Kamis, 19 Oktober 2017

MAKALAH USHUL FIQH TAQLID dan MAZHAB

BAB I
PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang
Sehubungan dengan pelaksanaan hukum Syara’ ummat islam dibagi dalam tiga kelompok, yaitu orang yang memiliki ilmu dan mampu berijtihad (mujtahid), orang yang mengikuti pendapat mujtahid tetapi mengetahui hujjah mujtahid yang diikutinya (muttabi’), dan orang yang mengikuti pendapat mujtahid tetapi tidak mengetahui hujjah mujtahid yang diikutinya. (Muqallid).
Dalam hal ini terdapat permasalahan yaitu apakah boleh seorng muslim mengikuti pendapat mujtahid atau tidak. Maka dari itu makalah sedrhana ini mencoba untuk menguraikan tentang hal itu.
B.         Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang diuraikan diatas maka ada beberapa permasalahan yang akan di bahas dalm makalah ini, yaitu:
1.      Apa Pengertian Taqlid?
2.      Bagaimana Hukum Bertaqlid dan Ketentuan Dalam Bertaqlid?
3.      Apa pengertian Mazhab?
4.      Bagaimana beramal dengan fatwa seorang mufti?
5.      Bagaimana mengikuti fatwa seorang mufti?
C .Tujuan
1.      Mengetahui pengertian taqlid.
2.      Mengetahui hukum bertaqlid dan ketentuan dalam bertaqlid.
3.      Mengetahui pengertian mazhab.
4.       Mengetahui Bagaimana beramal dengan fatwa seorang mufti .
5.      Mengetahui bagaimana mengikuti  fatwa sorang mufti.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    TAQLID
Kata taqlid (ﺗﻗﻟﻴﺪ ) berasal dari fi’il madhi (kata dasar) ﺗﻗﻟﺪ  dan ﻗﻟﺪ   yang secara lughawi berarti “mengalungkan” atau “menjadikan kalung”. Kata taqlid mempunyai hubungan rapat dengan kata qaladah ( ﻗﻼﺪﺓ  ),sedangkan qaladah itu sendiri berarti kalung. Menurut asalnya digunakan untuk sesuatu yang diletakkan membelit leher seekor hewa;dan hewan yang di kalungi itu mengikuti sepenuhnya ke mana saja kalung itu di tarik orang.Kalau yang di jadikan kalung itu adalah ‘’pendapat’’atau ‘’prkataan’’seseorang,maka berarti orang  yang di kalungi itu akan mengikuti ‘’pendapat’’orang itu tanpa mempertanyakan lagi kenapa pendapat orang tersebut demikian[1].
Dari taqlid menurut pengertian lughawi itu berkembang mnjadi istilah hukum yang di hakikatkan tidak berjauhan dari maksud lughawi itu.Diantara defenisi tentang taqlid tersebut ,ialah :
1.      Al –Ghazali memberikan defenisi:
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ الغَيْرِ دُوْنَ حُجَّتِه            
         “Menerima ucapan tanpa hujah”
2.      Al-Asnawi dalam kitab Nihayat Al-Ushul mendefinisikan:
التقليدهوالاخدبقول غيردليل
“mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”
3.      Ibnu Subki dalam kitab jam’ul jawami mendefinisikan:
التقليدهواخدالقول من غيرمعرفةدليل
“taklid adalah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil[2].
2
 


B.     Hukum Taqlid
Jumhur ulama berpendapat bahwa,taqlid dalam bidang syar’i tidak di benarkan secara mutlak. Sedang aliran Maliky berpendapat bahwa taqlid adaalah batal. Demikian pula gologan Zahiriyah berpendapat bahwa taqlid dalam agama adalah terlarang. Di samping itu Ibnu Hazm berkata bahwa, telah ijma’ ulama tentang terlarangnya taqlid.
Alasan ulama-ulama yang melarang taqlid adalah, firman Allah yang berbunyi[3]:
 “Dan janganlah engkau menurut sesuatu yang engkau tidak mempunyai pengthuan tentangnya. Sesuggunya pendengaran , penglihatan , dan hati, tiap-tiap sesuatu dn sekalian itu akan di minta dari padanya prtangungjawabannya.”
Al-Qur’an juga mencela orang-orang yang mengikuti tanpa mengtahui alasan,seperti firman Allah yang berbunyi[4] :
 “Dan apabila di katakan pada mereka,”ikutila aapa yang telah diturunkan oleh Allah”mereka menjawab: (tidak) , tetapi kami hanya mengikuti apa-apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami” (apakah mereka akan mengikuti juga), walau moyang mereka itu tidak mendapat petunjuk?”

