HIWALAH
Pengertian
Hiwalah
Menurut bahasa berarti pemindahan, pengalihan atau
pengoperan. Menurut istilah berartipengalihan hutang dari orang yang
berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.
Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah adalah memidahkan tagihan dari tanggung jawab
yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula. Menurut
Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah Pemindahan utang dari
beban seseorang menjadi beban orang lain.
Dasar
Hukum Hiwalah
Pelaksanaan Al Hiwalah dibenarkan dalam Islam. Sebagaimana
sabda Rasulullah SAW, (artinya) : ”Orang yang mampu membayar haram atas
melalaikan hutangnya. Apabila salah seorang diantara kamu memindahkan hutangnya
kepada orang lain, hendaklah diterima pilihan itu, asal yang lain itu mampu
membayar”. (HR. Ahmad dan Baihaqi)
Rukun
Hiwalah
a) Pihak pertama (muhil) yaitu orang
yang menghiwalahkan (memindahkan) utang
b) Pihak kedua (muhal) yaitu orang yang
dihiwalahkan (orang yang mempunyai utang kepada muhil)
c) Pihak ketiga (muhal ‘alaih) yaitu
orang yang menerima hiwalah
d) Ada piutang muhil kepada muhal
e) Ada piutang muhal
‘alaih kepada muhil
f) Ada sighat
hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya,
“Akuhiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada fulan”
dan kabuldari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima
hiwalah engkau”. (Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iayah, hal. 57-58)
Syarat
Hiwalah
a) Ada kerelaan muhil (orag yang
berhutang dan ingin memindahkan hutang)
b) Ada persetujuan dari
muhal (orang yang member hutang)
c) Hutang yang akan dialihkan
keadaannya masih tetap dalam pengakuan
d) Adanya kesamaan hutang muhil dan
muhal ‘alaih (orang yang menerima pemindahan hutang) dalam jenisnya, macamnya,
waktu penangguhannya dan waktu pembayarannya.Dengan hiwalah hutang muhil bebas.
Berakhirnya
Akad Hiwalah
a) Fasakh. apabila akad hiwalah telah
fasakh ( batal) , maka hak muhal untuk menuntut utang kembali kepada muhil,
pengertian fasakh dalam istilah fukaha adalah berhentinya akad sebelum tujuana
akad tercapai.
b) Hak muhal ( utang) sulit untuk dapat
kembali karena muhal alaih meninggal dunia, boros, ( safih) atau lainnya, dalam
keadaan semacam ini dalam urusan penyelesaian utang kembalikepada muhil.
Pendapat ini dikemukakan oleh hanafiah, akan tetapi menurut malikiyah,
syafi’iah, hanabilah. Apabila akad hiwalah sudah sempurnadan hak sudah
berpindah serta di setujuioleh muhal maka hak penagihan tidak kembali kepada
muhil, baik hak tersebut bisa dipenuhi atau tidak karena meninggalnya muhal
muhal alaih atau boros. Apabila dalam pemindahan utang tersebut terjadi gharar
(penipuan) menurut malikiyah, hak penagihan utang kembali kepada muhil.
c) Penyerahan harta oleh muhal alaih
kepada muhal.
d) Meninggalnya muhal atau muhal alaih
mewarisi harta hiwalah.
e) Muhal menghibahkan hartanya kepada
muhal alaih dan ia menerimanya.
f) Muhal menyerahkan hartanya kepada
muhal alaih dan dia menerimanaya
g) Muhal membebaskan muhal alai
Macam-Macam
Hiwalah
a. Hawalah Muthlaqoh terjadi jika orang
yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak
penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang
kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan
B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka
hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah
sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.
b. Hawalah Muqoyyadah terjadi jika
Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir
punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan
kesepakatan para ulama.
c. Hawalah al haq adalah pemindahan hak
atau piutang dari seorang pemilik piutang lainnya biasanya itu dilakukan bila
pihak pertama mempunyai hutang kepada pihak kedua ia membayar utangnya tersebut
dengan piutannya pada pihak lain. Jika pembayaran barang/ benda, maka
perbuatantersebut dinamakan sebagai hawalah hak. Pemilik piutang dalam hal ini
adalah muhil, karena dia yang memindahkan kepada orang lain untuk memindahkan
haknya
d. Hawalah al dain yaitu lawan dari
lawan al haq. Hawalah ad dain adalah pengalihan utang dari seorang
penghutang kepada penghutang lainnya. Ini dapat dilakukan karena
penghutang pertama masih mempunyai piutang pada penghutangkedua. Muhil dalam
hawalah ini adalah orang yang berutang, karena dia memindahkan kepada orang
lain untuk membayar hutangnya. Hiwalah ini di syariatkanberdasarkan kesepakatan
ulama.
JI’ALAH
Pengertian
Ji’alah
Menurut bahasa berarti mengupah. Menurut istilah
berarti sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat
diperoleh.
Istilah ji’alah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh
fuqaha yaitu memberi upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang
hilang atau mengobati orang yang sakit atau menggali sumur sampai memancarkan
air atau seseorang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, ji’alah bukan terbatas
pada barang yang hilang namun dapat setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan
seseorang.
Dasar
Hukum Ji’alah
Dalam Al-Qur’an Dengan tegas Allah membolehkan memberikan
upah kepada orang lain yang telah berjasa menemukan barang yang hilang. Hal itu
di tegaskan dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 72:
Artinya:
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa
yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta,
dan aku menjamin terhadapnya".
Rukun
Ji’alah
a. Lafal: Lafal itu mengandung arti
izin kepada yang akan bekerja dan tidak ditentukan waktunya. Jika mengerjakan
ji’alah tanpa seizing orang yang menyuruh (Pemilik barang) maka baginya tidak
berhak memperoleh imbalan jika barang itu ditemukan.
b. Orang yang menjanjikan memberi upah:
Dapat berupa orang yang kehilangan barang atau orang lain.
c. Pekerjaan: Mencari barang yang
hilang.
d. Upah harus jelas: Telah ditentukan
dan diketahui oleh seseorang sebelum melaksanakan pekerjaan (menemukan barang).
Syarat
Ji’alah
a. Pihak-pihak yang berji'alah wajib
memiliki kecakapan bermu'amalah (ahliyyah al-tasharruf), yaitu berakal, baligh,
dan rasyid (tidak sedang dalam perwalian). Jadi ji'alah tidak sah dilakukan
oleh orang gila atau anak kecil.
b. upah (ja’il) yang dijanjikan harus
disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika upahnya tidak jelas, maka akad ji’alah
batal adanya, karena ketidak pastian kompensasi. Seperti, barang siapa yang
menemukan mobil saya yang hilang, maka ia berhak mendapatkan baju. Selain itu,
upah yang diperjanjikan itu bukanlah barang haram, seperti minuman keras.
c. Aktivitas yang akan diberi
kompensasi wajib aktivitas yang mubah, bukan yang haram dan diperbolehkan
secara syar’i. Tidak diperbolehkan menyewa tenaga paranormal untuk mengeluarkan
jin, praktek sihir, atau praktek haram lainnya. Kaidahnya adalah, setiap asset
yang boleh dijadikan sebagai obyek transaksi dalam akad ji’alah
d. Kompensasi (materi) yang diberikan
harus jelas diketahui jenis dan jumlahnya (ma'lum), di samping tentunya harus
halal.
Berakhirnya
Jialah
Madzab Malikiyah menyatakan, akad ji’alah boleh dibatalkan
ketika pekerjaan belum dilaksanakan oleh pekerja (‘amil). Sedangkan menurut
Syafi’iyah dan Hanabilah, akad ji’alah boleh dibatalkan kapanpun,\ sebagaimana
akad-akad lain, seperti syirkah dan wakalah, sebelum pekerjaan diselesaikan
secara sempurna. Jika akad dibatalkan di awal, atau di tengah berlangsungnya
kontrak, maka hal itu tidak masalah, karena tujuan akad belum tercapai. Jika
akad dibatalkan setelah dilaksanakannya pekerjaan, maka ’amil boleh mendapatkan
upah sesuai yang dikerjakan.
Pembatalan jialah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak
(orang yang kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan jialah atau orang
yang mencari barang) sebelum bekerja. Jika pembatalan datang dari orang yang
bekerja mencari barang, maka ia tidak mendapatkan upah sekalipun ia telah
bekerja. Tetapi, jika yang membatalkannya itu pihak yang menjanjikan upah maka
yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang telah dilakukan.
MUKHABARAH
Pengertian Mukhabarah
Dalam kamus, mukhabarah ialah
kerja sama pengolahan pertanian antara lahan dan penggarap dimana pemilik lahan
memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara
dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya
berasal dari penggarap. Bentuk kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap
dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi menurut kesepakatan. Biaya dan
benihnya dari pemilik tanah.[21]
Ulama’ Syafi’iyah membedakan
antara mujara’ah dan mukabarah:
اَلْمُخَبَرَةُهِيَ عَمَلُ اْلاَرْضِ بِبَعْضِ مَا يَحْرُجُ
مِنْهَا وَألْبَذْرُمِنَ الْعَامِلِ . وَالْمُزَارَعَةُ هِيَ اَلْمُخَابَرَةُ
وَلَكِنَّ الْبَذْ رَفِيْهَا يَكُوْنُ مِنَ الْمَالِكِ.
"Mukabarah
adalah mengelola tanah diatas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal
dari pengelola. Adapun mujara’ah sama seperti Mukabarah, hanya saja benihnya
berasal dari pemilik tanah."[22]
Adapun pengertian lain dari mukhabarah menuru
para ahli ialah:[23]
1. Menurut dhahir
nash, al-Syafi’i berpendapat bahwa mukhabarah ialah:
معاملة العامل فى الأرض ببعض مايخرج منها على ان يكون البذر من
الملك
“Menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah
tersebut”
2. Syaikh Ibrahim
al-Bajuri berpendapat bahwa mukhabarah ialah:
عمل العامل فى ارض الملك ببعض ما يخرج منها والبذر من العامل
“Sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada
pekerja dan modal dari pengelola”
Dapat dipahami dari pemaparan di atas
bahwa mukhabarah dan muzara’ah ada kesamaan
dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi
pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang
lain untuk dikelola. Perbedannya ialah pada modal, bila modal berasal dari
pengelola disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari
pemilik tanah disebut muzara’ah.
Pada umumnya, kerja sama mukhabarah ini
dilakukan pada perkebunan yang benihnya relatif murah, seperti padi, jagung dan
kacang. Namun tidak tertutup kemungkinan pada tanaman yang benihnya relatif
murah juga dilakukan kerja sama muzara’ah.
Landasan Hukum
Mukhabarah
Sebagian besar ulama melarang paroan
tanah semacam ini. Mereka beralasan pada beberapa hadits yang melarang paroan
tersebut. Hadits itu ada dalam kitab Hadits Bukhari dan
Muslim, diantaranya:
عن رافع بن خديج قال كنا اكثر الانصار حقلا فكنا نكرى الارض
على ان لنا هذه ولهم هذه فربما اخرجت هذه ولم تخرج هذه فنهانا عن ذلك - رواه
البخارى
Rafi’ bin Khadij berkata, “Di antara Ansar yang paling banyak mempunyai
tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagia
untuk mereka yang mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah itu berhasil
baik, dan yang lain tidak berhasil. Oleh karena itu, Rasulullah SAW melarang
paroan dengan cara demikian.” (Riwayat Bukhari)
Ulama yang lain berpendapat tidak ada halangan. Pendapat
ini dikuatkan oleh Nabawi, Ibnu Mundzir, dan Khattabi. Mereka mengambil alasan
hadits Ibnu Umar:
عن ابن عمر ان النبى صلى الله عليه وسلم عاعمل اهل خيبر بشرط
ما يخرج منها من ثمر او زرع - رواه مسلم
Dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Nabi SAW telah memberikan kebun beliau kepada
penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan
diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah-buahan maupun dari hasil
pertahunan (Palawija).” (Riwayat Muslim)
Adapun hadis yang melarang tadi
maksudnya hanya apabila penghasilan dari sebagian tanah ditentukan mesti
kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian dimasa dahulu
itu mereka memarokan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan dari tanah
yang lebih subur, persentase bagian masing-masingpun tidak diketahui. Keadaan
inilah yang dilarang oleh junjungan Nabi Saw dalan hadis tersebut, sebab
pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan jujur. Pendapat inipun
dikuatkan dengan alasan bila dipandang dari segi kemaslahatan dan kebutuhan
orang banyak. Memang kalau kita selidiki hasil dari adanya paroan ini terhadap
umum, sudah tentu kita akan lekas mengambil keputusan yang sesuai dengan
pendapat yang kedua ini.
Landasan hukum yang membolehkan mukhabarah dan muzaraah,
dari sabda Nabi saw :
عَنْ طَاوُسِ أَنَّهُ كَانَ يُخَبِرُ, قَالَ عَمْرٌو فَقُلْتُ
لَهُ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَن لَوْ تَرَكْتَ هَذِهِ الْمُخَابَرَةَ
فَاءِنَّهُمْ يَزْعُمُوْنَ أَنَّ النَّبِىَّ صَلى اللّه عَليه وسلم نَهَى عَنِ
الْمُخَاب ةِ فَقَالَ أَيْ عَمْرٌو : أَخْبِرْنِى أَعْلَمُهُمْ بِذَالِكَ يَعْنِى
ابْنَ عَبَّاسٍ أَننَّ النَّبيَّ صلى اللّه عليه وسلم لَمْ يَنْهَ عَنْهَا
إِنَّمَا قَالَ يَمْنَحُ أَ حَدُكُمْ أَخَاهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْ خُذُ
عَلَيْهَا خَرْجًا مَعْلُوْمًا (رواه مسلم)
“Dari Thawus ra. bahwa ia suka bermukhabarah. Umar berkata: lalu aku
katakan kepadanya: ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini,
nanti mereka mengatakan bahwa Nabi saw telah melarang mukhabarah. Lantas Thawus
berkata : hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh
mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi saw tidak melarang
mukhabarah itu, hanya beliau berkata: seseorang memberi manfaat kepada
saudaranya lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan
upah tertentu”. (HR.Muslim)
Jadi, hukum mukhabarah sama seperti
muzara’ah yaitu mubah atau boleh dan seseorang dapat melakukannya untuk dapat
memberi dan mendapat manfaatnya dari kerjasama muzara’ah dan mukhabarah ini.
Rukun dan Syarat Mukhabarah
Rukun Mukhabarah menurut jumhur ulama antara lain:
1. Pemilik tanah
2. Petani/Penggarap
3. Objek mukhabarah
4. Ijab dan qabul, keduanya secara lisan.
Adapun syarat dalam mukhabarah, diantaranya :
a) Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal.
b) Benih yang akan ditanam harusjelas dan menghasilkan.
c) Lahan merupakan lahan yang menghasilkan,jelas batas batasnya,dan diserahkan
sepenuhnya kepada penggarap.Pembagian untuk masing-masing harus jelas
penentuannya.
d) Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.
Berakhirnya Muzara’ah dan Mukhabarah
Beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya muzara’ah dan mukhabarah:
a.
Habis
masa muzara’ah dan mukhabarah
b.
Salah seorang
yang akad meninggal
c.
Adanya uzur.
Menurut ulama Hanafiyah, diantara uzur yang mengnyebabkan batalnya muzara’ah,
antara lain :
1.
Tanah garapan
terpaksa dijual, misalnya untuk membayar hutang
2.
Si penggarap
tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad di jalan Allah SWT dan
lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al Fauzan,Saleh. 2005. Fiqh Sehari-hari. Jakarta:
Gema Indah Press
Antonio,
Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah Dari Teori ke
Praktik. Jakarta: Gema Insani
Ghazali, Abdul Rahman,
dkk. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana
Mardani.
2012. Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh muamalah. Jakarata:
Kencana
Nawawi, Ismail. 2012. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer.
Bogor: Ghalia Indonesia
Rasjid,
Sulaiman. 2012. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensido
Rifai,
Moh. 1978. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: CV. Toha Putra Semarang
Sarong, A.
Hamid, dkk. 2009. Fiqh. Banda Aceh: Bandar Publishing
Sholahuddin,
Muhammad. 2011. Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan, dan Bisnis
Syari’ah. Jakarta: IKAPI
Suhendi, Hendi.
2008. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers
Syafe’i,
Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia
Syarifudin, Amir. 2003. Garis-garis Besar
Fiqh. Bogor: Kencana
kunjungi juga alamat ini :
BalasHapushttps://makalahmahasiswaabadi.blogspot.co.id
https://anggrekvanda15.blogspot.co.id
https://ceritaonepiece15.blogspot.co.id
https://ulasanbalapmotogp.blogspot.co.id