Sabtu, 21 Oktober 2017

MAKALAH FILSAFAT ILMU PARADIGMA POST-POSITIVE

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
Pendidikan belakangan ini mengalami kondisi yang memprihatinkan, dengan maraknya tawuran antar remaja di berbagai kota ditambah dengan sejumlah perilaku mereka yang cenderung anarkis, meningkatnya penyalahgunaan narkoba, dan suburnya pergaulan bebas di kalangan pelajar adalah bukti bahwa pendidikan  telah gagal membentuk akhlak anak didik. Pendidikan selama ini memang telah melahirkan alumnus yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan formal yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan yang ada tidak berhasil menanamkan nilai-nilai kebajikan atau karakter yang baik. Dapat di lihat di berapa banyak lulusan pendidikan memiliki kepribadian yang justru merusak diri mereka. Tampak dunia pendidikan di Indonesia masih perlu perbaikan  karena sekarang ini yang dikejar hanya gelar dan angka. Bukan hal mendasar yang membawa peserta didik pada kesadaran penuh untuk mencari ilmu pengetahuan dalam menjalani realitas kehidupan. Pendidikan semacam itu tidak terjadi di negeri ini sebab orientasinya semata-mata sebagai sarana mencari kerja. Kenyataannya yang dianggap sukses dalam pendidikan adalah mereka yang dengan sertifikat kelulusannya berhasil menduduki posisi pekerjaan yang menjanjikan gaji tinggi. sementara nilai-nilai akhlak dan budi pekerti menjadi `barang langka’ bagi dunia pendidikan.
Pendidikan juga masih menghasilkan lulusan berakhlak buruk seperti suka menang sendiri, pecandu narkoba dan hobi tawuran, senang curang dan tidak punya kepekaan sosial, atau gila harta dan serakah. Kegagalan pendidikan bukan hanya diukur dari standar pemenuhan lapangan kerja. Masalah yang lebih besar adalah pendidikan kita belum bisa menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia. Ahmad Tafsir menegaskan, bangsa-bangsa yang dimusnahkan Tuhan bukan karena tidak menguasai iptek atau kurang pandai, namun karena buruknya akhlak.
Karena itu, mengutip kata-kata bijak para filosof, pendidikan sejatinya ditujukan untuk membantu memanusiakan manusia. Pendidikan tersebut harus mencakup unsur jasmani, rohani dan kalbu. Implementasi ketiga unsur itu dalam format pendidikan niscaya menghasilkan lulusan dengan nilai kemanusiaan yang tinggi. Hanya saja, kita melihat pendidikan di Indonesia sangat jauh dari yang diharapkan bahkan jauh tertinggal dengan Negara-negara berkembang lainnya. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari rendahnya kualitas SDM yang dihasilkan. Pendek kata, pendidikan kita belum mampu mengantarkan anak didik pada kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Padahal, manusia adalah pelaku utama dalam proses pendidikan. Pentingnya Suatu Penentuan Filsafat dalam Pendidikan :Dr. Omar Muhammad al-Taumy al-Syaibani mengemukakan pentingnya penentuan suatu falsafat bagi pendidikan sebagai berikut, Filsafat pendidikan itu dapat menolong perancang-perancang pendidikan dan orang-orang yang melaksanakan pendidikan dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran yang sehat terhadap proses pendidikan.
Post positivisme merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realisme yang memandang bahwa realitas memang Fisafat sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang terapan unuk membantu individu  untuk mengevaluasi keberadaanya dengan cara memuaskan. Filsafat Post Positivisme lawan dari positivisme yaitu cara berpikir yg subjektif Asumsi terhadap realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih manusiawi.[1]
Di samping itu dapat menolong terhadap tujuan-tujuan dan fungsi-fungsinya serta meningkatkan mutu penyelesaian masalah pendidikan; Filsafat pendidikan dapat membentuk azas yang khamenyangkut kurikulum, metode, alat-alat pengajaran, dan lain-lain. Filsafat pendidikan menjadi azas terbaik untuk mengadakan penilaian pendidikan dalam arti menyeluruh. Penilaian pendidikan meliputi segala usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh sekolah dan institusi-institusi pendidikan.
Filsafat pendidikan dapat menjadi sandaran intelektual bagi para pendidik untuk membela tindakan-tindakan mereka dalam bidang pendidikan. Dalam hal ini juga sekaligus untuk membimbing pikiran mereka di tengah kancah pertarungan filsafat umum yang mengusasi dunia pendidikan. Filsafat pendidikan positivisme akan membantu guru sebagai pendidik untuk pendalaman pikiran bagi penyusunan kurikulum dan pembelajaran serta pendidikan siswanya di sekolah dan mengaitkannya dengan factor-faktor spiritual, social, ekonomi, budaya dan lain-lain, dalam berbagai bidang kehidupan untuk menciptakan insane yang sempurna baik lahir maupun batinnya, hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menyusun makalah yang membahas mengenai “ Peran Post positivisme dalam pendidikan.[2]
B.     Rumusan Masalah.
1.      Apa yang dimaksud dengan Post-Positivisme?
2.      Bagaimana Paradigma Post-Positivisme ?
3.      Bagaimana Asumsi dasar Post-Positivisme?
C.    Tujuan Penulis
1.      Mengetahui apa itu Post-Positivisme
2.      Mengetahui Bagaimana Post-Positivisme
3.      Mengetahui Bagaimana Post-Positivisme