Memang ada sebagaian ulama yang membolehkan taqlid, seperti yang di wirayatkan oleh Ibnu Subki dalam kitab Jam’ul Jamawi”,tetapi mereka memberikan syarat, yakni harus ada pengertian tentang aapa yang ada di taqlid-nya tersebut.
Sebagaimana halnya dalam bidang syar’y, juga dalam bidang tauhid (ushuludin) ,bahwa jumhuur berpendapat tidak di benarkan ber-taqlid, dengan membawakan beberapa alasan:
1)      Umat telah ijma tentang wajib nya mengetahui Allah ,adapun cara mengetahuinya bukan degan cara taqlid.
2)      Seseorang muqalid tidak mengtahui, apakah bebar atau kah salah yang di ikutinya itu.
3)      Secara umum perbuatan taqlid adalah tercelah.[5]
Dalam masalah taqlid dalam bidang furu’iyah ,ibn subki menglompokkan umat menjadi kepada empat kelompok yaitu:
1)      Orang awam yang tidak mempunyai keahlian sama sekali
2)      Orang alim namun belum mencapai tingkat mujtahid
3)      Orang yang mampu melakukan ijtihad namun baru sampai ke tingkat dugaan kuat
4)      Mujtahid .[6]
Kebolehan baertaqlid tergantung pada peringkat pada pengelompokan tersebut.Orang yang telah sampai pada tingkat mampu berijtihad tetapi baru ke tingkat zhan(dugaaan kuat) disamakan kedudukannya dengan ‘’mujtahid penuh’’oleh ibnu subki.Kelompok orang dalam peringkat ini dalam melakukan taqlid dipisahkan lagi oleh al-raji dalam dua keadaan:
1)      Ia bertaqlid kepada mujtahid lain dalam masalah yang sama yang hasil ijtihadnya berbeda dengan hasil ijtihadnya sendiri
2)      Dalam masalah yang ia taqlidi ini,ia belum pernah melakukan ijtihad.
Dalam hal pertama al-rajih mengmukakan ijma’ulama yang menetapkan tidak bolehnya mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lainnya.Alasannya bahwa dengan bertaqlid itu bia akan mengikuti dan beramal dngan sesuatu yang bertentangan dengan pandangannya sendiri.Hal ini adalah sesuatu tindakan yang salah,karena ia beramal dengan sesuatu yang menyalahi keyakinan sendiri.
C.    Syarat-Syarat Taqlid
Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi. Syarat-syarat itu yakni sebagai berikut:
1.      Syarat-syarat orang yang bertaqlid.
Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara dan mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad sendiri kalau baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
2.      Syarat-syarat yang ditaqlid
Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan dengan syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal.Karena itu tidak ada gunanya bertaqlid kepada orang lain.
Sedangkan dalam hukum syara’ ada dua hal:
1.             Ada yang diketahui dengan pasti(qat’i)dari agama ,seperti wajibnya salat lima waktu,puasa ramadhan,haji,zakat dan juga tenatng haramnya zina,meminum-minuman keras.Dalam hal ini tidak boleh bertaqlid karena semua orang dapat mengetahuinya.
2.             Ada yang diketahui dengan penyelidikan dengan menggunakan dalil seperti soal-soal ibadah yang kecil.Dalam hal ini dibolehkan bertaqlid kepada orang lain[7].

