PEMBAHASAN
A.
Pengertian Syahwat
Kalimat
syahwat disebut al-Qur'an dalam berbagai kata bentukannya sebanyak tiga belas
kali, lima kali di antaranya dalam bentuk masdar, yakni dua kali dalam bentuk
mufrad dan tiga kali dalam bentuk jama'.[1] Secara
lughawi, syahwat artinya menyukai dan menyenangi (syahiya, syaha-yasha, atau
syahwatan), sedangkan maknanya adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang
dikehendakinya (nuzu’an nafsi ila ma turiduhu ,تريده
ما الى فسّالن نزوع.(
Dalam bahasa
Arab, syahwah . شها – شهى – يشهى - شهوة kata
dari berasal yang Dengan singkat Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan
syahwat yaitu nafsu atau keinginan bersetubuh, kebirahian.[2] Demikian
pula WJS Poerwadarminta mengartikan syahwat berarti kebirahian, nafsu atau
kegemaran bersetubuh.[3]Arti yang sama terdapat dalam
Kamus Modern Bahasa Indonesia, syahwat berarti nafsu, keinginan, terutama
keinginan bercampur antara laki-laki dan perempuan.[4] Adapun
Al-Qur'an menggunakan term syahwat untuk beberapa arti:
1.
Dalam kaitannya dengan pikiran-pikiran tertentu, yakni
mengikuti pikiran orang karena mengikuti hawa nafsu seperti dijelaskan dalam
al-Qur’an surat al-Nisa/4:27
Artinya: Dan
Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya
bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran)
2.
Dihubungkan dengan keinginan manusia terhadap kelezatan
dan kesenangan seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surat Ali 'Imran/3:14 dan
Maryam/19:59.
Artinya:. Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang
jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka
kelak akan menemui kesesatan,
3.
Berhubungan dengan perilaku seks menyimpang seperti
dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-A'raf/7:81, dan QS. al-Naml/27:55.
Artinya: Sesungguhnya
kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada
wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.
Artinya:
"Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan
(mendatangi) wanita? sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat
perbuatanmu)".
Dari ayat-ayat
tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut alQur’an, di dalam diri manusia
terkandung dorongan-dorongan yang mendesak manusia untuk melakukan hal-hal yang
memberikan kepada kepuasan seksual, kepuasan kepemilikan, kepuasan kenyamanan
dan kepuasan harga diri[5].
Orang-orang
yang menapaki jalan Allah, dari bermacam-macam aliran (thariqat) dan suluk
mereka, telah bersepakat bahwa nafsu insaniah itu sebagai penghalang bagi hati
insani untuk mencapai Tuhannya. Hidayat Allah tidak akan menembus dalam
sanubarinya, sebelum ia berhasil menundukkan bahkan melenyapkan hawa nafsunya.
Dalam pokok
bahasan ini, manusia dibedakan menjadi dua golongan. Pertama, golongan yang
terkalahkan oleh nafsunya, sehingga setiap perilakunya dikendalikan nafsunya.
Kedua, golongan yang mampu mengekang, bahkan mengalahkan nafsunya, maka
tunduklah nafsu itu pada perintahnya. Para arifin (golongan yang sampai pada
tingkat ma'rifatullah) ada di antaranya yang berkata, "Akhir dari
perjalanan panjang seseorang yang meniti jalan menuju ma'rifat yaitu, jika
dapat membuktikan dirinya telah mampu mengalahkan nafsu-nafsunya. Barangsiapa
yang berhasil mengalahkan nafsu itu, maka beruntunglah ia, sebaliknya bagi yang
terkalahkan oleh nafsunya, maka merugi dan hancurlah ia".[6]
Allah swt.
berfirman:
Artinya: “37. Adapun
orang yang melampaui batas, 38. Dan lebih mengutamakan kehidupan
dunia, 39. Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). 40. Dan
Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya,”
Hawa nafsu
memang selalu mengajak ke arah maksiat, kesia-siaan dan condong untuk memuaskan
diri pada kehidupan duniawi. Allah sendiri selalu menekankan terhadap hamba-Nya
agar takut kepada-Nya dan tidak memperturutkan hawa nafsu. Mengacu dari maksud
tersebut, maka hati manusia akan memiliki dua motivasi. Terkadang ia lebih condong
pada dorongan yang pertama dan kadang terdorong oleh motivasi yang kedua.
Itulah ujian dan tantangan yang harus dihadapi setiap insan di dunia ini. Allah
Swt telah menjelaskan dalam nash-nash Qur'ani tentang jenis-jenis nafsu yang
dimiliki manusia, yaitu, nafsu muthmainnah, lawwamah dan ammarah bis-su'.[7]
Dalam
konteksnya dengan keterangan di atas, menarik dicatat apa yang dikemukakan Toto
Tasmara: Kepribadian manusia yang terlepas dari cahaya qalbu, benar-benar akan
menjadi tipe manusia yang hanya memburu kekuasaan syahwat, sehingga, banyak
kepribadian manusia yang sakit dikarenakan mendewakan dorongan syahwat yang
mempresentasikan kepribadian satu dimensi hawaa yang bermuatan energi negatif,
di mana potensi shard dan fu'ad mengecil dan didominasi hawaa. Dengan kata
lain, hawaa merupakan pusat kekuatan yang menggerakkan nafs untuk berbuat
dengan mengabaikan potensi fusha yang telah dilumpuhkan hawaa. Dia
terperosok dalam alam gelap dan masuklah dia dengan dalam kubang kemaksiatan.[8]
B.
Macam-Macam Syahwat
Nafsu (nafs),
menurut pengertian yang populer atau menurut pengertian yang biasa dikemukakan
dalam lapangan tasawuf-akhlak, adalah dorongan-dorongan alamiah pada manusia,
yang mendorong manusia kepada pemenuhan kebutuhan hidupnya. la merupakan tenaga
vital bagi manusia; tanpa keberadaannya tak mungkin manusia hidup. Manusia
makan dan minum, tidak lain karena ia memiliki nafsu untuk makan dan minum. la
berjuang menyingkirkan bahaya, atau menyingkir dari bahaya, tidak lain karena
ia memiliki nafsu yang mendorong kepada perbuatan demikian. la mendekati atau
menikmati apa yang disenanginya, juga karena dorongan nafsu. Dalam kajian
tasawuf-akhlak, nafsu itu lazim dibagi ke dalam tiga kategori:
Pertama adalah
nafsu marah (nafs gadabiyyat), yakni nafsu yang mendorong orang untuk marah
atau benci kepada apa saja yang mengganggu atau berbahaya bagi kehidupannya.
Karena adanya nafsu marah itu, ia berupaya menyingkirkan gangguan atau bahaya
itu, dan kalau ia tidak mampu menyingkirkannya, ia akan didorong oleh nafsu itu
untuk menyingkirkan diri sendiri, agar jauh dari bahaya itu. Kedua adalah nafsu
senang (nafs syahwaniyyat), yakni yang mendorong orang untuk mendapatkan,
memiliki, atau dekat dengan apa yang menyenangkan dirinya. Nafsu, yang
keberadaannya vital bagi setiap manusia, bersifat buta, dan karena itu perlu
dikembangkan serta dikontrol secara benar dan baik oleh akal atau ajaran agama.
la dapat dimisalkan seperti sungai yang bisa mengalir tenang dan bisa meluap
atau menghancurkan, dan karena itu perlu dikontrol dengan sistem bendungan dan
irigasi yang baik, sehingga memberikan manfaat yang maksimal bagi kehidupan
manusia dan lingkungannya. Nafsu yang tidak terkontrol dengan baik akan
menghasilkan kerusakan, tapi yang terkontrol dengan baik, niscaya membuahkan
kebaikan. Nafsu marah yang dikembangkan secara baik (pada jalan yang lurus)
oleh akal atau ajaran agama, akan mengangkat orang menjadi manusia yang berani
dalam kebenaran. Sebaliknya, bila nafsu marah seseorang tidak dikembangkan
niscaya menjadi manusia pengecut, atau kalau dikembangkan tanpa kendali,
niscaya menjadi manusia nekad, yang merugikan diri sendiri. Nafsu senang
(syahwat), yang dikembangkan secara baik (pada jalan yang lurus) oleh akal atau
ajaran agama, akan mengangkat orang menjadi manusia yang bersih (suci).
Sebaliknya, ia akan jatuh menjadi manusia serakah (rakus), bila ia membiarkan
nafsunya berkembang merajalela, tanpa kontrol, atau menjadi manusia beku, tak
berselera, bila nafsu syahwatnya itu dibiarkan tak berkembang. Demikianlah,
nafsu yang bersifat vital itu perlu dikembangkan oleh akal yang bijaksana, atau
akal yang mendapat penerangan dari agama yang benar. Nafsu yang sering
dikatakan senantiasa mendorong kepada kejahatan (nafs ammarat), tidak lain dari
nafsu yang lepas dari kontrol akal yang bijaksana[9]
Kedua,
mencintai kelezatan dunia. jika hati manusia ini sudah terbelenggu penyakit
cinta dunia, kedudukan, popularitas, atau harta kekayaan, maka syahwat dan
nafsunya yang secara alami cenderung pada kejelekan— akan mengendalikan hatinya
agar menjadi budak bagi semua yang dicintainya. Bagaimana jika nafsu liar ini
bebas memangsa dunia yang dicintainya? Akibatnya, bimbingan hati nurani atas
semua jasad akan lepas. Tidak akan ada lagi hidayah yang membimbingnya, selain
dorongan nafsu semata. Demikian halnya dengan pencinta popularitas, yang
mendambakan setiap orang mengenal kebaikan atau kemahirannya, untuk mendapatkan
status yang lebih tinggi di tengah masyarakat[10] Penyakit
hati yang satu ini akan menyebabkan munculnya penyakit-penyakit lain, seperti
'ujub (merasa paling hebat ibadahnya), riya' (sombong), dan terlalu bergantung
pada amal kebaikannya sehingga lupa bahwa di antara kebaikannya tersimpan
banyak kesalahan. Lebih parah lagi jika penyakit dunia dan status ini menyerang
para pemuka agama. Agama akan dijadikan sarana untuk mengumpulkan materi dan
merebut simpati massa, yang pada gilirannya akan mendorongnya menjadi budak
nafsu yang menghalalkan segala cara. Akan tetapi, bagi mereka yang mendapatkan
pemeliharaan dari Allah, tentu saja tidak demikian. Bagi mereka, dunia,
kedudukan, dan popularitas duniawi yang didapatkannya tidak akan pernah
menggusurnya hanyut dalam kerusakan; karena semua aspek duniawi yang mereka
peroleh tidak pernah mendapat tempat di hatinya. Mereka bahkan berkuasa
mengatur dan mengendalikan dunia sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi,
para wali, dan para ulama yang saleh[11]
Seseorang yang
terpanah cinta dunia menganggap kehidupan itu hanyalah apa yang dapat dilihat,
didengar dan rasakan di dunia ini. Mereka dipermainkan oleh dunianya sehingga
sebanyak-banyaknya mengumpulkan dan menghimpun seluruh materi dunia yang dia
cintai. Banyak manusia yang menjadi buta dan dungu dengan tipuan dunianya.
Mereka menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya untuk meraih kemenangan dalam
kompetisi duniawi yang segera akan berakhir dengan kematian, sementara dirinya
lelah karena diperbudak dunia. Mereka selalu merasa belum mendapatkannya.
Padahal mereka tidak merasakan apa pun selain bayangan fatamorgana yang
menjanjikan kesegaran semu di tengah kehausan. Adanya larangan hubbud-dunya
merupakan peringatan agar setiap orang selalu waspada dalam menghadapi dan
mengantisipasi seluruh problematika dan dinamika kehidupan di dunia.[12]
Ketiga syahwat dalam
arti nafsu seks yang menyimpang atau free sex. Elisabeth Lukas, seorang
logoterapis kondang, sebagaimana dikutip oleh Hanna Djumhana Bastaman
mengatakan: salah satu prestasi penting dari proses modernisasi di dunia Barat,
yakni melepaskan diri dari berbagai belenggu tradisi yang serba menghambat,
sekaligus berhasil meraih kebebasan (freedom) dalam hampir semua bidang
kehidupan[13]
CATATAN KAKI
- Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam AlQur’an, Paramadina, Jakarta, 2000, hlm. 156
- Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 1114
- W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hlm. 985
- Sutan Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, tth, hlm. 893.
- Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hlm. 79
- Ahmad Faried, Menyucikan Jiwa: Konsep Ulama Salaf, Terj. M. Azhari Hatim, Risalah Gusti, Surabaya, 1977, hlm. 69
- Ahmad Faried, op. cit, hlm. 70
- Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah, Gema Insani Press, Jakarta, 2003, hlm. 122
- Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Anggota IKAPI, Jakarta, 1992, hlm. 723
- Uwes Al-Qorni, Penyakit Hati, Rosda Karya, Bandung, 2003, hlm. 10 – 11
- Ibid, hlm. 12 – 13.
- Aba Firdaus Al-Halwani dan Sriharini, Manajemen Terapi Qalbu, Media Insani, Yogyakarta, 2002, hlm. 34 – 35.
- Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam, menuju psikologi islami, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm. 192
kunjungi juga alamat ini :
BalasHapushttps://makalahmahasiswaabadi.blogspot.co.id
https://anggrekvanda15.blogspot.co.id
https://ceritaonepiece15.blogspot.co.id
https://ulasanbalapmotogp.blogspot.co.id