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Post-Positivisme.
Filsafat Post Positivisme lawan dari positivisme yaitu cara berpikir yang subjektif Asumsi terhadap realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih manusiawi. Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yg subjektif Asumsi thd realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih manusiawi.
 Munculnya gugatan terhadap positivisme  di mulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah karena.
Post positivisme juga merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan, sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang  mustahil bila suatu realitas   dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori. Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivism dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan.
Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran post-positivisme bersifat critical realism dan menganggap bahwa realitas memang ada dan sesuai dengan kenyataan dan hukum alam tapi mustahil realitas tersebut dapat dilihat secara benar oleh peneliti. Secara epistomologis: Modified dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan realitas yang diteliti tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal mungkin. Secara metodologis adalah modified experimental/ manipulatif.[3]Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara menyamaratakan.[4]
Kesadaran berilmu pengetahuan yg pertama-tama adalah kesadaran manusia tentang objek-objek intensional. Dua arti objek intensional: semantik dan ontologik. Makna semantik intensional: bila tidak dapat ditampilkan rumusan equivalennya (satu makna). Ontologik: sesuatu dikatakan intensional bila kesamaan identitas tidak menjamin untuk dikatakan equivalen atau identik Inti Pemikiran Husserl. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip  trianggulasi, yaitu  penggunaan  bermacam-macam  metode,  sumber  data, data, dan lain-lain. Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation, yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti, dan teori.
BagaimanaMunculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah. Observasi yang didewakan positivisme dipertanyakan netralitasnya, karena observasi dianggap bisa saja dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang. Proses dari positivisme ke post-positivisme melalui kritikan dari tiga hal yaitu :
 1) Observasi sebagai unsur utama metode penelitian
2) Hubungan yang kaku antara teori dan bukti. Pengamat memiliki sudut pandang yang berbeda dan teori harus mengalah pada perbedaan waktu,
3)Tradisi keilmuan yang terus berkembang dan dinamis (Salim, 2001).
Filsafat post positivisme tehadap dalam Pendidikan indonesia post positivisme adalah suatu penggerak ide yang menggantikan ide2 positivisme post positivisme memiliki cita-cita ingin meninggkatkan kondisi ekonomi  dan sosial,  kesadaran dan akan peristiwa  sejarah dan perkembangan dalam bidang pendidikan Filsafat post positivisme agar pendidikan  tidak hanya kejadian atau hal-hal yang dapat dibuktikan  secara impiris atau dapat dilihat  melainkan menggambugkan antara yang dilihat dan dirasakan contoh pendidikan berkarakter itu akan berjalan dengan baik  dan memberi dampak yang positip, dilihat bukan hanya materi dalam pembelajaran melainkan ada juga dari prilaku adri guru, keluarga,  dan lingkungan serta emosi anak.
B.       Paradigma Post-Positivisme.
Dalam proses keilmuan, paradigma keilmuan memegang peranan yang penting. Fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan. Menurut Thomas Kuhn, paradigma sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah.
Denzin & Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma sebagai: “Basic belief system or worldview that guides the investigator, not only in choices of method but in ontologically and epistomologically fundamental ways.”Pengertian tersebut mengandung makna paradigma adalah sistem keyakinan dasar atau cara memandang dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam memilih metode    tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat ontologis dan epistomologis. 
C.      Asumsi dasar Post-Positivisme
1.    Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori. ( falibilitas  teori tidak satupun teori yang dapat dijelakan dengan bukti-bukti2 empiris bukti empiris kemungkinan menunjukan fakta anomali)
2.    Fakta tidak bebas, melainkan penuh dengan nilai (Interaksi  antara  subjek  dan  objek  penelitian.  Hasil  penelitian  bukanlah  reportase  objektif, melainkan  hasil  interaksi  manusia  dan  semesta  yang  penuh  dengan  persoalan  dan  senantiasa berubah)
3.     Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual. (Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal, melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan)
4.     Fokus kajian post-positivisme adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan. [5]
Ada empat pertanyaan dasar yang akan memberikan gambaran tentang posisi aliran post-positivisme yaitu
1)        dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan, yaitu:Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
2)        Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.
3)        banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
4)        karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran. Postpositivisme.[6]
Guba (1990:20) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut: “Postpositivism is best characterized as modified version of positivism. Having assessed the damage that positivism has occured, postpositivists strunggle to limited that damage as well as to adjust to it. Prediction and control continue to be the aim.”Kutipan tersebut mempunyai arti Postpositivisme mempunyai ciri utama sebagai suatu modifikasi dari Positivisme. Melihat banyaknya kekurangan pada Positivisme menyebabkan para pendukung Postpositivisme berupaya memperkecil kelemahan tersebut dan menyesuaikannya. Prediksi dan kontrol tetap menjadi tujuan dari Postpositivisme tersebut.”
Salim (2001:40) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut: Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan Positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu secara metodologi pendekatan eksperimental melalui metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Selanjutnya dijelaskan secara epistomologis hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan aliran Positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi secara minimal (Salim, 2001:40).
Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga mengacu pandangan Guba, Denzin dan Lincoln dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam.[7] Tetapi pada sisi lain. Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektifitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara. Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.[8] Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya. Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat pertanyaan dasar berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan ; Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan.






