahli fiqh (fuqaha), sebagai berikut:
1.
Wahbah Az – Zuhaili, memberi batasan “madzhab” sebagai segala hukum
yang mengandung berbagai masalah, baik dilihat dari aspek metode yang
mengantarkan pada kehidupan secara keseluruhan maupun aspek hukumnya sebagai
pedoman hidup[10]
2.
Muslim Ibrahim, memberikan definisi “madzhab” dapat dipahami
sebagai aliran pikiran yang merupakan hasil ijtihad seorang mujtahid tentang
hukum dalam islam yang digali dari ayat Al – Qur’an atau Al – Hadits yang dapat
diijtihadkan[11]
Jadi, madzhab adalah pokok pikiran atau dasar yang
digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbathkan
hukum Islam. Selanjutnya Imam madzhab dan madzhab itu berkembang pengertiannya
menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid
tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Seperti telah dijelaskan bahwa dalam etika bertaqlid
menurut sebagian ulama,orang awam yang muqalid setelah memperoleh jawaban hukum
dari seorang mufti harus beramal dengaan pendapat atau fatwa dari mufti
itu.Fatwa atau pendapat yang dirumuskan oleh seorang mujtahid itu lah yang pada
mulanya disebut dengan ‘’Mazhab’’,kalau orang awan yang mengikuti pendapat
seorang imam mujtahid dalam beramal,ia disebut’’pengikut mazhab imam mazhab’’.[12].
Menurut sebagian ulama,orang awam yang beramal dengan
mazhab seseorang imam mujtahid dalam masalah tertentu,ditutut untuk secara
konsisten mengikuti terus mazhab imam tersebut dalam masalah – masalah
lainnya,sehingga bentuk pengamalan agama orang awam itu sama dengan imamnya
dalam urusan agama.Dalam pengertian mazhab yang sederhana ini seorang awam yang
tidak memiliki pendapat yang dihasilkan melalui ijtihadnya dn oleh karena itu
mengikuti dan beramal dengan hasil ijtihad seorang mufti,dapat
disebut’’bermazhab’’dengan mazhab seorang mufti yang di ikutinya itu.Seorang
awam boleh bermazhab dngan mazhab mufti mana saja dalam masalah hukum apa
saja,seperti bermazhab umar dalam maslah perkawinan dan bermazhab ali dalam masalah
kewarisan.
F. Beramal dengan fatwa seorang mufti
Orang awam bertanya kepada
seorang mufti dalam urusan agama dengan maksud mendapatkan pengtahuan sehinggah
ia dapat menjalankannya dengan baik.Dengan sendirinya fatwa mufti itu dijadikan
oleh orang awam itu karena ia mengetahui kemampuan ilmu dan keadilan mufti
itu,sehinggah ia mempunyai dugaan kuat tentang kebenaran yang
difatwakannya.Apakah orang awam itu harus dan terikat untuk mengamalkan
fatwa dari mufti itu?hal ini
diperbincangkan ulama karena fatwa dari mufti itu merupakan hasil ijtihadnya
secara pribadi yang dengan sendirinya tidak mengandung kekuatan hujah.Lain
halnya yang disampaikan si mufti adalah sebuah hadis Nabi.Namun jika ia
menyampaikan hadits maka kedudukannya bukan sebagai seorang mufti ,tetapi
sebagai rawi atau penyampai hadits.Seperti telah dijelaskan bahwa yang mmpunyai
kekuatan hujah hannyalah al-qur’an,sunnah nabi dan ijma’ ulama.
G. Mengikuti Fatwa Seorang Mufti
Kalau orang awam telah minta
fatwa kepada mufti ,apa lagi jika ia telah mengamalkan fatwa tersebut ,apakah
dimungkinkan ia menarik diri dari fatwa tersebut?hal ini diperbincangkan para
ulama.
Al –asnawi (dari kalangan
ulama syafi’iyah)dan ibn al-hummam(dari kalangan ulama hanafiyah) mengklaim
adanya kesepakatan ulama tentang tidak bolehnya menarik diri dari seorang mufti
untuk mengikuti mufti lain dalam massalah yang sama.Al-amidi menukilkan ijma’
ulama tentang ini.ibn subki juga tidak membolehkan hal ini,tetapi tidak
menyebutkan adanya ijma’ulama ,disamping mengecualikan bila fatwa yang
diterimanya itu belum diamalkannya.
Selanjutnya Ibn Subki
mengemukakan beberapa pendapat bandingan terhadap pendapat tersebut dalam
bentuk pengecualian,yaitu:[13]
a. Tidak boleh meninggalkan pendapat mufti dengan
semata-mata ia telah meminta fatwa.
b. Harus tetap mengikuti pendapat mufti itu bila ia telah
mulai mengamalkannya
c. Harus tetap mengikuti mufti itu bila ia yakin akan
keadilan pendapatnya itu.
d. Harus tetap mengikuti pendapat mufti itu bila ia tidak
menemukan mufti yang lain.
e. Harus tetap mengikuti pendapat mufti itu bila ia
melazimkan diri untuk itu.
Dari pendapat terakhir ini walaupun hanya
dinukilkandngan ‘’qila’’(dikatakan),namun mengandung isyarat tidak adanya
keharusan untuk terus menerus mengikuti pendapat muujtahid tersebut.Atas
prinsip tidak adanya keharusan mengikuti seorang mufti sebagaimana disimpulkan
dari pendapat terakhir itu,ada saat hal yang patut diperhatikan oleh yang
pindah mufti itu ialah bahwa ia berbuat demikian bukan untuk tujuan
negatif,seperti untuk membatalkan apa yang tlah diyakininya dengan cara pindah
ke mufti lain tersebut.Umpamanyaseorang nikah tanpa wali dengan mengikuti
pendapat mufti hanafiyah.Kemudian ia ingin menceraikan istrinya untuk itu ia
pindah ke mufti bermazhab syafi’’i yang menetapkan batalnya nikah tanpa wali. Adapun
kalau ia bertaqlid kepada mufti lainnya dalam masalah lain(bukan masalah yang
telah terlebih dahulu diberikan jawaban nya oleh mufti),tampaknya kebanyakan
ulama membenarkannya,termasuk ibn subki yang melarang pindah mufti dalam
masalah yang sama.Di antara alasan pendukung pendapat ini adalah bahwa pada
masa sahabat,parapeminta fatwa sering mmintah fatwa padaseorang sahabat tentang
suatu masalahdan memintah fatwa pada sahabat lain tentang masalah lainnya,serta
tidak terus-menerus mengikuti fatwa seorang sahabat tertentu.Hal ini berlaku
secara meluas dan tidak ada yang menyanggalnya sehingga keadaan ini
kedudukannya sebagai ijma’sakuti.
Adanya kelonggaran untuk mengikuti mufti lain itu
dalam masalah lain mengisyaratkan tidak seharusnya seorang untuk mengikatkan dirinya secara penuh kepada
pendapat atau mazhab imam tertentu.Namun ibn subki tetap mengharuskan seorang
untuk mengikuti mazhab tertentu yang diyakini pendapatnya lebih kuat diantara
mazhab yang ada.
Menurut ibn al-humam pendapat yang paling kuat adalah
tidak adanya keharusan untuk tetap berpegang pada satu mazhab.Ia mengatakan
‘’tidak wajib sorang untuk bermazhab dengan mazhab manapun.[14]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat di simpulkan
bahwa:
Hakikat
taqlid adalah:
1. Taqlid beramal dengan pendapat orang lain.
2. Pendapat orang lain itu bukan hujah.
3. Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak
mengetahui hujah atau dalil dari pendapat yang di ikutinya.
Hukum bertaqlid para ulama berbeda
pendapat dalam menetapkannya. Tapi menurut penulis pendapat yang paling kuat
adalah:
1. Tidak boleh seorang mujtahid bertaqlid pada mujtahid
lain. Kecuali dia benar-benar tidak mengetahui tentang hal yang ia bertaqlid
atau ia seorang Qadhi.
2. Bagi orang ‘Alim tapi belum mencapai tinggkat mujtahid
juga tidak boleh bertaqlid tetapi dibolehkan Ittiba’.
3. Bagi orang awam yang benar-benar tidak memiliki
pengetahuan dan tidak ada waktu/biaya/kesempatan untuk belajar maka dibolehkan
bertaqlid.
Ketentan bertaqlid adalah
kita benar-benar mengatahui bahwa mujtahid yang kita ikuti adalah orang
yang‘alim dan ‘adalah serta selalu menjaga Muru’ahnya.
Taqlid meliputi dua pengertian, yaitu :
1. Madzhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh
oleh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan
kepada Al-Qur’an dan Hadits
2. Madzhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam
Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits.
13
|
Daftar Pustaka
Syarifudin ,amir,ushul fiqih jilid 2,(jakarta:kencana),2011.
Djalil ,bassiq,ilmu ushul fiqh satu dan dua,(jakarta:kencana).2010.
Wahab, Abdul Khallaf, Sejarah Pembentukan & Pembinaan
HukumIslam,terj. ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada )
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Dillatuhu, (Beirut: Dar Al
Fiqr juz 1), 1989
Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Maaran, (Penerbit : Erlangga,
Jakarta), 1991
Umam,khairul,ushul fiqih cetakan II(bandung:cv pustaka setia)2001
Yahya,muhtar,dasar-dasar pembinaan hukum fiqih islam(bandung:pt
alma’arif),1986
Q.S.Al-baqarah 170
Q.s.al-isra 36
[1] Amir
syariudin,usuhul fiqh ,jilid 2,(jakarta:kencana).2011.halm 23.
[2] Basiq jalil,ushul
fiqh satu dan dua,(jakarta;kencana.2010.halm 21.
[3] Q.s.Al-isra (17):36
[4] Q,s.Al-baqarah(2)
:170
[5] Ibid.hlm.22.
[6] Mardani ,ushul
fiqh,(jakarta:rajawali pers.2013.halm.23
[7] Khairul
uman,usul fiqih II,(bandung:cv pustaka setia),2001,halm,153
[8] Muhtar
yahya,dasar-dasar pembinaan hukum fiqih islam,(bandung:pt alma’arif)1986,halm
409
[9] Ibid.halm 410
[12]
Amir,syarifudin,usul fiqh jilid 2 edisi revisi(jakarta.kencana).2008.halm.34
[13] Ibid,halm 35
[14] Ibid,halm 36
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami
ucapkan kepada Allah swt. Karena berkat-Nya lah kami dapat menyelesaikan
makalah kami yang berjudul “Taqlid dan Mazhab”. Sholawat dan salam senantiasa
dicurahkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw dan segenap keluarganya serta orang-orang
yang meneruskan risalahnya sampai akhir zaman.
Makalah ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah. Kami menyadari makalah ini jauh
dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun
demi kebaikan makalah ini sangat kami harapkan dari para pembaca. Akhir kata,
semoga karya tulis sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bengkulu
, Mei 2017
Penulis
COVER
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C.
Tujuan.............................................................................................. ..1
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Taqlid...............................................................................................
2
B.
Hukum bertaqlid..............................................................................
3
C.
Syarat-syarat taqliq..........................................................................
5
D.
Ketentuan bertaqliq.........................................................................
6
E.
Mazhab ........................................................................................... 8
F.
Beramal dengan fatwa seorang mufti.............................................
10
G.
Mengikuti fatwa seorang mufti......................................................
10
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan......................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar