BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.
Pendidikan belakangan ini mengalami kondisi yang
memprihatinkan, dengan maraknya tawuran antar remaja di berbagai kota ditambah
dengan sejumlah perilaku mereka yang cenderung anarkis, meningkatnya
penyalahgunaan narkoba, dan suburnya pergaulan bebas di kalangan pelajar adalah
bukti bahwa pendidikan telah gagal membentuk akhlak anak didik.
Pendidikan selama ini memang telah melahirkan alumnus yang menguasai
sains-teknologi melalui pendidikan formal yang diikutinya. Akan tetapi,
pendidikan yang ada tidak berhasil menanamkan nilai-nilai kebajikan atau
karakter yang baik. Dapat di lihat di berapa banyak lulusan pendidikan memiliki
kepribadian yang justru merusak diri mereka. Tampak dunia pendidikan di
Indonesia masih perlu perbaikan karena sekarang ini yang dikejar hanya
gelar dan angka. Bukan hal mendasar yang membawa peserta didik pada kesadaran
penuh untuk mencari ilmu pengetahuan dalam menjalani realitas kehidupan.
Pendidikan semacam itu tidak terjadi di negeri ini sebab orientasinya
semata-mata sebagai sarana mencari kerja. Kenyataannya yang dianggap sukses
dalam pendidikan adalah mereka yang dengan sertifikat kelulusannya berhasil
menduduki posisi pekerjaan yang menjanjikan gaji tinggi. sementara nilai-nilai
akhlak dan budi pekerti menjadi `barang langka’ bagi dunia pendidikan.
Pendidikan juga masih menghasilkan lulusan berakhlak
buruk seperti suka menang sendiri, pecandu narkoba dan hobi tawuran, senang
curang dan tidak punya kepekaan sosial, atau gila harta dan serakah. Kegagalan
pendidikan bukan hanya diukur dari standar pemenuhan lapangan kerja. Masalah
yang lebih besar adalah pendidikan kita belum bisa menghasilkan lulusan yang
berakhlak mulia. Ahmad Tafsir menegaskan, bangsa-bangsa yang dimusnahkan Tuhan
bukan karena tidak menguasai iptek atau kurang pandai, namun karena buruknya
akhlak.
Karena itu, mengutip kata-kata bijak para filosof, pendidikan sejatinya ditujukan untuk membantu memanusiakan manusia. Pendidikan tersebut harus mencakup unsur jasmani, rohani dan kalbu. Implementasi ketiga unsur itu dalam format pendidikan niscaya menghasilkan lulusan dengan nilai kemanusiaan yang tinggi. Hanya saja, kita melihat pendidikan di Indonesia sangat jauh dari yang diharapkan bahkan jauh tertinggal dengan Negara-negara berkembang lainnya. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari rendahnya kualitas SDM yang dihasilkan. Pendek kata, pendidikan kita belum mampu mengantarkan anak didik pada kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Padahal, manusia adalah pelaku utama dalam proses pendidikan. Pentingnya Suatu Penentuan Filsafat dalam Pendidikan :Dr. Omar Muhammad al-Taumy al-Syaibani mengemukakan pentingnya penentuan suatu falsafat bagi pendidikan sebagai berikut, Filsafat pendidikan itu dapat menolong perancang-perancang pendidikan dan orang-orang yang melaksanakan pendidikan dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran yang sehat terhadap proses pendidikan. Post positivisme merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realisme yang memandang bahwa realitas memang Fisafat sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang terapan unuk membantu individu untuk mengevaluasi keberadaanya dengan cara memuaskan. Filsafat Post Positivisme lawan dari positivisme yaitu cara berpikir yg subjektif Asumsi terhadap realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih manusiawi.[1]
Karena itu, mengutip kata-kata bijak para filosof, pendidikan sejatinya ditujukan untuk membantu memanusiakan manusia. Pendidikan tersebut harus mencakup unsur jasmani, rohani dan kalbu. Implementasi ketiga unsur itu dalam format pendidikan niscaya menghasilkan lulusan dengan nilai kemanusiaan yang tinggi. Hanya saja, kita melihat pendidikan di Indonesia sangat jauh dari yang diharapkan bahkan jauh tertinggal dengan Negara-negara berkembang lainnya. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari rendahnya kualitas SDM yang dihasilkan. Pendek kata, pendidikan kita belum mampu mengantarkan anak didik pada kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Padahal, manusia adalah pelaku utama dalam proses pendidikan. Pentingnya Suatu Penentuan Filsafat dalam Pendidikan :Dr. Omar Muhammad al-Taumy al-Syaibani mengemukakan pentingnya penentuan suatu falsafat bagi pendidikan sebagai berikut, Filsafat pendidikan itu dapat menolong perancang-perancang pendidikan dan orang-orang yang melaksanakan pendidikan dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran yang sehat terhadap proses pendidikan. Post positivisme merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realisme yang memandang bahwa realitas memang Fisafat sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang terapan unuk membantu individu untuk mengevaluasi keberadaanya dengan cara memuaskan. Filsafat Post Positivisme lawan dari positivisme yaitu cara berpikir yg subjektif Asumsi terhadap realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih manusiawi.[1]
Di samping
itu dapat menolong terhadap tujuan-tujuan dan fungsi-fungsinya serta
meningkatkan mutu penyelesaian masalah pendidikan; Filsafat pendidikan dapat
membentuk azas yang khamenyangkut kurikulum, metode, alat-alat pengajaran, dan
lain-lain. Filsafat pendidikan menjadi azas terbaik untuk mengadakan penilaian
pendidikan dalam arti menyeluruh. Penilaian pendidikan meliputi segala usaha
dan kegiatan yang dilakukan oleh sekolah dan institusi-institusi pendidikan.