D.    Ketentuan Bertaqlid
Di atas telah duraikan tentang pendapat ulama yang mengatakan bahwa boleh hukumnya bertaqlid, baik yang bertaqlid itu orang awam atau mujtahid spesialis di luar bidang spesialisasinya. Dalam kebanyakan literatur ushul fiqh, persoalan ini diuraikan dalam pembahasan tentang kepada siapa seseorang boleh minta fatwa, karena hubungan antara bertaqlid dengan minta fatwa itu rapat sekali. Tujuan minta fatwa itu adalah untuk mengamalkan apa yang di fatwakan itu.
Ibn al-Humman menunjukkan kesepakaatan ulama tentang bolehnya bertaqlid kepada seseorang dari kalangan ahli ilmu yang diketahuinya.[8]
Bahwa orang itu mempunyai kemampuan untuk berijtihad dan memiliki sifat ‘adalah. (Pengertian ‘adalah atau ‘adil di sini mengandung maksud khusus, yaitu ‘adil dalam pengertian periwayatan hadits, bukan dalam pengertian peradilan, yaitu seseorang yang memiliki kriteria (sifat)sebagai berikut:Pengetahuannya akan kemampuan seseorang untuk berijtihad, memiliki sifat adil tersebut diperoleh melalui kepopuleran orang itu atau dari berita tentang dirinya atau diketahui melalui kedudukannya dan orang¬orang sering minta fatwa kepadanya serta menghormati kedudukannya.Menurut kalangan ulama Syafi’iyah bahwa pendapat yang asah (paling tepat) adalah harus memeriksa tentang keilmuannya dengan cara bertanya kepada orang-orang, dan untuk mengetahui keadilannya cukup dari keadilan menurut lahirnya tanpa perlu memeriksanya.Pendapat lainnya mengatakan bahwa untuk mengetahui keilmuan seorang mufti cukup dari berita yang telah tersebar luas mengenai kapasitas kemampuan ilmunya. Adapun untuk mengetahui keadilannya perlu dilakukan melalui suatu pembahasan tersendiri.Di antara ulama ada yang yang mensyaratkan untuk menguji seseorang setelah mintafatwa kepadanya. Namun hal ini ditolak oleh Imam Haramain yang mengatakan bahwa tidak ada ketentuan yang demikian, bahkan bila telah ada yang mengatakan (memberitakan) bahwa ia seorang mujtahid, maka harus dipegang dan diikuti. Untuk mengetahui keilmuannya cukup dengan berita tersebut.
Bila dua persyaratan tersebut (berilmu dan adil) tidak terdapat pada seseorang, maka tidak boleh bertaqlid kepadanya. Para ulama sepakat bahwa bila diduga kuat ia tidak memiliki satu diantara keduanya, maka orang awam tidak boleh bertanya atau bertaqlid kepadanya. Pendapat lainnya mengatakan bila yang tidak diketahui dari orang itu adalah tentang keilmuannya, maka tidak boleh minta fatwa dan bertaqlid kepadanya.
Bila dalam satu wilayah hanya ada seorang mujtahid yang memenuhi persyaratan tersebut, maka pendapatnya harus diikuti, karena memang tidak ada alternatif (pilihan) lain. Kalau di satu wilayah ada beberapa orang dalam derajat yang sama, maka boleh memilih salah satu di antaranya untuk diikuti. Bila dalam satu wilayah terdapat beberapa orang mujtahid untuk diikuti dan beebeda tingkat keilmuannya (dalam arti ada yang lebih baik atau fadil dan ada yang tanpa kelebihan atau mafdul), mana yang harus diikuti pendapatnya oleh seseorang awam. Bolehkah mengikuti yang mafdul selagi ada yang fadil? dalam ini terdapat perbedaan pendapat:
1.      Kalangan ulama yang terdiri dari kebanyakan ulama Hanabilah seperti al-Qadhi, Abu al-Khattab dan Ibn al-Hajib berpendapat boleh mengikuti mufti dalam kualitas yang mafdul meskipun di samping itu ada yang berkualitas fadil.
Alasannya, bahwa mengikuti yang mafdul di samping ada yang fadil itu diketahui orang banyak dan tidak ada yang menyanggahnya. Maka dalam hal ini kedudukan nya sama dengan ijma’ sakuti
2.      Kalangan ulama yang terdiri dari ulama Hanafiyah, Malikiyah, kebanyakan ulama Syafi'iyah, Ahmad dan al-Ghazali menyatakan bahwa harus memilih yang fad{il dan tidak boleh mengikuti yang mafdul.
Alasannya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh al¬Mahalli yaitu bahwa pendapat seorang mujtahid dalam hubungannya dengan muqallid yang akan mengikutinya adalah ibarat beberapa dalil shara’ yang berbeda dalam hubungannya dengan mujtahid. Dalam keadaan demikian, mujtahid harus mengambil dalil yang terkuat di antara beberapa dalil tersebut. Demikian juga, seorang awam harus mengambil yang terkuat dari pendapat beberapa orang mufti atau mujtahid (dalam hal ini adalah yang fadil)
3.      Pendapat yang dianggap pilihan oleh Ibnu Subki adalah bolehnya orang awam mengikuti pendapat orang yang diyakininya fadil, meskipun menurut kenyataannya bahwa orang itu adalah mafdul. Tetapi bila ia telah meyakini kemafdulannya, maka tidak boleh ia mengikutinya lagi. Pendapat ini merupakan kombinasi dari dua pendapat sebelumnya.  Namun dalam hal ini tidak ada kewajiban untuk membahas mana yang terkuat, karena dengan pembahasan itu tidak akan dapat diketahui secara jelas oleh orang-orang yang akan mengikutinya atau meminta fatwa.[9]
E.     Madzhab
Menurut bahasa, madzhab berasal dari kata “dzahaba”  yang berarti “pergi”. Bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya pendapat, dan thariqat yang artinya “jalan”. Sedangkan yang dimaksud dengan madzhab menurut istilah, meliputi dua pengertian, yaitu :
1.        Madzhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadits
2.        Madzhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits.
Adapun arti “madzhab” menurut istilah para ulama ahli fiqh (fuqaha), sebagai berikut:
1.         Wahbah Az – Zuhaili, memberi batasan “madzhab” sebagai segala hukum yang mengandung berbagai masalah, baik dilihat dari aspek metode yang mengantarkan pada kehidupan secara keseluruhan maupun aspek hukumnya sebagai pedoman hidup[10]
2.         Muslim Ibrahim, memberikan definisi “madzhab” dapat dipahami sebagai aliran pikiran yang merupakan hasil ijtihad seorang mujtahid tentang hukum dalam islam yang digali dari ayat Al – Qur’an atau Al – Hadits yang dapat diijtihadkan[11]
Jadi, madzhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam. Selanjutnya Imam madzhab dan madzhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Seperti telah dijelaskan bahwa dalam etika bertaqlid menurut sebagian ulama,orang awam yang muqalid setelah memperoleh jawaban hukum dari seorang mufti harus beramal dengaan pendapat atau fatwa dari mufti itu.Fatwa atau pendapat yang dirumuskan oleh seorang mujtahid itu lah yang pada mulanya disebut dengan ‘’Mazhab’’,kalau orang awan yang mengikuti pendapat seorang imam mujtahid dalam beramal,ia disebut’’pengikut mazhab imam mazhab’’.[12].
Menurut sebagian ulama,orang awam yang beramal dengan mazhab seseorang imam mujtahid dalam masalah tertentu,ditutut untuk secara konsisten mengikuti terus mazhab imam tersebut dalam masalah – masalah lainnya,sehingga bentuk pengamalan agama orang awam itu sama dengan imamnya dalam urusan agama.Dalam pengertian mazhab yang sederhana ini seorang awam yang tidak memiliki pendapat yang dihasilkan melalui ijtihadnya dn oleh karena itu mengikuti dan beramal dengan hasil ijtihad seorang mufti,dapat disebut’’bermazhab’’dengan mazhab seorang mufti yang di ikutinya itu.Seorang awam boleh bermazhab dngan mazhab mufti mana saja dalam masalah hukum apa saja,seperti bermazhab umar dalam maslah perkawinan dan bermazhab ali dalam masalah kewarisan.
F.     Beramal dengan fatwa seorang mufti
Orang awam bertanya kepada seorang mufti dalam urusan agama dengan maksud mendapatkan pengtahuan sehinggah ia dapat menjalankannya dengan baik.Dengan sendirinya fatwa mufti itu dijadikan oleh orang awam itu karena ia mengetahui kemampuan ilmu dan keadilan mufti itu,sehinggah ia mempunyai dugaan kuat tentang kebenaran yang difatwakannya.Apakah orang awam itu harus dan terikat untuk mengamalkan fatwa  dari mufti itu?hal ini diperbincangkan ulama karena fatwa dari mufti itu merupakan hasil ijtihadnya secara pribadi yang dengan sendirinya tidak mengandung kekuatan hujah.Lain halnya yang disampaikan si mufti adalah sebuah hadis Nabi.Namun jika ia menyampaikan hadits maka kedudukannya bukan sebagai seorang mufti ,tetapi sebagai rawi atau penyampai hadits.Seperti telah dijelaskan bahwa yang mmpunyai kekuatan hujah hannyalah al-qur’an,sunnah nabi dan ijma’ ulama.
G.    Mengikuti Fatwa Seorang Mufti
Kalau orang awam telah minta fatwa kepada mufti ,apa lagi jika ia telah mengamalkan fatwa tersebut ,apakah dimungkinkan ia menarik diri dari fatwa tersebut?hal ini diperbincangkan para ulama.
Al –asnawi (dari kalangan ulama syafi’iyah)dan ibn al-hummam(dari kalangan ulama hanafiyah) mengklaim adanya kesepakatan ulama tentang tidak bolehnya menarik diri dari seorang mufti untuk mengikuti mufti lain dalam massalah yang sama.Al-amidi menukilkan ijma’ ulama tentang ini.ibn subki juga tidak membolehkan hal ini,tetapi tidak menyebutkan adanya ijma’ulama ,disamping mengecualikan bila fatwa yang diterimanya itu belum diamalkannya.
Selanjutnya Ibn Subki mengemukakan beberapa pendapat bandingan terhadap pendapat tersebut dalam bentuk pengecualian,yaitu:[13]
a.       Tidak boleh meninggalkan pendapat mufti dengan semata-mata ia telah meminta fatwa.
b.      Harus tetap mengikuti pendapat mufti itu bila ia telah mulai mengamalkannya
c.       Harus tetap mengikuti mufti itu bila ia yakin akan keadilan pendapatnya itu.
d.      Harus tetap mengikuti pendapat mufti itu bila ia tidak menemukan mufti yang lain.
e.       Harus tetap mengikuti pendapat mufti itu bila ia melazimkan diri untuk itu.
Dari pendapat terakhir ini walaupun hanya dinukilkandngan ‘’qila’’(dikatakan),namun mengandung isyarat tidak adanya keharusan untuk terus menerus mengikuti pendapat muujtahid tersebut.Atas prinsip tidak adanya keharusan mengikuti seorang mufti sebagaimana disimpulkan dari pendapat terakhir itu,ada saat hal yang patut diperhatikan oleh yang pindah mufti itu ialah bahwa ia berbuat demikian bukan untuk tujuan negatif,seperti untuk membatalkan apa yang tlah diyakininya dengan cara pindah ke mufti lain tersebut.Umpamanyaseorang nikah tanpa wali dengan mengikuti pendapat mufti hanafiyah.Kemudian ia ingin menceraikan istrinya untuk itu ia pindah ke mufti bermazhab syafi’’i yang menetapkan batalnya nikah tanpa wali. Adapun kalau ia bertaqlid kepada mufti lainnya dalam masalah lain(bukan masalah yang telah terlebih dahulu diberikan jawaban nya oleh mufti),tampaknya kebanyakan ulama membenarkannya,termasuk ibn subki yang melarang pindah mufti dalam masalah yang sama.Di antara alasan pendukung pendapat ini adalah bahwa pada masa sahabat,parapeminta fatwa sering mmintah fatwa padaseorang sahabat tentang suatu masalahdan memintah fatwa pada sahabat lain tentang masalah lainnya,serta tidak terus-menerus mengikuti fatwa seorang sahabat tertentu.Hal ini berlaku secara meluas dan tidak ada yang menyanggalnya sehingga keadaan ini kedudukannya sebagai ijma’sakuti.
Adanya kelonggaran untuk mengikuti mufti lain itu dalam masalah lain mengisyaratkan tidak seharusnya seorang  untuk mengikatkan dirinya secara penuh kepada pendapat atau mazhab imam tertentu.Namun ibn subki tetap mengharuskan seorang untuk mengikuti mazhab tertentu yang diyakini pendapatnya lebih kuat diantara mazhab yang ada.
Menurut ibn al-humam pendapat yang paling kuat adalah tidak adanya keharusan untuk tetap berpegang pada satu mazhab.Ia mengatakan ‘’tidak wajib sorang untuk bermazhab dengan mazhab manapun.[14]
                                 




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa: 
 Hakikat taqlid adalah:
1.      Taqlid beramal dengan pendapat orang lain.
2.      Pendapat orang lain itu bukan hujah.
3.      Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui hujah atau dalil dari pendapat yang di ikutinya.
Hukum bertaqlid para ulama berbeda pendapat dalam menetapkannya. Tapi menurut penulis pendapat yang paling kuat adalah: 
1.      Tidak boleh seorang mujtahid bertaqlid pada mujtahid lain. Kecuali dia benar-benar tidak mengetahui tentang hal yang ia bertaqlid atau ia seorang Qadhi.
2.      Bagi orang ‘Alim tapi belum mencapai tinggkat mujtahid juga tidak boleh bertaqlid tetapi dibolehkan Ittiba’.
3.      Bagi orang awam yang benar-benar tidak memiliki pengetahuan dan tidak ada waktu/biaya/kesempatan untuk belajar maka dibolehkan bertaqlid.
Ketentan bertaqlid adalah kita benar-benar mengatahui bahwa mujtahid yang kita ikuti adalah orang yang‘alim dan ‘adalah serta selalu menjaga Muru’ahnya.
     Taqlid meliputi dua pengertian, yaitu :
1.      Madzhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadits
2.      Madzhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits.

13
 


Daftar Pustaka
Syarifudin ,amir,ushul fiqih jilid 2,(jakarta:kencana),2011.
Djalil ,bassiq,ilmu ushul fiqh satu dan dua,(jakarta:kencana).2010.
Wahab, Abdul Khallaf, Sejarah Pembentukan & Pembinaan HukumIslam,terj. ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada )
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Dillatuhu, (Beirut: Dar Al Fiqr juz 1), 1989
Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Maaran, (Penerbit : Erlangga, Jakarta), 1991
Umam,khairul,ushul fiqih cetakan II(bandung:cv pustaka setia)2001
Yahya,muhtar,dasar-dasar pembinaan hukum fiqih islam(bandung:pt alma’arif),1986
Q.S.Al-baqarah 170
Q.s.al-isra 36






[1] Amir syariudin,usuhul fiqh ,jilid 2,(jakarta:kencana).2011.halm 23.
[2] Basiq jalil,ushul fiqh satu dan dua,(jakarta;kencana.2010.halm 21.
[3] Q.s.Al-isra (17):36
[4] Q,s.Al-baqarah(2) :170
[5] Ibid.hlm.22.

[6] Mardani ,ushul fiqh,(jakarta:rajawali pers.2013.halm.23
[7] Khairul uman,usul fiqih II,(bandung:cv pustaka setia),2001,halm,153
[8] Muhtar yahya,dasar-dasar pembinaan hukum fiqih islam,(bandung:pt alma’arif)1986,halm 409
[9] Ibid.halm 410
[10] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Dillatuhu, 1989, Beirut: Dar Al Fiqr juz 1, hal 2
[11] Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Maaran, 1991 Penerbit : Erlangga, Jakarta, hal 47
[12] Amir,syarifudin,usul fiqh jilid 2 edisi revisi(jakarta.kencana).2008.halm.34
[13] Ibid,halm 35
[14] Ibid,halm 36




KATA PENGANTAR
       Segala puji syukur kami ucapkan kepada Allah swt. Karena berkat-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Taqlid dan Mazhab”. Sholawat dan salam senantiasa dicurahkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw dan segenap keluarganya serta orang-orang yang meneruskan risalahnya sampai akhir zaman.
       Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah. Kami menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kebaikan makalah ini sangat kami harapkan dari para pembaca. Akhir kata, semoga karya tulis sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


Bengkulu ,   Mei 2017


Penulis



DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C.     Tujuan.............................................................................................. ..1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Taqlid............................................................................................... 2
B.     Hukum bertaqlid.............................................................................. 3
C.     Syarat-syarat taqliq.......................................................................... 5
D.    Ketentuan bertaqliq......................................................................... 6
E.     Mazhab ...........................................................................................  8
F.     Beramal dengan fatwa seorang mufti............................................. 10
G.    Mengikuti fatwa seorang mufti...................................................... 10
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan......................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA                                                                      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar