Kamis, 12 Oktober 2017

Makalah pengertian Hilawah, Ji'alah dan Mukhabarah

HIWALAH
Pengertian Hiwalah
Menurut bahasa berarti pemindahan, pengalihan atau pengoperan. Menurut istilah berartipengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.
Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah adalah memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah  Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.
Dasar Hukum Hiwalah
Pelaksanaan Al Hiwalah dibenarkan dalam Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, (artinya) : ”Orang yang mampu membayar haram atas melalaikan hutangnya. Apabila salah seorang diantara kamu memindahkan hutangnya kepada orang lain, hendaklah diterima pilihan itu, asal yang lain itu mampu membayar”. (HR. Ahmad dan Baihaqi)
Rukun Hiwalah
a)      Pihak pertama (muhil) yaitu orang yang menghiwalahkan (memindahkan) utang
b)      Pihak kedua (muhal) yaitu orang yang dihiwalahkan (orang yang mempunyai utang kepada muhil)
c)      Pihak ketiga (muhal ‘alaih) yaitu orang yang menerima hiwalah
d)     Ada piutang muhil kepada muhal
e)      Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil
f)       Ada sighat hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya, “Akuhiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada fulan” dan kabuldari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima hiwalah engkau”. (Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iayah, hal. 57-58)
Syarat Hiwalah
a)      Ada kerelaan muhil (orag yang berhutang dan ingin memindahkan hutang)
b)      Ada persetujuan  dari muhal (orang yang member hutang)
c)      Hutang yang akan dialihkan keadaannya masih tetap dalam pengakuan
d)     Adanya kesamaan hutang muhil dan muhal ‘alaih (orang yang menerima pemindahan hutang) dalam jenisnya, macamnya, waktu penangguhannya dan waktu pembayarannya.Dengan hiwalah hutang muhil bebas.
Berakhirnya Akad Hiwalah
a)      Fasakh. apabila akad hiwalah telah fasakh ( batal) , maka hak muhal untuk menuntut utang kembali kepada muhil, pengertian fasakh dalam istilah fukaha adalah berhentinya akad sebelum tujuana akad tercapai.
b)      Hak muhal ( utang) sulit untuk dapat kembali karena muhal alaih meninggal dunia, boros, ( safih) atau lainnya, dalam keadaan semacam ini dalam urusan penyelesaian utang kembalikepada muhil. Pendapat ini dikemukakan oleh hanafiah, akan tetapi menurut malikiyah, syafi’iah, hanabilah. Apabila akad hiwalah sudah sempurnadan hak sudah berpindah serta di setujuioleh muhal maka hak penagihan tidak kembali kepada muhil, baik hak tersebut bisa dipenuhi atau tidak karena meninggalnya muhal muhal alaih atau boros. Apabila dalam pemindahan utang tersebut terjadi gharar (penipuan) menurut malikiyah, hak penagihan utang kembali kepada muhil.
c)      Penyerahan harta oleh muhal alaih kepada muhal.
d)     Meninggalnya muhal atau muhal alaih mewarisi harta hiwalah.
e)      Muhal menghibahkan hartanya kepada muhal alaih dan ia menerimanya.
f)       Muhal menyerahkan hartanya kepada muhal alaih dan dia menerimanaya
g)      Muhal membebaskan muhal alai
Macam-Macam Hiwalah
a.     Hawalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.
b.      Hawalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
c.       Hawalah al haq adalah pemindahan hak atau piutang dari seorang pemilik piutang lainnya biasanya itu dilakukan bila pihak pertama mempunyai hutang kepada pihak kedua ia membayar utangnya tersebut  dengan piutannya pada pihak lain. Jika pembayaran barang/ benda, maka perbuatantersebut dinamakan sebagai hawalah hak. Pemilik piutang dalam hal ini adalah muhil, karena dia yang memindahkan kepada orang lain untuk memindahkan haknya
d.      Hawalah al dain yaitu lawan dari lawan al haq. Hawalah ad dain adalah pengalihan utang dari seorang penghutang  kepada penghutang lainnya. Ini dapat dilakukan karena penghutang pertama masih mempunyai piutang pada penghutangkedua. Muhil dalam hawalah ini adalah orang yang berutang, karena dia memindahkan kepada orang lain untuk membayar hutangnya. Hiwalah ini di syariatkanberdasarkan kesepakatan ulama.



JI’ALAH
Pengertian Ji’alah
Menurut bahasa berarti mengupah. Menurut istilah berarti sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat diperoleh.
Istilah ji’alah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh fuqaha yaitu memberi upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang atau mengobati orang yang sakit atau menggali sumur sampai memancarkan air atau seseorang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, ji’alah bukan terbatas pada barang yang hilang namun dapat setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.
Dasar Hukum Ji’alah
Dalam Al-Qur’an Dengan tegas Allah membolehkan memberikan upah kepada orang lain yang telah berjasa menemukan barang yang hilang. Hal itu di tegaskan dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 72:
Artinya: “Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".

Rukun Ji’alah
a.       Lafal: Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan tidak ditentukan waktunya. Jika mengerjakan ji’alah tanpa seizing orang yang menyuruh (Pemilik barang) maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu ditemukan.
b.      Orang yang menjanjikan memberi upah: Dapat berupa orang yang kehilangan barang atau orang lain.
c.       Pekerjaan: Mencari barang yang hilang.
d.      Upah harus jelas: Telah ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum melaksanakan pekerjaan (menemukan barang).
Syarat Ji’alah
a.       Pihak-pihak yang berji'alah wajib memiliki kecakapan bermu'amalah (ahliyyah al-tasharruf), yaitu berakal, baligh, dan rasyid (tidak sedang dalam perwalian). Jadi ji'alah tidak sah dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.
b.      upah (ja’il) yang dijanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika upahnya tidak jelas, maka akad ji’alah batal adanya, karena ketidak pastian kompensasi. Seperti, barang siapa yang menemukan mobil saya yang hilang, maka ia berhak mendapatkan baju. Selain itu, upah yang diperjanjikan itu bukanlah barang haram, seperti minuman keras.
c.       Aktivitas yang akan diberi kompensasi wajib aktivitas yang mubah, bukan yang haram dan diperbolehkan secara syar’i. Tidak diperbolehkan menyewa tenaga paranormal untuk mengeluarkan jin, praktek sihir, atau praktek haram lainnya. Kaidahnya adalah, setiap asset yang boleh dijadikan sebagai obyek transaksi dalam akad ji’alah
d.      Kompensasi (materi) yang diberikan harus jelas diketahui jenis dan jumlahnya (ma'lum), di samping tentunya harus halal.
Berakhirnya Jialah
Madzab Malikiyah menyatakan, akad ji’alah boleh dibatalkan ketika pekerjaan belum dilaksanakan oleh pekerja (‘amil). Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, akad ji’alah boleh dibatalkan kapanpun,\ sebagaimana akad-akad lain, seperti syirkah dan wakalah, sebelum pekerjaan diselesaikan secara sempurna. Jika akad dibatalkan di awal, atau di tengah berlangsungnya kontrak, maka hal itu tidak masalah, karena tujuan akad belum tercapai. Jika akad dibatalkan setelah dilaksanakannya pekerjaan, maka ’amil boleh mendapatkan upah sesuai yang dikerjakan.
Pembatalan jialah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang yang kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan jialah atau orang yang mencari barang) sebelum bekerja. Jika pembatalan datang dari orang yang bekerja mencari barang, maka ia tidak mendapatkan upah sekalipun ia telah bekerja. Tetapi, jika yang membatalkannya itu pihak yang menjanjikan upah maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang telah dilakukan.



MUKHABARAH
Pengertian Mukhabarah
Dalam kamus, mukhabarah ialah kerja sama pengolahan pertanian antara lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal dari penggarap. Bentuk kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi menurut kesepakatan. Biaya dan benihnya dari pemilik tanah.[21]
Ulama’ Syafi’iyah membedakan antara mujara’ah dan mukabarah:
اَلْمُخَبَرَةُهِيَ عَمَلُ اْلاَرْضِ بِبَعْضِ مَا يَحْرُجُ مِنْهَا وَألْبَذْرُمِنَ الْعَامِلِ . وَالْمُزَارَعَةُ هِيَ اَلْمُخَابَرَةُ وَلَكِنَّ الْبَذْ رَفِيْهَا يَكُوْنُ مِنَ الْمَالِكِ.
"Mukabarah adalah mengelola tanah diatas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun mujara’ah sama seperti Mukabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah."[22]
Adapun pengertian lain dari mukhabarah menuru para ahli ialah:[23]
1.    Menurut dhahir nash, al-Syafi’i berpendapat bahwa mukhabarah ialah:
معاملة العامل فى الأرض ببعض مايخرج منها على ان يكون البذر من الملك
“Menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut”
2.    Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa mukhabarah ialah:
عمل العامل فى ارض الملك ببعض ما يخرج منها والبذر من العامل
“Sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola”
Dapat dipahami dari pemaparan di atas bahwa mukhabarah dan muzara’ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Perbedannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah disebut muzara’ah.
Pada umumnya, kerja sama mukhabarah ini dilakukan pada perkebunan yang benihnya relatif murah, seperti padi, jagung dan kacang. Namun tidak tertutup kemungkinan pada tanaman yang benihnya relatif murah juga dilakukan kerja sama muzara’ah.
Landasan Hukum Mukhabarah
Sebagian besar ulama melarang paroan tanah semacam ini. Mereka beralasan pada beberapa hadits yang melarang paroan tersebut. Hadits itu ada dalam kitab Hadits Bukhari dan
Muslim, diantaranya:
عن رافع بن خديج قال كنا اكثر الانصار حقلا فكنا نكرى الارض على ان لنا هذه ولهم هذه فربما اخرجت هذه ولم تخرج هذه فنهانا عن ذلك - رواه البخارى
Rafi’ bin Khadij berkata, “Di antara Ansar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagia untuk mereka yang mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik, dan yang lain tidak berhasil. Oleh karena itu, Rasulullah SAW melarang paroan dengan cara demikian.” (Riwayat Bukhari)
Ulama yang lain berpendapat tidak ada halangan. Pendapat ini dikuatkan oleh Nabawi, Ibnu Mundzir, dan Khattabi. Mereka mengambil alasan hadits Ibnu Umar:
عن ابن عمر ان النبى صلى الله عليه وسلم عاعمل اهل خيبر بشرط ما يخرج منها من ثمر او زرع - رواه مسلم
Dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Nabi SAW telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah-buahan maupun dari hasil pertahunan (Palawija).” (Riwayat Muslim)
Adapun hadis yang melarang tadi maksudnya hanya apabila penghasilan dari sebagian tanah ditentukan mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian dimasa dahulu itu mereka memarokan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan dari tanah yang lebih subur, persentase bagian masing-masingpun tidak diketahui. Keadaan inilah yang dilarang oleh junjungan Nabi Saw dalan hadis tersebut, sebab pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan jujur. Pendapat inipun dikuatkan dengan alasan bila dipandang dari segi kemaslahatan dan kebutuhan orang banyak. Memang kalau kita selidiki hasil dari adanya paroan ini terhadap umum, sudah tentu kita akan lekas mengambil keputusan yang sesuai dengan pendapat yang kedua ini.
Landasan hukum yang membolehkan mukhabarah dan muzaraah, dari sabda Nabi saw :
عَنْ طَاوُسِ أَنَّهُ كَانَ يُخَبِرُ, قَالَ عَمْرٌو فَقُلْتُ لَهُ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَن لَوْ تَرَكْتَ هَذِهِ الْمُخَابَرَةَ فَاءِنَّهُمْ يَزْعُمُوْنَ أَنَّ النَّبِىَّ صَلى اللّه عَليه وسلم نَهَى عَنِ الْمُخَاب ةِ فَقَالَ أَيْ عَمْرٌو : أَخْبِرْنِى أَعْلَمُهُمْ بِذَالِكَ يَعْنِى ابْنَ عَبَّاسٍ أَننَّ النَّبيَّ صلى اللّه عليه وسلم لَمْ يَنْهَ عَنْهَا إِنَّمَا قَالَ يَمْنَحُ أَ حَدُكُمْ أَخَاهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْ خُذُ عَلَيْهَا خَرْجًا مَعْلُوْمًا (رواه مسلم)
“Dari Thawus ra. bahwa ia suka bermukhabarah. Umar berkata: lalu aku katakan kepadanya: ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi saw telah melarang mukhabarah. Lantas Thawus berkata : hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi saw tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata: seseorang memberi manfaat kepada saudaranya lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu”. (HR.Muslim)
Jadi, hukum mukhabarah sama seperti muzara’ah yaitu mubah atau boleh dan seseorang dapat melakukannya untuk dapat memberi dan mendapat manfaatnya dari kerjasama muzara’ah dan mukhabarah ini.
Rukun dan Syarat Mukhabarah
Rukun Mukhabarah menurut jumhur ulama antara lain:
1.             Pemilik tanah
2.             Petani/Penggarap
3.             Objek mukhabarah
4.             Ijab dan qabul, keduanya secara lisan.
Adapun syarat dalam mukhabarah, diantaranya :
a)             Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal.
b)             Benih yang akan ditanam harusjelas dan menghasilkan.
c)             Lahan merupakan lahan yang menghasilkan,jelas batas batasnya,dan diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.Pembagian untuk masing-masing harus jelas penentuannya.
d)            Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.
Berakhirnya Muzara’ah dan Mukhabarah
Beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya muzara’ah dan mukhabarah:
a.                Habis masa muzara’ah dan mukhabarah
b.                Salah seorang yang akad meninggal
c.                Adanya uzur. Menurut ulama Hanafiyah, diantara uzur yang mengnyebabkan batalnya muzara’ah, antara lain :
1.         Tanah garapan terpaksa dijual, misalnya untuk membayar hutang
2.         Si penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad di jalan Allah SWT dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Al Fauzan,Saleh. 2005. Fiqh Sehari-hari. Jakarta: Gema Indah Press
Antonio, Muhammad  Syafi’i. 2001.  Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani
Ghazali, Abdul Rahman, dkk. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana
Mardani. 2012.  Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh muamalah. Jakarata: Kencana
Nawawi, Ismail. 2012.  Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia
Rasjid, Sulaiman. 2012. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensido
Rifai, Moh. 1978. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: CV. Toha Putra Semarang
Sarong, A. Hamid, dkk. 2009. Fiqh. Banda Aceh: Bandar Publishing
Sholahuddin, Muhammad. 2011.  Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan, dan Bisnis Syari’ah. Jakarta: IKAPI
Suhendi, Hendi. 2008.  Fiqh Muamalah.  Jakarta: Rajawali Pers
Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia

Syarifudin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh. Bogor:  Kencana

1 komentar:

  1. kunjungi juga alamat ini :
    https://makalahmahasiswaabadi.blogspot.co.id
    https://anggrekvanda15.blogspot.co.id
    https://ceritaonepiece15.blogspot.co.id
    https://ulasanbalapmotogp.blogspot.co.id

    BalasHapus