Filsafat pendidikan dapat menjadi sandaran intelektual bagi para pendidik untuk membela tindakan-tindakan mereka dalam bidang pendidikan. Dalam hal ini juga sekaligus untuk membimbing pikiran mereka di tengah kancah pertarungan filsafat umum yang mengusasi dunia pendidikan. Filsafat pendidikan positivisme akan membantu guru sebagai pendidik untuk pendalaman pikiran bagi penyusunan kurikulum dan pembelajaran serta pendidikan siswanya di sekolah dan mengaitkannya dengan factor-faktor spiritual, social, ekonomi, budaya dan lain-lain, dalam berbagai bidang kehidupan untuk menciptakan insane yang sempurna baik lahir maupun batinnya, hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menyusun makalah yang membahas mengenai “ Peran Post positivisme dalam pendidikan.[2]
Filsafat pendidikan dapat menjadi sandaran intelektual bagi para pendidik untuk membela tindakan-tindakan mereka dalam bidang pendidikan. Dalam hal ini juga sekaligus untuk membimbing pikiran mereka di tengah kancah pertarungan filsafat umum yang mengusasi dunia pendidikan. Filsafat pendidikan positivisme akan membantu guru sebagai pendidik untuk pendalaman pikiran bagi penyusunan kurikulum dan pembelajaran serta pendidikan siswanya di sekolah dan mengaitkannya dengan factor-faktor spiritual, social, ekonomi, budaya dan lain-lain, dalam berbagai bidang kehidupan untuk menciptakan insane yang sempurna baik lahir maupun batinnya, hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menyusun makalah yang membahas mengenai “ Peran Post positivisme dalam pendidikan.[2]
B.
Rumusan Masalah.
1.
Apa yang
dimaksud dengan Post-Positivisme?
2.
Bagaimana Paradigma Post-Positivisme ?
3.
Bagaimana Asumsi dasar Post-Positivisme?
C. Tujuan
Penulis
1.
Mengetahui
apa itu Post-Positivisme
2.
Mengetahui Bagaimana Post-Positivisme
3.
Mengetahui Bagaimana Post-Positivisme
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Post-Positivisme.
Filsafat Post Positivisme lawan dari positivisme yaitu
cara berpikir yang subjektif Asumsi terhadap realitas: there are multiple
realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks
value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih manusiawi. Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yg subjektif Asumsi
thd realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran
subjektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan
keyakinan. Natural dan lebih manusiawi.
Munculnya
gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya
dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf
mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme,
alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu
alam, karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan
yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah karena.
Post positivisme juga merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan, sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori. Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivism dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan.
Post positivisme juga merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan, sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori. Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivism dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan.
Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang
dianggap memiliki kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan
kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis
aliran post-positivisme bersifat critical realism dan menganggap bahwa realitas
memang ada dan sesuai dengan kenyataan dan hukum alam tapi mustahil realitas
tersebut dapat dilihat secara benar oleh peneliti. Secara epistomologis:
Modified dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan realitas yang diteliti
tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal
mungkin. Secara metodologis adalah modified experimental/ manipulatif.[3]Post
positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan memang
amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan
antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi
terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan
demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah
diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara menyamaratakan.[4]
Kesadaran
berilmu pengetahuan yg pertama-tama adalah kesadaran manusia tentang
objek-objek intensional. Dua arti objek intensional: semantik dan ontologik.