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Filsafat Post Positivisme lawan dari positivisme yaitu cara berpikir yg subjektif Asumsi terhadap realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih manusiawi. Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yg subjektif Asumsi thd realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih manusiawi.Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.
Dalam proses keilmuan, paradigma keilmuan memegang peranan yang penting. Fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan. Menurut Thomas Kuhn, paradigma sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah.Asumsi dasar Post-Positivisme antara lain yaitu :
1.        Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori. 
2.        Fakta tidak bebas, melainkan penuh dengan nilai. 
3.        Interaksi  antara  subjek  dan  objek  penelitian.  Hasil  penelitian  bukanlah  reportase  objektif, melainkan  hasil  interaksi  manusia  dan  semesta  yang  penuh  dengan  persoalan  dan  senantiasa berubah. 
4.        Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual. 
5.         Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal, melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan. 
B.     Saran
Dalam mempelajari pengetahuan, kita dianjurkan untuk mempelajari filsafat degan berbagai macam cabang ilmunya. Karena dengan cara kerja yan bersifat sistematis, universal (menyeluruh) dan radikal, yang mengupas, menganalisa sesuatu secara mendalam, ternya sangat relavan dengan problematika hidup dan kehidupan manusia serta mampu menjadi perekat antara berbagai disiplin ilmu yng terpisah kaitan satu sama lain. Dengan demikian, menggunakan analisa filsafat, berbagai macam disiplin yang berkembang sekarang ini, akan menentukan kembali relevansinya dengan hidup dan kehidupan masayrakat adan akan lebih mampu lagi meninggkatkan fungsi bagi kesajrahan hidup manusia.





DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim Atang, Filsafat umum Pustaka setia : Bandung, 2009
Mustansyi Rizal  dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Santoso Purwo, Membedah M etodologi Ilmu Politik, (Yogyakarta, UGM 2012)
Gaffar Afan, Bahan ajar mata kuliah Skope dan Metodologi Ilmu Politik  Yogyakarta, 1989




CATATAN KAKI

  1. [1] Atang Abdul Hakim, Filsafat umum (Pustaka setia : Bandung, 2009) , h. 24
  2. [2]Ibid
  3. [3]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 87
  4. [4]Ibid
  5. [5]Ibid
  6. [6]Afan Gaffar, Bahan ajar mata kuliah Skope dan Metodologi Ilmu Politik(Yogyakarta, 1989) h. 4
  7. [7] Ibid
  8. [8]Purwo Santoso, Membedah Metodologi Ilmu Politik, (Yogyakarta, UGM 2012) h.45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar