Kamis, 12 Oktober 2017

Makalah Pengertian Sahwat dan macam-macamnya


BAB II
PEMBAHASAN
A.        Pengertian Syahwat
Kalimat syahwat disebut al-Qur'an dalam berbagai kata bentukannya sebanyak tiga belas kali, lima kali di antaranya dalam bentuk masdar, yakni dua kali dalam bentuk mufrad dan tiga kali dalam bentuk jama'.[1] Secara lughawi, syahwat artinya menyukai dan menyenangi (syahiya, syaha-yasha, atau syahwatan), sedangkan maknanya adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya (nuzu’an nafsi ila ma turiduhu ,تريده ما الى فسّالن نزوع.(
Dalam bahasa Arab, syahwah . شها – شهى – يشهى شهوة kata dari berasal yang Dengan singkat Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan syahwat yaitu nafsu atau keinginan bersetubuh, kebirahian.[2] Demikian pula WJS Poerwadarminta mengartikan syahwat berarti kebirahian, nafsu atau kegemaran bersetubuh.[3]Arti yang sama terdapat dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia, syahwat berarti nafsu, keinginan, terutama keinginan bercampur antara laki-laki dan perempuan.[4] Adapun Al-Qur'an menggunakan term syahwat untuk beberapa arti:
1.      Dalam kaitannya dengan pikiran-pikiran tertentu, yakni mengikuti pikiran orang karena mengikuti hawa nafsu seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Nisa/4:27
Artinya:  Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran)
2.      Dihubungkan dengan keinginan manusia terhadap kelezatan dan kesenangan seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surat Ali 'Imran/3:14 dan Maryam/19:59.
Artinya:Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan,
3.      Berhubungan dengan perilaku seks menyimpang seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-A'raf/7:81, dan QS. al-Naml/27:55.
Artinya:  Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.
Artinya:  "Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)".



Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut alQur’an, di dalam diri manusia terkandung dorongan-dorongan yang mendesak manusia untuk melakukan hal-hal yang memberikan kepada kepuasan seksual, kepuasan kepemilikan, kepuasan kenyamanan dan kepuasan harga diri[5].
Orang-orang yang menapaki jalan Allah, dari bermacam-macam aliran (thariqat) dan suluk mereka, telah bersepakat bahwa nafsu insaniah itu sebagai penghalang bagi hati insani untuk mencapai Tuhannya. Hidayat Allah tidak akan menembus dalam sanubarinya, sebelum ia berhasil menundukkan bahkan melenyapkan hawa nafsunya.
 Dalam pokok bahasan ini, manusia dibedakan menjadi dua golongan. Pertama, golongan yang terkalahkan oleh nafsunya, sehingga setiap perilakunya dikendalikan nafsunya. Kedua, golongan yang mampu mengekang, bahkan mengalahkan nafsunya, maka tunduklah nafsu itu pada perintahnya. Para arifin (golongan yang sampai pada tingkat ma'rifatullah) ada di antaranya yang berkata, "Akhir dari perjalanan panjang seseorang yang meniti jalan menuju ma'rifat yaitu, jika dapat membuktikan dirinya telah mampu mengalahkan nafsu-nafsunya. Barangsiapa yang berhasil mengalahkan nafsu itu, maka beruntunglah ia, sebaliknya bagi yang terkalahkan oleh nafsunya, maka merugi dan hancurlah ia".[6]
Allah swt. berfirman:

Artinya: “37. Adapun orang yang melampaui batas, 38. Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, 39. Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). 40. Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,

Hawa nafsu memang selalu mengajak ke arah maksiat, kesia-siaan dan condong untuk memuaskan diri pada kehidupan duniawi. Allah sendiri selalu menekankan terhadap hamba-Nya agar takut kepada-Nya dan tidak memperturutkan hawa nafsu. Mengacu dari maksud tersebut, maka hati manusia akan memiliki dua motivasi. Terkadang ia lebih condong pada dorongan yang pertama dan kadang terdorong oleh motivasi yang kedua. Itulah ujian dan tantangan yang harus dihadapi setiap insan di dunia ini. Allah Swt telah menjelaskan dalam nash-nash Qur'ani tentang jenis-jenis nafsu yang dimiliki manusia, yaitu, nafsu muthmainnah, lawwamah dan ammarah bis-su'.[7]
Dalam konteksnya dengan keterangan di atas, menarik dicatat apa yang dikemukakan Toto Tasmara: Kepribadian manusia yang terlepas dari cahaya qalbu, benar-benar akan menjadi tipe manusia yang hanya memburu kekuasaan syahwat, sehingga, banyak kepribadian manusia yang sakit dikarenakan mendewakan dorongan syahwat yang mempresentasikan kepribadian satu dimensi hawaa yang bermuatan energi negatif, di mana potensi shard dan fu'ad mengecil dan didominasi hawaa. Dengan kata lain, hawaa merupakan pusat kekuatan yang menggerakkan nafs untuk berbuat dengan mengabaikan potensi fusha yang telah dilumpuhkan hawaa. Dia terperosok dalam alam gelap dan masuklah dia dengan dalam kubang kemaksiatan.[8]

B.         Macam-Macam Syahwat
Nafsu (nafs), menurut pengertian yang populer atau menurut pengertian yang biasa dikemukakan dalam lapangan tasawuf-akhlak, adalah dorongan-dorongan alamiah pada manusia, yang mendorong manusia kepada pemenuhan kebutuhan hidupnya. la merupakan tenaga vital bagi manusia; tanpa keberadaannya tak mungkin manusia hidup. Manusia makan dan minum, tidak lain karena ia memiliki nafsu untuk makan dan minum. la berjuang menyingkirkan bahaya, atau menyingkir dari bahaya, tidak lain karena ia memiliki nafsu yang mendorong kepada perbuatan demikian. la mendekati atau menikmati apa yang disenanginya, juga karena dorongan nafsu. Dalam kajian tasawuf-akhlak, nafsu itu lazim dibagi ke dalam tiga kategori:
Pertama adalah nafsu marah (nafs gadabiyyat), yakni nafsu yang mendorong orang untuk marah atau benci kepada apa saja yang mengganggu atau berbahaya bagi kehidupannya. Karena adanya nafsu marah itu, ia berupaya menyingkirkan gangguan atau bahaya itu, dan kalau ia tidak mampu menyingkirkannya, ia akan didorong oleh nafsu itu untuk menyingkirkan diri sendiri, agar jauh dari bahaya itu. Kedua adalah nafsu senang (nafs syahwaniyyat), yakni yang mendorong orang untuk mendapatkan, memiliki, atau dekat dengan apa yang menyenangkan dirinya. Nafsu, yang keberadaannya vital bagi setiap manusia, bersifat buta, dan karena itu perlu dikembangkan serta dikontrol secara benar dan baik oleh akal atau ajaran agama. la dapat dimisalkan seperti sungai yang bisa mengalir tenang dan bisa meluap atau menghancurkan, dan karena itu perlu dikontrol dengan sistem bendungan dan irigasi yang baik, sehingga memberikan manfaat yang maksimal bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Nafsu yang tidak terkontrol dengan baik akan menghasilkan kerusakan, tapi yang terkontrol dengan baik, niscaya membuahkan kebaikan. Nafsu marah yang dikembangkan secara baik (pada jalan yang lurus) oleh akal atau ajaran agama, akan mengangkat orang menjadi manusia yang berani dalam kebenaran. Sebaliknya, bila nafsu marah seseorang tidak dikembangkan niscaya menjadi manusia pengecut, atau kalau dikembangkan tanpa kendali, niscaya menjadi manusia nekad, yang merugikan diri sendiri. Nafsu senang (syahwat), yang dikembangkan secara baik (pada jalan yang lurus) oleh akal atau ajaran agama, akan mengangkat orang menjadi manusia yang bersih (suci). Sebaliknya, ia akan jatuh menjadi manusia serakah (rakus), bila ia membiarkan nafsunya berkembang merajalela, tanpa kontrol, atau menjadi manusia beku, tak berselera, bila nafsu syahwatnya itu dibiarkan tak berkembang. Demikianlah, nafsu yang bersifat vital itu perlu dikembangkan oleh akal yang bijaksana, atau akal yang mendapat penerangan dari agama yang benar. Nafsu yang sering dikatakan senantiasa mendorong kepada kejahatan (nafs ammarat), tidak lain dari nafsu yang lepas dari kontrol akal yang bijaksana[9]
Kedua, mencintai kelezatan dunia. jika hati manusia ini sudah terbelenggu penyakit cinta dunia, kedudukan, popularitas, atau harta kekayaan, maka syahwat dan nafsunya yang secara alami cenderung pada kejelekan— akan mengendalikan hatinya agar menjadi budak bagi semua yang dicintainya. Bagaimana jika nafsu liar ini bebas memangsa dunia yang dicintainya? Akibatnya, bimbingan hati nurani atas semua jasad akan lepas. Tidak akan ada lagi hidayah yang membimbingnya, selain dorongan nafsu semata. Demikian halnya dengan pencinta popularitas, yang mendambakan setiap orang mengenal kebaikan atau kemahirannya, untuk mendapatkan status yang lebih tinggi di tengah masyarakat[10] Penyakit hati yang satu ini akan menyebabkan munculnya penyakit-penyakit lain, seperti 'ujub (merasa paling hebat ibadahnya), riya' (sombong), dan terlalu bergantung pada amal kebaikannya sehingga lupa bahwa di antara kebaikannya tersimpan banyak kesalahan. Lebih parah lagi jika penyakit dunia dan status ini menyerang para pemuka agama. Agama akan dijadikan sarana untuk mengumpulkan materi dan merebut simpati massa, yang pada gilirannya akan mendorongnya menjadi budak nafsu yang menghalalkan segala cara. Akan tetapi, bagi mereka yang mendapatkan pemeliharaan dari Allah, tentu saja tidak demikian. Bagi mereka, dunia, kedudukan, dan popularitas duniawi yang didapatkannya tidak akan pernah menggusurnya hanyut dalam kerusakan; karena semua aspek duniawi yang mereka peroleh tidak pernah mendapat tempat di hatinya. Mereka bahkan berkuasa mengatur dan mengendalikan dunia sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi, para wali, dan para ulama yang saleh[11]
Seseorang yang terpanah cinta dunia menganggap kehidupan itu hanyalah apa yang dapat dilihat, didengar dan rasakan di dunia ini. Mereka dipermainkan oleh dunianya sehingga sebanyak-banyaknya mengumpulkan dan menghimpun seluruh materi dunia yang dia cintai. Banyak manusia yang menjadi buta dan dungu dengan tipuan dunianya. Mereka menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya untuk meraih kemenangan dalam kompetisi duniawi yang segera akan berakhir dengan kematian, sementara dirinya lelah karena diperbudak dunia. Mereka selalu merasa belum mendapatkannya. Padahal mereka tidak merasakan apa pun selain bayangan fatamorgana yang menjanjikan kesegaran semu di tengah kehausan. Adanya larangan hubbud-dunya merupakan peringatan agar setiap orang selalu waspada dalam menghadapi dan mengantisipasi seluruh problematika dan dinamika kehidupan di dunia.[12]
Ketiga syahwat dalam arti nafsu seks yang menyimpang atau free sex. Elisabeth Lukas, seorang logoterapis kondang, sebagaimana dikutip oleh Hanna Djumhana Bastaman mengatakan: salah satu prestasi penting dari proses modernisasi di dunia Barat, yakni melepaskan diri dari berbagai belenggu tradisi yang serba menghambat, sekaligus berhasil meraih kebebasan (freedom) dalam hampir semua bidang kehidupan[13]


 CATATAN KAKI
  1. Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam AlQur’an, Paramadina, Jakarta, 2000, hlm. 156
  2. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 1114
  3. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hlm. 985
  4. Sutan Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, tth, hlm. 893.
  5. Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hlm. 79
  6. Ahmad Faried, Menyucikan Jiwa: Konsep Ulama Salaf, Terj. M. Azhari Hatim, Risalah Gusti, Surabaya, 1977, hlm. 69
  7. Ahmad Faried, op. cit, hlm. 70
  8. Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah, Gema Insani Press, Jakarta, 2003, hlm. 122
  9. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Anggota IKAPI, Jakarta, 1992, hlm. 723
  10. Uwes Al-Qorni, Penyakit Hati, Rosda Karya, Bandung, 2003, hlm. 10 – 11
  11. Ibid, hlm. 12 – 13.
  12. Aba Firdaus Al-Halwani dan Sriharini, Manajemen Terapi Qalbu, Media Insani, Yogyakarta, 2002, hlm. 34 – 35.
  13. Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam, menuju psikologi islami, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm. 192 



1 komentar:

  1. kunjungi juga alamat ini :
    https://makalahmahasiswaabadi.blogspot.co.id
    https://anggrekvanda15.blogspot.co.id
    https://ceritaonepiece15.blogspot.co.id
    https://ulasanbalapmotogp.blogspot.co.id

    BalasHapus