Makna semantik intensional: bila tidak dapat ditampilkan rumusan equivalennya
(satu makna). Ontologik: sesuatu dikatakan intensional bila kesamaan identitas
tidak menjamin untuk dikatakan equivalen atau identik Inti Pemikiran Husserl.
Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu
perlu menggunakan prinsip trianggulasi,
yaitu penggunaan bermacam-macam metode,
sumber data, data, dan lain-lain.
Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan
positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap
objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism
yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum
alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara
benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan
eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode
triangulation, yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data,
peneliti, dan teori.
BagaimanaMunculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun
1970-1980an. Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper,
Thomas Kuhn, para filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham
ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin ilmu-ilmu tentang manusia
dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu
penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah. Observasi yang
didewakan positivisme dipertanyakan netralitasnya, karena observasi dianggap
bisa saja dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang. Proses dari
positivisme ke post-positivisme melalui kritikan dari tiga hal yaitu :
1) Observasi sebagai unsur utama metode
penelitian
2) Hubungan yang kaku antara teori dan bukti. Pengamat
memiliki sudut pandang yang berbeda dan teori harus mengalah pada perbedaan
waktu,
3)Tradisi keilmuan yang terus berkembang dan dinamis
(Salim, 2001).
Filsafat post positivisme tehadap dalam Pendidikan
indonesia post positivisme adalah suatu penggerak ide yang menggantikan ide2
positivisme post positivisme memiliki cita-cita ingin meninggkatkan kondisi
ekonomi dan sosial, kesadaran dan akan peristiwa sejarah dan perkembangan dalam bidang pendidikan
Filsafat post positivisme agar pendidikan
tidak hanya kejadian atau hal-hal yang dapat dibuktikan secara impiris atau dapat dilihat melainkan menggambugkan antara yang dilihat
dan dirasakan contoh pendidikan berkarakter itu akan berjalan dengan baik dan memberi dampak yang positip, dilihat
bukan hanya materi dalam pembelajaran melainkan ada juga dari prilaku adri
guru, keluarga, dan lingkungan serta
emosi anak.
B.
Paradigma
Post-Positivisme.
Dalam proses keilmuan, paradigma keilmuan memegang
peranan yang penting. Fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka,
mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan. Menurut
Thomas Kuhn, paradigma sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang memandu
tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan
ilmiah.
Denzin & Lincoln (1994:105) mendefinisikan
paradigma sebagai: “Basic belief system or worldview that guides the
investigator, not only in choices of method but in ontologically and
epistomologically fundamental ways.”Pengertian tersebut mengandung makna
paradigma adalah sistem keyakinan dasar atau cara memandang
dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam memilih metode tetapi juga cara-cara fundamental yang
bersifat ontologis dan epistomologis.
C. Asumsi dasar
Post-Positivisme
1.
Fakta tidak
bebas nilai, melainkan bermuatan teori. ( falibilitas teori tidak satupun teori yang dapat
dijelakan dengan bukti-bukti2 empiris bukti empiris kemungkinan menunjukan
fakta anomali)
2.
Fakta tidak
bebas, melainkan penuh dengan nilai (Interaksi
antara subjek dan
objek penelitian. Hasil
penelitian bukanlah reportase
objektif, melainkan hasil interaksi
manusia dan semesta
yang penuh dengan
persoalan dan senantiasa berubah)
3.
Asumsi
dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual. (Hal itu
berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal, melainkan hanya bisa
menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan)
4.
Fokus
kajian post-positivisme adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai
ekspresi dari sebuah keputusan. [5]
Ada empat
pertanyaan dasar yang akan memberikan gambaran tentang posisi aliran
post-positivisme yaitu
1)
dalam kancah
paradigma ilmu pengetahuan, yaitu:Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme
di antara paradigma-paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain
dari positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang
setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa
aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat
dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara
keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap
suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian
suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh
berbagai kalangan dengan berbagai cara.
2)
Bukankah
postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan
usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism)
adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme
modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi
merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.
3)
banyak
postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini
menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple
realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri?
Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman
sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui bahwa
paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya,
relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya
berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar.
Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal
sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
4)
karena
pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benar
pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini
sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran
yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak
ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas
tidak menjamin untuk mencapai kebenaran. Postpositivisme.[6]
Guba (1990:20) menjelaskan Postpositivisme sebagai
berikut: “Postpositivism is best characterized as modified version of
positivism. Having assessed the damage that positivism has occured,
postpositivists strunggle to limited that damage as well as to adjust to it.
Prediction and control continue to be the aim.”Kutipan tersebut mempunyai arti
Postpositivisme mempunyai ciri utama sebagai suatu modifikasi dari Positivisme.
Melihat banyaknya kekurangan pada Positivisme menyebabkan para pendukung
Postpositivisme berupaya memperkecil kelemahan tersebut dan menyesuaikannya.
Prediksi dan kontrol tetap menjadi tujuan dari Postpositivisme tersebut.”
Salim (2001:40) menjelaskan Postpositivisme sebagai
berikut: Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki
kelemahan-kelemahan Positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi aliran ini bersifat
critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan
sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang mustahil bila suatu realitas
dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu secara
metodologi pendekatan eksperimental melalui metode triangulation yaitu
penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Selanjutnya dijelaskan secara epistomologis hubungan
antara pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah
bisa dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan aliran Positivisme. Aliran ini
menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila
pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara
langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan objek harus bersifat
interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat senetral mungkin,
sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi secara minimal (Salim, 2001:40).
Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga mengacu
pandangan Guba, Denzin dan Lincoln dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme
adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu sisi
Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata
ada sesuai hukum alam.[7]
Tetapi pada sisi lain. Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin
mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan
realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara
peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan
prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data,
dan lain-lain. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa
postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil
observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang
betul mencapai objektifitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan
dengan berbagai cara. Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma
realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar.
Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang
menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan
atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari
pandangan postpositivisme.[8]
Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut
realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah
kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka
sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan
pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui
bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata.
Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan
realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar.
Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal
sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya. Keempat,
karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang
benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas?
Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator
kebenaran yang melandasi semua penyelidikan Untuk mengetahui lebih jauh tentang
postpositivisme empat pertanyaan dasar berikut, akan memberikan gambaran
tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan ; Pertama,
Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-paradigma ilmu yang
lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih
lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan
postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam
bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme Jika
kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Filsafat Post Positivisme lawan dari positivisme yaitu
cara berpikir yg subjektif Asumsi terhadap realitas: there are multiple
realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks
value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih manusiawi. Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yg subjektif Asumsi
thd realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran
subjektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan
keyakinan. Natural dan lebih manusiawi.Post-positivisme merupakan perbaikan
positivisme yang dianggap memiliki kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya
mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.
Dalam proses keilmuan, paradigma keilmuan memegang
peranan yang penting. Fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka,
mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan. Menurut
Thomas Kuhn, paradigma sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang memandu
tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan
ilmiah.Asumsi dasar Post-Positivisme antara lain yaitu :
1.
Fakta tidak
bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
2.
Fakta tidak
bebas, melainkan penuh dengan nilai.
3.
Interaksi antara
subjek dan objek
penelitian. Hasil penelitian
bukanlah reportase objektif, melainkan hasil
interaksi manusia dan
semesta yang penuh
dengan persoalan dan
senantiasa berubah.
4.
Asumsi dasar
post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
5.
Hal
itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal, melainkan hanya
bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
B. Saran
Dalam mempelajari pengetahuan, kita dianjurkan untuk
mempelajari filsafat degan berbagai macam cabang ilmunya. Karena dengan cara
kerja yan bersifat sistematis, universal (menyeluruh) dan radikal, yang
mengupas, menganalisa sesuatu secara mendalam, ternya sangat relavan dengan
problematika hidup dan kehidupan manusia serta mampu menjadi perekat antara
berbagai disiplin ilmu yng terpisah kaitan satu sama lain. Dengan demikian,
menggunakan analisa filsafat, berbagai macam disiplin yang berkembang sekarang
ini, akan menentukan kembali relevansinya dengan hidup dan kehidupan masayrakat
adan akan lebih mampu lagi meninggkatkan fungsi bagi kesajrahan hidup manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim Atang, Filsafat umum
Pustaka setia : Bandung, 2009
Mustansyi Rizal
dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010
Santoso
Purwo, Membedah M etodologi Ilmu Politik, (Yogyakarta, UGM 2012)
Gaffar Afan, Bahan
ajar mata kuliah Skope dan Metodologi Ilmu Politik Yogyakarta, 1989
CATATAN KAKI
- [1] Atang Abdul Hakim, Filsafat umum (Pustaka setia : Bandung, 2009) , h. 24
- [2]Ibid
- [3]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 87
- [4]Ibid
- [5]Ibid
- [6]Afan Gaffar, Bahan ajar mata kuliah Skope dan Metodologi Ilmu Politik(Yogyakarta, 1989) h. 4
- [7] Ibid
- [8]Purwo Santoso, Membedah Metodologi Ilmu Politik, (Yogyakarta, UGM 2012) h.45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar